Oleh Parsudi Suparlan
dimuat dalam buku beliau di Hubungan Antar Sukubangsa, Terbitan YPKIK, UI, 2004

Pendahuluan
Tulisan ini adalah mengenai konflik antar sukubangsa yang telah terjadi di Kabupaten Sambas antara sukubangsa atau orang Melayu dan orang Dayak disatu pihak dengan orang Madura di pihak lain. Konflik antara orang melayu dengan orang madura telah terjadi pada tahun 1999, yang merupakan sebuah konflik yang pertama terjadi dan yang terakhir. Karena setelah konflik tersebut berakhir orang-orang Madura terusir dari wilayah Kabupaten Sambas. Sedangkan konflik antara orang Dayak dan Madura telah berlangsung selama 11 kali sejak tahun 1962 yang berakhir pada tahun 1999. Konflik pada tahun 1999 terjadi pada saat sedang berlangsungnya konflik antara orang melayu dengan orang Madura.

Konflik antar sukubangsa terlahir dari dan ada dalam wadah hubungan antar sukubangsa. Hakekat dari corak hubungan antar sukubangsa yang bersangkutan merupakan penentu dari terjadi atau tidak terjadinya konflik antar sukubangsa. Dari kasus-kasus konflik antar sukubangsa di Ambon, Poso, Kalimantan Tengah, dan diberbagai tempat lainnya di Indonesia dapat disimpulkan bahwa konflik antar sukubangsa muncul dari kompetisi untuk memperebutkan sumber-sumber daya setempat yang dilakukan oleh individu-individu yang merupakan anggota komuniti-komuniti sukubangsa pendatang. Konflik antar individu tersebut berkembang menjadi konflik antar sukubangsa karena salah satu pihak mengaktifkan kesukubangsaan untuk solidaritas kelompoknya guna mengalahkan pihak lainnya, sehingga pihak lainnya tersebut mau tidak mau akan harus akan mengimbanginya dengan mengaktifkan juga kesukubangsaannya.

Tulisan ini berusaha untuk menunjukkan bahwa konflik antar sukubangsa yang terjadi di Kabupaten Sambas antara orang Melayu dan Dayak dengan orang Madura adalah produk dari corak hubungan antar sukubangsa Melayu dengan Madura dan antar sukubangsa Dayak dengan Madura. Melalui tulisan ini juga ingin ditunjukan bahwa konflik antar sukubangsa adalah konflik antar golongan sehingga dalam konflik tersebut bukan hanya terdapat upaya saling menghancurkan orang-orang yang ciri-cirinya tergolong sebagai pihak lawan tetapi juga penghancuran segala sesuatu yang mempunyai ciri-ciri dari pihak lawan. Tulisan ini akan menyajikan pembahasan mengenai hakekat masyarakat majemuk Indonesia dan heterogenitas masyarakat setempat yang merupakan wadah yang menjadi konteks dari konflik antar sukubangsa, hakekat sukubangsa dan kesukubangsaan dalam hubungan antar sukubangsa dan konflik antar sukubangsa. Tulisan ini akan diakhiri dengan penyajian deskripsi konflik antara orang Melayu dengan orang Madura dan antara orang Dayak dengan orang Madura di kabupaten Sambas.

Masyarakat Majemuk dan Heterogenitas Masyarakat Setempat
Indonesia adalah sebuah masyarkat majemuk (plural society), yaitu sebuah masyarakat yang terdiri atas masyarakat-mayarakat sukubangsa yang dipersatukan oleh sistem nasional sebagai sebuah masyarakat negara dan sebagai bangsa atau nasion (lihat Supaarlan 1979’ 1999a). model masyarakat majemuk yang dikenal dalam ilmu-ilmu sosial ini bermula dari Furnivall (1948) yang mengidentifikasikan masyarakat jajahan Hindia Belanda sebagai sebuah masyarakat majemuk. Furnifall melihat masyarakat jajahan Hindia Belanda ini sebagai sebuah masyarakat yang terdiri atas kumpulan orang-orang atau kelompok-kelompok yang berbaur tetapi tidak menjadi satu. Masing-masing kelompok mempunyai agama, kebudayaan, dan bahasa, serta cita-cita dan cara-cara hidup mereka masing-masing (lihat Suparlan 2000:1).

Lebih lanjut dikatakan oleh Furnifall (Suparlan 2000:1) bahwa masyarakat seperti ini terdiri atas bagian-bagian atau segmen yang merupakan komuniti-komuniti yang hidup saling berdampingan dalam sebuah satuan politik, tetapi yang terpisah atau tidak merupakan sebuah kesatuan. Mereka ini merupakan sebuah masyarakat karena di persatuan secara paksa oleh pemerintahan nasional, yaitu pemerintah jajahan Hindia Belanda. Kekuasaan absolut berada ditangan sejumlah kecil golongan elite, yang merupakan penguasa jajahan yang dominan, yang menuntut penyerahan absolut dari masyarakat jajahan demi kepentingan penguasa jajahan tersebut. Kepentingan penguasa jajahan tersebut adalah penguasaan atas sumber-sumber daya ekonomi dan alam serta pendistribusiannya.

Masyarakat majemuk pada umumnya mempunyai ciri yang menyolok dalam hal corak pemerintahannya, yaitu bercorak otoriter dan militeristik sebagaimana yang menjadi corak dari semua pemerintahan dimasyarakat jajahan. Coraknya yang otoriter dan militeristik ini juga terdapat dalam masyarakat-masyarakat majemuk yang bukan negara jajahan, sebelum dirombak oleh kekuatan reformasi, seperti Uni Soviet Rusia, Yugoslavia, Afrika Selatan, dan Indonesia di masa pemerintahan Orde Baru. Ciri-ciri dari masyarakat majemuk yang otoriter dan militeristik ini terutama berbentuk kekejaman dan kekerasan terhadap rakyat atau warga masyarakatnya sendiri (van den Berghe 1990). Kekejaman dan kekerasan terhadap rakyatnya sendiri tersebut dilakukan dalam upaya menguasai secara absolut sumber-sumber daya ekonomi dan alam oleh penguasa dan oknum-oknum serta kroni-kroninya.

Masalah yang pada umumnya dihadapi oleh sebuah masyarakat majemuk, seperti Indonesia, adalah hubungan antara sistem nasional atau pemerintah pussat dengan masyarakat-masyarakat sukubangsa yang tercakup dalam masyarakat tersebut. Masyarakat-masyarakat sukubangsa telah ada sebelum adanya masyarakat majemuk yang dikuasai oleh sistem nasional. Masyarakat-masyarakat tersebut hidup di dan dari sumber-sumber daya yang ada dalam lingkungan alam dan fisik yang merupakan hak adat atau ulayat mereka. Permasalahan ini muncul pada rezim yang berkuasa itu berusaha untuk menguasai sumber-sumber daya alam yang ada dalam wilayah hak ulayat masyarakat-masyarakat sukubangsa setempat dengan menggunakan acuan hukum nasional yang menapikan hukum adat atau hak ulayat warga masyarakat setempat.

Pada waktu rezim penguasa tersebut masih berkuasa tidak ada satupun warga masyarakat tersebut yang berani menentangnya, dan tidak juga kelompok-kelompok atau masyarakat-masyarakat sukubangsa yang di eksploitasi hak ulayatnya tersebut berani menghalanginya. Tetapi, begitu rezim otoriter tersebut jatuh maka berbagai bentuk perambahan terhadap perussahaan-perusahaan dari oknum-oknum pemerintah pusat dan kroni-kroninya bermunculan sebagai kerusuhan-kerusuhan sosial dan konflik antar sukubangsa bermunculan (Suparlan 2000a, 2000b, 2001). Pendapat umum yang mengatakan bahwa kebangkitan mereka yang semula tertekan oleh rezim otoriter dan militeristik tidaklah dapat disangkal. Tetapi pendapat para pakar yang ditahun-tahun 1999-2001 yang bermunculan ditelevisi yang mengatakan bahwa konflik antar sukubangsa disebabkan oleh adanya kesenjangan sosial ekonomi antara kelompok sukubangsa pendatang yang makmur hidupnya dan kelompok sukubangsa setempat yang hidupnya melarat tidaklah benar.

Dimassa lampau masyarakat-masyarakat sukubangsa hidup dengan berpedoman pada kebudayaan masing-masing yang berlaku didalam wilayah masyarakat sukubangsa sendiri. Anggota-anggota dari setiap masyarakat sukubangsa hidup dalam komuniti-komuniti sukubangsa yang pada dasarnya bercorak homogen dengan masing-massing jatidiri sukubangsa dan jatidiri budayanya dalam batas-batas wilayahnya sendiri. Dikampung halamannya sendiri, masyarakat-masyarakat sukubangsa setempat dengan kebudayaannya masing-masing adalah yang dominan sebagai pedoman bagi kehidupan sehari-hari sebagaimana terwujud dalam pranata-pranata sosial mereka masing-masing. Dimasa lampau hanya dikota-kota atau kota-kota pelabuhan dan pusat-pusat perkotaan terdapat masyarakat campuran dari berbagai kelompok sukubangsa. Sedangkan pada masa sekarang hampir seluruh wilayah Indonesia secara sukubangsa telah menjadi masyarakat-masyarakat yang heterogen, dimana anggota-anggota dari berbagai sukubangsa hidup secara berdampingan dalam komuniti-komuniti pedesaan dari kelompok-kelompok sukubangsa setempat. Karena itu, pada masa sekarang, hubungan antara sukubangsa telah menjadi lebih intensif dari pada dimasa lampau.

Hal ini dapat menyebabkan munculnya masalah-masalah berkenaan dengan kesukubangsaan serta batas-batas sukubangsa dan perbedaan-perbedaan budaya ekonomi antara para pendatang dengan penduduk setempat karena hampir semua pendatang yang hidup di komuniti-komuniti masyarakat setempat mempunyai kebudayaan ekonomi yang lebih maju dan agresif. Akibatnya adalah bahwa kebudayaan dari masyarakat sukubangsa setempat yang semula adalah dominan menjadi ditantang dengan agresifitas para pendatang, yang tantangan tersebut dapat dilihat sebagai tantangan atas kebudayaan sukubansga setempat. Ini terutama terwujud melalui hubungan antar pendatang dengan masyarakat setempat yang terpusat pada masalah kompetisi untuk memperebutkan sumber-sumber daya. Permasalahan yang paling kritikal adalah tingkat agresifitas ekonomi para pendatang dalam persaingan untuk memperebutkan sumber-sumber daya dengan cara tidak mengindahkan berbagai aturan yang berlaku setempat. Karena angota-angota masyarakat setempat melihat diri mereka sebagai tuan rumah dan para pendatang tersebut dilihat sebagai melanggar aturan-aturan adat yang berlaku.

Aturan-aturan yang mengatur hubungan antara tuan rumah dengan tamunya tersirat dalam pepatah yang berlaku dalam kehidupan semua masyarakat sukubangsa di Indonesia yang berbunyi “dimana bumi dipijak disana langit dijunjung”. Artinya para pendatang yang hidup dalam komuniti sukubangsa setempat supaya menghormati dan menjunjung adat dan tradisi budaya yang berlaku setempat dengan cara mengikuti aturan-aturan adat dan tradisi-tradisi budayanya dalam kehidupan sehari-hari. Pepatah ini digunakan oleh warga masyarakat setempat untuk memantapkan posisi mereka dalam menghadapi agresifitas ekonomi dari para pendatang dengan cara menekankan bahwa posisi mereka adalah tuan rumah yang berhak atas segala sesuatu dalam rumahnya sedangkan para pendatang hanya tamu yang harus tunduk pada aturan-aturan yang berlaku dalam rumah tersebut. Dengan mengacu pada pepatah ini, secara halus dan tidak langsung, para pendatang diperingatkan untuk tidak mendominasi kehidupan mereka yang menjadi tuan rumah. Konflik-konflik antar sukubangsa yang telah terjadi di berbagai daerah di Indonesia dapat dilihat sebagai pelanggaran dari prinsip yang ada dalam pepatah tersebut.

Sukubangsa dan Kesukubangsaan

Sukubangsa dilihat sebagai golongan askriptif, golongan sosial yang tidak begitu saja oleh seseorang, yaitu “yang mengklasifikasikan seseorang berdasarkan atas identitasnya yang paling umum dan mendasar, yang berkaitan dengan asal muasal dan latar belakangnya” (Barth 1969). Sebagai golongan askriptif, sukubangsa mewujudkan dirinya dalam bentuk individu atau orang-perorang dan dalam bentuk kelompok serta masyarakat. Setiap orang dan setiap masyarakat mempunyai kebudayaan. Dan setiap masyarakat sukubangsa mempunyai kebudayaan sukubangsa. Kebudayaan dilihat sebagai blueprint atau pedoman bagi kehidupan, sebagai perangkat sistem-sistem acuan atau model kognitif dan afektif yang beroperasi pada berbagai tingkat perasaan dan kesadaran. Manusia menggunakan model-model tersebut secara selektif, sebagaimana yang paling cocok dengan mereka masing-masing, untuk mendorong terciptanya interpretasi-interpretasi yang penuh makna bagi diri mereka mengenai situasi-situasi yang dihadapi dan memedomani tindakan-tindakan mereka dalam lingkungan-lingkungan mereka, melalui kegiatan-kegiatan mereka. Tindakan tersebut dapat dilihat sebagai dorongan-dorongan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup maupun sebagai tanggapan-tanggapan terhadap struktur-struktur kekuatan yang ada dalam lingkungan-lingkungan mereka. Kebudayaan dan golongan sosial dapat dinyatakan sebagai sistem-sistem acuan dari interpretasi-interpretasi dan tanggapan-tanggapan. Dalam pendekatan ini kekuatan sosial dari para pelaku diperhitungkan, yaitu dalam tindakan-tindakan mereka didalam interaksi-interaksi dan dalam struktur-struktur kekuatan yang berlaku setempat.

Keyakinan keagamaan selalu menempel pada dan ada dalam kesukubangssaan seseorang dan dalam kelompok sukubangsa. Karena itu keyakinan keagamaan biasanya memperkuat kesukubangsaan yang mempertegas batas-batas kesukubangsaannya dengan kesukubangsaan dari orang atau kelompok sukubangsa yang lainnya. Tetapi sesuatu keyakinan keagamaan yang sama dapat juga dimiliki oleh orang dan kelompok atau kelompok-kelompok sukubangsa yang berbeda-beda. Sehingga, keyakinan keagamaan di satu sisi dapat memperkuat kesukubangsaan dari satu kelompok sukubangsa dalam hubungannya dengan sukubangsa lain, tetapi dari sisi lainnya keyakinan keagamaan dapat juga dapat meredupkan kesukubangsaan dari kelompok-kelompok sukubangsa yang mempunyai keyakinan keagamaan yang sama. Dalam keadaan terakhir tersebut diatas, justru jatidiri keagamaan yang menonjol dan meredupkan jatidiri sukubangsa dalam hubungan antar sukubangsa. Walaupun demikian tidak berarti bahwa dua kelompok sukubangsa yang mempunyai keyakinan keagamaan yang sama tetapi dalam keadaan konflik antar sukubangsa akan menghentikan konflik tersebut. Orang Melayu dan orang Madura di Sambas sama-sama memeluk agama Islam, tetapi dalam konflik yang terjadi pada tahun 1999 keyakinan keagamaan yang sama tersebut tidak mempunyai makna apapun dalam mendamaikan konflik ini.

Sukubangsa dan Hipotesa Kebudayaan Dominan
Sukubangsa sebagai golongan sosial yang askriptif mempunyai ciri primordial atau golongan sosial askriptif dan kebudayaan yang pertama dan mendasar yang didapat serta yang utama dalam kehidupan manusia. Seseorang tergolong dalam sesuatu sukubangsa karena dilahirkan dan dibesarkan oleh orangtua yang tergolong dalam sesuatu sukubangsa tersebut. Dia dibesarkan oleh orangtua dan dijadikan manusiadengan menggunakan kebudayaan orang tuanya sebagai acuan. tanpa didasari dan dikehendakinya dia menjadi angggota sesuatu masyarakat sukubangsa dan menjadi pendukung serta pemilik kebudayaan sukubangsanya, karena perbuatan orang tuanya, keluarga dan kerabatnya, serta warga masyarakat sukubangsanya.

Sebagai golongan sosial yang askriptif dan primordial, sukubangsa terikat oleh adanya hubungan darah atau kekerabatan dan asal daerah dari para pelakunya. Sehingga secara nyata maka yang kita lihat dari mereka yang tergolong dalam sesuatu sukubangsa adalah satuan biologi, yaitu keluarga, kelompok kerabat atau klen, komuniti, dan masyarakat. Sebagai kelompok atau masyarakat maka sebuah sukubangsa menempati sebuah wilayah yang menjadi tempat dari berbagai sumberdaya yang dimanfaatkan oleh anggota-anggota masyarakat sukubangsa setempat untuk kelangsungan kehidupan mereka. Cara-cara pemanfaatan sumberdaya-sumberdaya yang ada dalam lingkungan mereka itu dilakukan dengan menggunakan kebudayaan yang menjadi pedoman bagi kehidupan mereka. Masing-masing masyarakat sukubangsa, dengan kata lain, mempunyai kebudayaan sendiri yang berbeda dari kebudayaan yang dipunyai oleh masyarakat sukubangsa lainnya. Masing-masing masyarakat sukubangsa tersebut juga mengembangkan pranata-pranata sosial yang berbeda coraknya dari masyarakat sukubangsa lainnya. Dalam masyarakat sukubangsa setempat maka kebudayaan sukubangsa dari masyarakat tersebut adalah dominan. Dalam sebuah masyarakat yang anggota-anggotanya mencakup lebih dari satu sukubangsa seperti yang terdapat didaerah perkotaan atau daerah pedesaan dewasa ini di Indonesia, maka ada atau tidak adanya kebudayaan sukubangsa yang dominan dan hubungan antara kebudayaan dari para pendatang dengan kebudayaan dominan mempengaruhi corak hubungan antar sukubangsa dan potensi konflik antar sukubangsa.

Profesor Bruner (1974) dalam upaya menjelaskan corak ungkapan kesukubangsaan di Bandung dan di Medan telah menggunakan sebuah model yang dinamakannya sebagai “hipotesa kebudayaan dominan”. Inti dari hipotesa ini adalah bahwa corak ungkapan kesukubangsaan di sesuatu masyarakat itu dipengaruhi oleh ada atau tidak adanya dominasi oleh kebudayaan dari salah satu sukubangsa yang hidup setempat. Di Bandung terdapat kebudayaan Sunda yang dominan, dimana struktur kekuasaan pada tingkat atas sampai dengan tingkat bawah diperuntukan bagi dan dipegang oleh orang Sunda. Dalam kehidupan sehari-hari ditempat-tempat umum kebudayaan Sunda adalah acuan utama bagi sopan santun dalam tindakan-tindakan, dan bahasa Sunda adalah bahasa yang berlaku di tempat-tempat umum. Para pendatang dari berbagai sukubangsa cenderung menjadi seperti Sunda atau menjadi Sunda (Suparlan 1972, Bruner 1974). Sedangkan di kota Medan yang tidak mengenal adanya kebudayaan sukubangsa dominan, telah menghasilkan adanya masyarakat-masyarakat sukubangsa dengan masing-masing kebudayaannya yang relatif otonom dan dominan dalam wilayah tempat tinggal mereka masing-masing. Karena itu dikota Medan, kebudayaan dan bahasa yang digunakan ditempat-tempat umum tergantung pada hasil tawar menawar kekuatan diantara anggota-anggota sukubangsa yang berbeda-beda. Hal yang sama juga berlaku dalam posisi-posisi yang ada dalam struktur-struktur kekuasaan resmi nasional dan lokal yang ada dikota Medan. Dalam keadaan demikian, kesukubangsaan masing-masing biasanya diaktifkan oleh mereka yang menduduki posisi-posisi kunci, dan karena solidaritas sukubangsa menjadi ciri yang menonjol dalam kehidupan sehari-hari.

Dengan menggunakan model hipotesa kebudayaan dominan dari Bruner seperti tersebut diatas, saya melihat bahwa pada dasarnya kebudayaan Melayu di pantai barat Kalimantan, terutama di kabupaten Sambas (sekarang menjadi kabupaten Sambas dan kabupaten Bengkayang), adalah kebudayaan dominan. Masyarakat sukubangsa Melayu di Sambas telah mengembangkan pranata politik yang berbentuk kerajaan atau kesultanan, sedangkan masyarakat sukubangsa Dayak yang hidup di daerah pedalaman dan menjadi tetangganya tidak mengembangkannya. Orang Melayu sebagai sukubangsa, mengadopsi agama Islam sebagai agama mereka dan menjadikannya sebagai kebudayaan atau pedoman bagi kehidupan mereka yang menyeluruh. Sebaliknya orang Dayak, adalah sukubangsa yang menganut agama nenek moyang mereka sebagai pedoman bagi kehidupan mereka. Orang Dayak yang telah mengganti agama nenek moyangnya menjadi beragama Islam biasanya dinamakan “masuk Melayu”. Karena agama Islam bagi orang Melayu bukan hanya sekedar pedoman bagi beribadah tetapi merupakan keseluruhan kebudayaan Melayu atau pedoman menyeluruh bagi kehidupan mereka sebagai orang Melayu. Pemantapan agama Islam sebagai inti dari kebudayaan Melayu telah dimungkinkan oleh adanya kesultanan Melayu yang selama sekian abad memantapkan ajaran-ajaran Islam sebagai bagian dari kebudayaan Melayu. Orang Dayak yang “masuk Melayu” menyadari bahwa mereka bukan hanya harus meninggalkan keyakinan keagamaan asli mereka tetapi juga harus mengadopsi kebudayaan Melayu secara menyeluruh sebagai pedoman bagi kehidupan mereka, walaupun hubungan kekerabatan dengan saudara dan kerabatnya yang Dayak tetap berlangsung. Sedangkan orang Dayak yang telah beragama kristen atau katolik dan tinggal didaerah pedesaan masih tetap mempertahankan berbagai unsur kebudayaan mereka yang asli, termasuk sebagian dari keyakinan keagamaan mereka, yang secara praktikal berguna dalam menghadapi lingkungan yang sebagian besar masih bercorak alami.

Dalam perspektif tersebut di atas, wilayah kabupaten Sambas dapat dilihat sebagai dua wilayah kebudayaan yang berbeda. didaerah pantai barat terdapat wilayah kebudayaan Melayu yang Islam, yang merupakan kebudayaan sukubangsa dominan yang dimasa lampau terpusat di kesultanan Sambas. Sedangkan di daerah pedalaman (yang sekarang menjadi daerah kabupaten Bangkayang), yaitu di bagian timur dari kabupaten Sambas, adalah wilayah dari kebudayaan Dayak yang bercorak egaliter dan yang kebudayaan Dayak tersebut merupakan kebudayaan dominan diwilayah tersebut. Baik orang Melayu maupun orang Dayak menyadari keberadaan dan dominasi kebudayaan sukubangsa di wilayah mereka masing-masing, dan saling, menghormatinya. Karena itu hubungan antara dua sukubangsa tersebut berada dalam suatu hubungan yang relatif harmonis dan bercorak simbiotik yang saling menguntungkan. Berbagai sukubangsa pendatang yang menetap di kabupaten Sambas menyadari adanya dua kebudayaan sukubansga yang dominan tersebut, dan mereka menghormatinya dengan cara hidup sesuai dengan berbagai pedoman yang berlaku menurut kebudayaan dan pranata-pranatanya, sehingga mereka itu cenderung menjadi seperti Melayu atau seperti Dayak, tergantung pada dimana wilayah tempat kehidupan mereka sebagai pendatang. Orang Bugis misalnya, cenderung menjadi seperti orang Melayu dan bahkan menjadi Melayu, seperti orang Jawa di Bandung (Suparlan 1972). Kebiasaan orang Bugis untuk menyelipkan badik di pinggang pada waktu berada di tempat-tempat umum dan menggunakannya bila rasa harga diri mereka tersinggung telah tidak dilakukannya lagi di Sambas. Mereka juga menjadi seperti orang Melayu yang lebih sering menyelesaikan perkara dan persengketaan dengan cara bermusyawarah dan berdamai, dan bila perlu meminta maaf.

Dengan mengacu pada kerangka berpikir seperti tersebut diatas dalam tulisan ini akan saya coba untuk menjelaskan hakekat dari kerusuhan antar sukubangsa yang berdarang yang terjadi di Sambas (lihat Suparlan 1999b dan 1999c) dan menunjukan bahwa kekerasan yang terwujud adalah produk dari hubungan antar sukubangsa yang berlaku setempat. Berbagai sukubangsa pendatang di Sambas telah memperlakukan diri mereka dan orang-orang Melayu atau Dayak sebagai orang-perorang. Dan, oleh karena itu maka pada waktu konflik terjadi diantara mereka yang pendatang dengan anggota masyarakat Melayu atau Dayak maka yang terjadi adalah konflik antar perorangan. Sedangkan orang-orang Madura di Sambas selalu menonjolkan kesukubangsaan Maduranya dan bukan orang-perorangnya. Mereka selalu hidup dan bekerja dalam kelompok-kelompok sebagai orang Madura, membangun solidaritas sosial diantara sesama mereka yang Madura, dan bila terjadi persengketaan antara seorang Madura dengan orang Melayu atau Dayak maka persengketaan tersebut akan selalu diselesaikan oleh kelompok Madura yang bersangkutan. Kesukubangsaan pada orang Madura di Sambas, dalam bentuk kelompok dan solidaritas sosial orang Madura, adalah merupakan acuan utama dari keberadaan dan kelangsungan hidup bagi mereka. Disamping itu, orang-orang dan kelompok-kelompok Madura mempunyai kecenderungan untuk menyelesaikan berbagai masalah dan persengketaan dengan cara ancaman dan kekerasan. Tanpa disadari oleh semua anggota sukubangsa yang ada di Sambas, dengan cara ancaman dan kekerasan inilah maka secara bertahap kebudayaan dominan Melayu maupun Dayak di tempat-tempat umum di Sambas digeser dan diganti oleh dominasi kekerasan dari kebudayaan Madura. Corak hubungan antara orang Madura dengan orang Melayu dan Dayak di Sambas diwarnai oleh kekerasan, dan kekerasan ini adalah kekerasan kategorikal atau golongan. Sehingga pada waktu terjadi konflik antara Melayu lawan Madura dan Dayak lawan Madura, yang ada adalah konflik antar golongan askriptif dengan segala atributnya untuk secara kekerasan dihancurkan. Konflik-konflik berdarah yang terjadi di Sambas, Ambon,Poso atau Sampit adalah konflik antar sukubangsa, dan bukannya konflik komunal sebagaimana yang telah dinyatakan oleh Aragon (2001), Van Dijk (2002), Colombijn (2002). Atau dengan kata lain, kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang Melayu dan orang-orang Dayak terhadap semua orang Madura di Sambas melalui kegiatan pembunuhan, mutilasi tubuh, dan penghancuran segala atribut yang menempel pada orang Madura adalah sebagai imbas balik dari upaya pendominasian dengan cara-cara kekerasan oleh orang-orang Madura di Sambas sebelum terjadinya konflik berdarah tersebut. Secara simbolik, pembunuhan mutilasi tubuh, pengusiran terhadap orang-orang Madura dari Sambas dan penghancuran terhadap rumah-rumah dan segala harta benda orang-orang Madura oleh orang-orang Melayu dan Dayak dapat dilihat sebagai sebuah upaya pembersihan atau pencucian terhadap segala kekotoran yang telah menimpa kehidupan mereka di wilayah sambas yang dikarenakan oleh keberadaan dan perbuatan-perbuatan orang Madura (lihat Douglas 1966).

Dalam hubungan antar sukubangsa yang relatif tidak berlangsung secara harmonis seperti yang terjadi antara orang Madura dengan orang Melayu dan dengan orang Dayak di kabupaten Sambas, hubungan antar pribadi atau perorangan diantara mereka adalah sesuatu yang tidak umum berlaku. Yang ada adalah hubungan antar stereotip orang Madura (lihat Douglas 1966).

Dalam hubungan antar sukubangsa yang relatif tidak berlangsung secara harmonis seperti yang terjadi antara orang Madura dengan orang Melayu dan dengan orang Dayak di kabupaten Sambas, hubungan antar pribadi atau antar perorangan diantara mereka yang harmonis tidaklah berkembang. Yang ada adalah hubungan antar stereotip yang berupa label yang dihasilkan dari hubungan antar golongan atau antar kategori yang tidak menunjukan adanya ciri-ciri kemanusiaan. Dalam stereotipnya orang Melayu melihat orang Madura sebagai sama dengan golongan atau kategori hewan yang kotor, yaitu anjing, yang tidak bisa dipercayai, yang pencuri, pemalak, perampok. Sebaliknya orang Madura melihat orang Melayu sebagai penakut, kebanyakan ngomong, kelihatan besar tetapi keropos seperti kerupuk. Sedangkan orang Dayak melihat orang Madura sebagai hewan hama dan hewan buruan yang rakus, yaitu babi hutan. Dan sebaliknya orang Madura melihat orang Dayak sebagai kafir dan mahluk terbelakang (1998, 1999b). konflik antar individu yang menghasilkan kerusuhan antar sukubangsa dan yang terwujud sebagai kekerasan berdarah sebenarnya dapat juga dipahami dengan mengacu pada stereotif sukubangsa yang mereka punyai masing-masingdan mereka gunakan untuk memperlakukan pihak lawan. Kekerasan telah terwujud karena pihak lawan tidak lagi dilihat dan diperlukan sebagai kategori atau golongan manusia tetapi sebagai kategori hewan atau benda yang memang sudah sewajarnya untuk dihancurkan.

Sukubangsa-sukubangsa dengan kebudayaannya masing-masing sudah ada selama berabad-abad dan hidup dalam satu generasi demi generasi berikutnya sebelum adanya Indonesia. Indonesia baru ada secara de jure dan secara de facto karena masyarakat-masyarakat sukubangsa yang ada dalam wilayah jajahan Belanda, yaitu Hindia Belanda, dipersatukan oleh sistem nasional Indonesia melalui proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. sistem nasional Indonesia memantapkan keberadaanya dengan melalui berbagai pranata yang ada di dalam dan melalui pemerintahan administrasinya. Secara umum, sistem nasional Indonesia telah di satu pihak melemahkan kesukubangsaan dari sebagian besar warga masyarakat Indonesia yang disebabkan oleh besarnya semangat kebangsaan ke-Indonesiaan atau kebangsaan Indonesia dalam melawan penjajah Belanda dan Jepang. Tetapi dilain pihak juga telah memperkuat kesukubangsaan masing-masing warga masyarakat Indonesia karena berbagai pranata yang ada dalam sistem nasional Indonesia telah gagal dalam menyajikan peranan-peranan dan aturan-aturan yang secara adil dan beradab dapat menyelenggarakan upaya-upaya pemenuhan-pemenuhan kebutuhan hidup yang dianggap penting oleh masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat-masyarakat sukubangsa khususnya.

Pranata-pranata yang ada dalam sistem nasional tidak semuanya berjalan secara sempurna dan efektif dalam memantapkan sistem nasional Indonesia di wilayah-wilayah sukubangsa. Bahkan keberdayaan dan efektifitas dari pranata-pranata yang ada dalam masyarakat-masyarakat sukubangsa telah dibuat tidak berdaya oleh pengaktifan dari pranata-pranata nasional yang menekankan pada penyeragaman. Disatu pihak pranata-pranata dari masyarakat-masyarakat sukubangsa setempat dilemahkan dan dipihak lain pranata-pranata nasional yang diberlakukan dalam masyarakat sukubangsa setempat tidak effektif karena para pejabat atau fungsionaris yang menjalankan pranata-pranata tersebut tidak melakukannya secara profesional, atau juga karena para pejabat tersebut melakukan korupsi.

Diantara berbagai pranata yang dirasakan sebagai tidak efektif atau tidak berfungsi sebagaimana seharusnya adalah pranata-pranata yang menjamin rasa keadilan, perlindungan dari ancaman, dan penegakkan rasa aman, dan keteraturan sosial. Ini terutama dirasakan oleh warga masyarakat Melayu dan Dayak di Sambas, dimana berbagai aturan yang berlaku ditempat-tempat umum yang semula berdasarkan atas adat atau kebudayaan Melayu atau Dayak telah dilemahkan oleh diberlakukannya pranata-pranata nasional, tetapi pranata-pranata nasional Indonesia tersebut tidak mampu untuk melayani pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup sejahtera secara adil dan beradab. Bersamaan dengan itu pranata-pranata nasional dilemahkan dan ditunggangi oleh para oknum dan kroni-kroni pemerintahan Suharto dengan menggunakan kekerasan dan KKN. Bersamaan dengan itu tempat-tempat umum diambil alih kelompok-kelompok preman asal orang Madura.

Orang Madura di Kabupaten Sambas.
Orang Madura telah datang dan tinggal di Kalimantan Barat sejak tahun 1892an. Sebelum perang dunia II, keberadaan mereka secara sosial dan ekonomi di Kalimantan Barat tidak mempunyai arti penting. Karena, jumlah mereka itu kecil dan karena posisi sosial mereka yang rendah yang pada umumnya adalah buruh kasar. Pada masa sekarang, sebelum terjadinya kerusuhan tahun 1999, orang-orang Madura hidup di hampir seluruh pelosok wilayah kabupaten Sambas, yaitu didesa-desa dan didusun-dusun maupun didaerah perkotaan.

Orang Madura hidup mengelompok diantara sesama orang Madura. Baik yang hidup dalam komuniti-komunitiyang berupa dusun yang secara homogen dihuni oleh orang-orang Madura dan yang terpisah sama sekali dari kehidupan orang-orang Melayu atau Dayak, maupun yang hidup dalam komuniti-komuniti yang kesemua warganya adalah orang Madura yang berada dalam lingkungan wilayah desa orang Melayu atau desa orang Dayak. Dalam keadaan demikian, kampung atau komuniti orang Madura bertetangga dengan komuniti-komuniti orang Melayu atau Dayak setempat. Didaerah perkotaan, dikota Singkawang misalnya, mereka juga hidup mengelompok dalam lingkungan ketetanggaan yang kesemuanya adalah orang Madura. Pusat dari sebuah komuniti orang Madura adalah tempat ibadah mereka. Pada waktu jumlah mereka itu sedikit maka tempat ibadah tersebut adalah langgar atau mushola. Bila jumlah anggota komunitinya bertambah banyak maka pusat komuniti tersebut adalah mesjid, yang biasanya dibarengi dengan adanya pesantren. Langgar atau mesjid dan pesantren adalah eksklusif Madura. Karena bahasa yang digunakan adalah bahasa Madura. Kyai dari komuniti setempat adalah tokoh panutan dunia akhirat bagi masing-masing warga masyarakat setempat. Para kyai ini adalah guru ngaji dari anak-anak di masing-masing komuniti Madura, dan imam dalam kegiatan-kegiatan sembahyang berjamaah atau pemimpin upacara-upacara keagamaan yang mereka jalankan. Orang-orang Madura hanya bersembahyang berjamaah di mesjid Madura, yang khotbahnya dilakukan dalam bahasa Madura.

Menurut orang-orang Melayu, Dayak, Cina, Bugis, Jawa, Batak, dan semua anggota sukubangsa yang tinggal di kabupaten Sambas, baik yang tinggal di daerah perkotaan maupun yang tinggal di daerah pedesaan, hidup berdampingan dengan orang Madura hanya merugikan saja. Kerugian harta benda atau kehormatan dan harga diri. Orang-orang Melayu merasa bahwa orang-orang Madura tidak menghargai harkat martabat mereka sebagai manusia dan sebagai penduduk setempat, dan orang Madura juga tidak memandang sebelah mata kepada adat istiadat Melayu yang mereka junjung tinggi. Orang-orang Madura telah memperoleh keuntungan secara berlebihan (tanah-tanah pertanian dan kebun, rumah, monopoli kegiatan-kegiatan berjualan dan bisnis, monopoli eksploitasi batu dan penambangan emas, kayu dan berbagai hasil hutan lainnya) dengan cara-cara curang, ancaman, pemerasan, dan kekerasan berupa teror mental dan penyiksaan serta pembunuhan. Orang-orang Madura tidak pernah merasa bersalah terhadap warga masyarakat setempat yang dirugikannya secara curang walaupun perbuatan tersebut secara etika dan moral yang berlaku setempat dan maupun secara umum adalah perbuatan yang salah dan melanggar hukum.

Warga masyarakat setempat yang berasal dari berbagai sukubangsa dan lapisan sosial di kabupaten Sambas melihat orang-orang Madura sebagai pencuri, perampok, dan preman atau tukang palak. Waktu saya katakan kepada mereka dalam diskusi-diskusi kelompok di kota Sambas, Tebas, Pemangkat, dan di ibukota kecamatan Jawai maupun secara pribadi dalam berbagai wawancara, bahwa orang-orang Madura yang pencuri, perampok, preman dan tukang palak itu tidak semua orang Madura di Sambas, mereka semuanya membantah pernyataan saya. Yang menarik untuk diperhatikan adalah bahwa orang-orang Melayu tersebut memberikan contoh-contoh berdasarkan pengalaman masing-masing dan yang dibenarkan oleh yang lainnya, mengenai bagaimana mereka itu telah dirugikan oleh orang-orang Madura. Bahkan mereka mengatakan bahwa bos-bos para preman adalah para kyai yang tokoh masyarakat Madura setempat atau mereka yang bergelar haji dan kaya.

Menurut mereka, luas tanah dari kebun dan dari sawah serta pekarangan atau halaman rumah mereka bisa bergeser semakin kecil dan menciut dari waktu ke waktu karena pagar atau batas tanah, yang berupa pagar hidup, digeser dari waktu ke waktu si tetangga yang Madura. Begitu juga padi di sawah, palawija, buah-buahan di pohon adalah mereka yang menanam tetapi yang memetik hasilnya adalah orang Madura. Mereka tidak berani untuk melarangnya karena takut diparang. Ayam dan itik tidak sempat bertelur, kata mereka, karena hilang dari kandang pada waktu binatang-binatang tersebut sudah menjadi besar, dan berbagai contoh lainnya yang amat banyak untuk disebutkan satu-persatu. Sealnjutnya mereka menunjukan kasus-kasus monopoli pelayanan transportasi di kota Sambas dan Singkawang misalnya, yang telah dilakukan dengan ancaman terhadap orang-orang yang bukan Madura yang melakukan kegiatan pelayanan transportasi. Ancaman tersebut bertujuan agar mereka yang bukan Madura meninggalkan kegiatan mereka itu. Juga pemalakan terhadap supir-supir angkutan umum yang bukan orang Madura, pemalakan atas usaha-usaha dagang dan bisnis, dan pemalakan terhadap warung-warung atau toko-toko, dan berbagai kegiatan pencurian dan pemerasan yang dilakukan oleh orang-orang Madura.

Orang-orang Madura, tua dan muda, laki-laki dan perempuan, selalu menyelipkan sebilah pisau atau badik di pinggang mereka pada waktu mereka itu berada ditempat-tempat umum. Seringkali mereka itu dengan sengaja menonjolkan senjata yang ada dipinggang mereka dengan tujuan untuk menakut-nakuti warga masyarakat yang ada di tempat-tempat umum atau pasar. Walaupun sudah ada larangan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah kabupaten Sambas setelah peristiwa kerusuhan Dayak-Madura di Sanggoledo pada tahun 1996-1997, tetapi tetap saja orang-orang Madura di kabbupaten Sambas selalu membawa senjata tajam di tempat-tempat umum. Alasan mereka adalah bahwa pisau atau badik tersebut berfungsi sebagai pengganti tulang rusuk ketujuh, yang hanya ada enam buah. Orang-orang Madura selalu dengan sigap mencabut badik atau parang yang ada dipinggang mereka untuk menyelesaikan berbagai persengketaan yang mereka hadapi.

Oleh warga masyarakat setempat yang berasal dari berbagai sukubangsa, orang-orang Madura dikenal sebagai sebuah kelompok sukubangsa yang kuat solidaritas sosial di antara sesamanya dalam menghadapi orang luar yang bukan orang Madura. Menurut mereka, bila seorang Madura mengalami kesulitan karena yang bersangkutan bertengkar dengan warga setempat yang menjadi tetangganya maka orang-orang Madura lainnya yang menjadi sesama warga komunitinya akan membelanya sehingga orang Madura yang bersangkutan tersebut memenangkat pertengkaran atau konflik yang terjadi. Mereka tidak perduli apakah orang Madura yang bertengkar tersebut berada dipihak yang salah atau di pihak yang benar, pokoknya harus dimenangkan. Bahkan menurut seorang petugas kepolisian di Tebas, mereka juga pernah menyerang sebuah pos Polisi di Tebas dan Kantor Polsek Tebas. Bahkan di Pontianak, ibukota Kalimantan Barat, orang-orang Madura pernah menyerang kantor Polres. Orang-orang yang bukan Madura di kabupaten Sambas memperoleh kesan bahwa orang-orang Madura mempunyai prinsip satu untuk semua dan semua untuk satu. Prinsip tersebut telah digunakan oleh orang-orang Madura dalam upaya mereka untuk mendominasi kehidupan sosial, ekonomi dan politik di kabupaten Sambas dan di Kalimantan Barat pada umumnya. Pendominasian tersebut telah dilakukan oleh orang-orang Madura dengan cara-cara kekerasan dan kecurangan yang bertentangan dengan adat istiadat orang Melayu maupun adat istiadat Dayak yang berlaku setempat.

Orang-orang Melayu yang tidak terbiasa hidup dengan cara-cara kekerasan dalam memenangkan sesuatu persaingan menjadi ketakutan, dan lebih-lebih lagi dengan cara kekerasan yang curang (menurut orrang Melayu selalu menclurit atau menusuk pihak lawan dengan pisau dari belakang pada waktu satu lawan satu dan pada waktu siorang Melayu dalam keadaan lengah). Selama sekian puluh tahun dan sekian generasi orang-orang Melayu menekan rasa ketakutan dan frustasi dengan harapan bahwa penegak hukum akan dapat mengatasi ketidak adilan tersebut. Tetapi harapan mereka ternyata tidak pernah terlaksana. Bahkan menurut kesan orang-orang Melayu yang saya wawancarai, orang-orang Madura semakin merajalela yang membuat orang-orang Melayu dan mereka yang tergolong bukan orang Madura menjadi semakin ketakutan. Orang-orang Melayu memang takut menghadapi orang-orang Madura yang biasa menggunakan cara-cara kekerasan yang dilakukan secara curang. Mereka biasa melakukan cara-cara pengroyokan dan melukai lawan atau korbannya dengan senjata tajam. Pada dasarnya orang-orang Melayu adalah individualis-individualis yang tidak mengenal adanya solidaritas sukubangsa, seperti yang menjadi ciri-ciri dari orang Madura. Karena itu, dalam menghadapi orang-orang Madura didalam kehidupan mereka sehari-hari, mereka itu berada dalam posisi orang-perorang atau sendirian yang dihadapkan pada sebuah kelompok orang Madura yang bersenjata yang biasa menggunakan senjatanya dan mempunayai kemampuan untuk menghancurkan si Melayu. Orang-orang Melayu juga mengaku bahwa dalam berargumentasi mengenai sesuatu kebenaran dengan orang-orang Madura mereka itu selalu kalah, karena orang-orang Madura mempunyai acuan logika yang aneh dan kokoh atau dipertahankan secara keras kepala.

Salah seorang dari orang-orang Melayu di Pemangkat yang saya wawancarai menunjukan contoh bahwa, pada waktu dia menegur seorang tetangganya yang mengambil buah kelapa dalam jumlah banyak dari pohon-pohon kelapa yang tumbuh di pekarangan rumahnya, si tetangga Madura tersebut mengatakan bahwa dia telah diberi izin olehnya kemarin untuk mengambil buah kelapa yang dimilikinya. Si orang Melayu tersebut mengatakan: “itu kan kemarin, dan saya memberikan izin untuk mengambil satu atau dua buah kelapa untuk memasak lauk di rumah, dan bukannya untuk diambil dalam jumlah banyak untuk dijual kepasar”. Si orang Madura mengatakan: “izinnya tidak mengatakan kelapa yang saya ambil itu untuk masak atau untuk keperluan lainnya, dan juga tidak dikatakan berapa buah kelapa yang dapat saya ambil. Izin sudah kamu berikan kepada saya, apa kamu mau megingkari izin yang telah kamu berikan? Saya minta ganti rugi kalau tidak kamu izinkan, atau kamu akan saya sakiti kalau tidak diberi ganti rugi”. Sambil berkata-kata tersebut si tetangga Madura memegang gagang parangnya. Menurut cerita si orang Melayu selanjutnya, selama enam bulan si tetangga Madura tersebut menguras habis buah kelapa di pohon-pohon kelapa yang dimilikinya, tanpa dia mampu untuk menolaknya. Akhirnya si orang Melayu dan keluarganya memutuskan untuk pindah rumah ke Pontianak. Contoh lain adalah cerita seorang dosen Universitas Tanjung Pura, Pontianak, yang pulang ke rumah mendapati seorang Madura sedang memetik buah-buah jambu yang dipohon di halaman rumahnya. Dia bertanya: kamu mencuri buah-buah jambu saya, ya?” si orang Madura tersebut dengan tenang menjawab: saya tidak mencuri. Mencuri itu dilakukan pada malam hari, dan itu dosa. Saya hanya mengambil buah jambu”.

Kerusuhan Sambas dan Pemicunya
Frustasi sosial yang meluas dan mendalam karena merasa bahwa kehidupan mereka itu didominasi secara curang dan sewenang-wenang dan dengan cara kekerasan oleh orang Madura telah membuat orang Melayu hanya mampu menggerutu dan mengeluh. Tidak seorang pun di antara mereka, sebelum kerusuhan Melayu-Madura itu terjadi, yang berani menantang dominasi tersebut. Mereka hanya ikut bersorak sorai di dalam hati pada waktu terjadi kerusuhan Dayak-Madura di Sanggau Ledo pada tahun 1996-1997, dimana orang-orang Madura yang terbunuh cukup banyak jumlahnya. Kebudayaan dan kesukubangsaan orang Dayak berbeda dari yang dipunyai olehn orang Melayu. Corak kesukubagsaan orang Dayak mirip dengan corak kesukubangsaan yang dipunyai oleh orang Madura. Kebudayaan orang Dayak juga mirip dengan kebudayaan orang Madura. Orang Dayak mampu untuk melawan kekerasan orang Madura dengan kekerasan dan mampu untuk melawan kekejaman dengan kekejaman yang sama atau bahkan lebih kejam dari pada yang telah dilakukan oleh orang-orang Madura.

Menurut keterangan sejumlah tokoh Dayak dan tokoh Madura yang saya jumpai di Singkawang pada tahun 1999, antara tahun 1962-1999 telah terjadi kerusuhan berdarah sebanyak 11 kali. Kerusuhan dengan banyaknya korban yang terbunuh dan harta benda yang hancur yang diderita oleh kedua belah pihak adalah kerusuhan yang terjadi pada tahun 1996-1997 (lihat Suparlan 1998). Pada setiap konflik berdarah antara Dayak-Madura yang telah terjadi selama 11 kali tersebut, konflik selalu dihentikan dengan sebuah upacara perjanjian damai yang diwakili oleh para tokoh dari masing-masing pihak. Tetapi setiap perjanjian perdamaian Dayak-Madura yang telah dibuat sebanyak 11 kali tersebut selalu dilanggar oleh orang Madura yang dengan secara khilaf melukai atau membunuh orang Dayak dalam suatu persengketaan.

Orang Madura yang berani mati bukan hanya karena memang berani mati yang dikarenakan mempunyai prinsip “harga nyawa cuma sebenggol”, tetapi juga karena mereka itu percaya pada do’a dan jimat atau isim yang diberikan oleh para kyai atau guru mereka. Sedangkan orang Dayak memperoleh kekuataan dan keberanian dari roh-roh panglima perang yang menjadi nenek moyang mereka yang dapat dipanggil sewaktu-waktu untuk melindungi dan mempertahankan ketentraman kehidupan mereka. Untuk itu mereka harus melakukan upacara keagamaan yang dinamakan matok untuk memanggil tokoh panglima tersebut, yang dinamakan kamang tariu dimana kata tariu sebenarnya berarti teriakan , yaitu teriakan perang yang menggetarkan seluruh sendi tulang musuh yang mendengarnya, untuk merasuk ke dalam tubuh orang-orang Dayak yang memanggilnya yang merupakan anak-anak cucu dari kamang tariu atau si panglima perang. Dalam upacara tersebut persyaratan utama adalah menyembelih ayam jantan berbulu merah dan anjing berbulu merah untuk orang-orang Dayak Sungkung, Bengkayang, Selamatan, dan Seluas. Sedangkan untuk orang-orang Dayak di Jawai, Tebas, Pemangkat, Paloh dan sekitarnya yang disembelih adalah ayam jantan berbulu hitam dan anjing yang juga berbulu hitam. Darah hewan ini ditampung di sebuah mangkuk, sehingga mangkuk yang semula putih itu menjadi berwarna merah. Mangkuk berwarna merah dengan darah atau dikenal dengan nama ‘mangkuk merah’ inilah tanda bahwa orang Dayak sudah siap untuk berperang. Orang-orang Dayak yang berpartisipasi dalam upacara tersebut melantunkan do’a dan menari-nari dan menjilat darah dalam mangkuk atau menghirup baunya, yang dengan cara itu dipercaya bahwa kamang tariu telah merasuk kedalam tubuh mereka masing-masing. ‘mangkuk merah’ ini kemudian diedarkan kepada orang-orang Dayak lainnya yang tinggal dikomuniti yang bersangkutan maupun yang tinggal di komuniti-komuniti lainnya yang tersebar di kabupaten Sambas. Pengedaran ‘mangkuk merah’ ke komuniti-komuniti Dayak di daerah pedesaan yang luas adalah dimaksudkan bahwa peperangan telah siap untuk dijalankan dan solidaritas Dayak diminta untuk diwujudkan dalam bentuk partisipasi mereka di dalam kancah peperangan. Pada waktu peperangan telah berakhir, seperti yang terjadi antara orang Dayak melawan Madura, maka roh kamang tariu atau panglima perang itu harus dikembalikan ketempat peristirahatannya yang semula. Untuk itu perlu diadakan upacara lagi yang biayanya lebih mahal dari pada upacara memanggil kamang tariu. Menurut keterangan seorang tokoh Dayak yang tinggal di Singkawang upacara pengembalian roh-roh kamang tariu itu harus dilakukan agar para roh tersebut tidak mengganggu kehidupan sehari-hari orang Dayak yang mencintai kehidupan dan kedamaian dengan sesama baik yang terlihat maupun yang tidak dan baik dengan manusia maupun dengan sesama mahluk lainnya.

Berbeda dengan konflik antara orang Dayak dengan orang Madura yang telah terjadi sebanyak 11 kali, maka konflik antara orang Melayu dengan orang Madura hanya terjadi sekali yang berupa konflik berdarah antar dua sukubangsa ini secara besar-besaran dan menyeluruh serta habis-habisan. Kesan saya, dari kerusuhan-kerusuhan yang terjadi, yang sempat saya amati di wilayah Sungai Raya, adalah mengamuknya tokoh seperti Hang Jebat dalam cerita hikayat Hang Tuah. Orang-orang Melayu yang biasanya lemah lembut budi pekerti serta tutur sapanya dan penakut, telah berubah menjadi beringas dalam dalam kelompok-kelompok amuk massa yang tidak dapat dibendung atau dikendalikan lagi dalam upaya untuk menghancurkan orang-orang Madura dengan segala harta bendanya yang ada setempat. Keberingasan orang-orang Melayu, khususnya para remaja dan pemudanya, telah dipicu oleh peristiwa “Parit Setia” dan oleh sejumlah peristiwa yang sama yang berturut-turut terjadi setelah itu.

Pada tanggal 19 Januari 1999, tepat pada hari Raya Idul Fitri, warga masyarakat desa Parit Setia, kecamatan Jawai diserang oleh kira-kira 200an orang Madura dari desa Sarimakmur, kecamatan Tebas yang bertetangga dengan kecamatan Jawai. Tiga orang penduduk desa Parit Setia dibunuh dan sejumlah lainnya luka-luka. Dua orang Polisi yang menghadang orang-orang Madura tersebut dibuat tidak berdaya dan semua senjata mereka dirampas. Peristiwa “Parit Setia” tersebut bermula dari peristiwa yang telah terjadi sebelumnya, yaitu pada tanggal 17 Januari 1999, dimana seorang pencuri asal Madura dari desa Sarimakmur, kecamatan Tebas, tertangkap basah oleh tuan rumah pada waktu sedang mengumpulkan barang-barang di rumah dari penduduk setempat setelah mebongkar pintu rumah tersebut. Pencuri sial tersebut dikeroyok, ditangkap, dan dipukuli sampai babak belur oleh tuan rumah yang kecurian dan oleh para tetangganya. Pada pagi harinya, tanggal 18 Januari 1999, pencuri tersebut diserahkan kepada Pos Polisi setempat. Petugas kepolisian di Pos Polisi membawa si pencuri ke Puskemas untuk diobati luka-lukanya, dan setelah itu disuruh pulang. Alasannya karena Polisi tersebut tidak berani menanggung resiko kalau Pos Polisi diserang dan dihancurkan oleh orang-orang Madura lainnya.

Apa yang menyakitkan hati orang-orang Melayu dari peristiwa penyerangan di desa Parit Setia oleh orang-orang Madura dari desa Sarimakmur adalah teriakan ‘Allah hu Akbar’ berkali-kali yang dikumandangkan oleh para penyerang tersebut. Teriakan ‘Allah hu Akbar’ ini dibarengi dengan teriakan-teriakan ejekan “Melayu Kerupuk” dan “Melayu Kalah 3-0” (artinya orang Melayu di desa Parit Setia meninggal 3 orang dan tidak satupun orang Madura yang meninggal ataupun terluka dalam penyerangan tersebut). Teriakan-teriakan ini terdengar dengan jelas oleh orang-orang Melayu warga desa Parit Setia yang bersembunyi di semak-semak belukar di desa itu dan menyaksikan pawai kemenangan orang-orang Madura yang dengan berkendaraan truk berkeliling desa. Para pemuda Melayu dari desa-desa di kecamatan-kecamatan yang berdekatan dengan kecamatan Jawai menjadi resah dan bersiap-siap untuk menyerang desa Sarimakmur, dan menghancurkan rumah-rumah orang Madura. Berkat hambatan dan cegahan dari orang-orang tua mereka, maka upaya para pemuda dan remaja Melayu itu dapat digagalkan. Pada tanggal 23 Januari 1999 berkat bantuan dari para pejabat di kabupaten Sambas dan tokoh-tokoh Melayu, para tokoh desa masyarakat Parit Setia dan desa Sarimakmur di pertemukan dan diadakan perdamaian. Suasana yang panas telah menjadi reda berkat perjanjian perdamaian tersebut, walaupun orang-orang Melayu masih memendam rasa sakit hati karena tidak sepatah kata ‘minta maaf’ pun yang dilontarkan oleh pihak orang Madura atas kematian dan luka-luka yang diderita oleh warga desa Parit Setia.

Pada tanggal 21 Januari seorang preman Madura yang naik kendaraan umum dari kota Singkawang ke arah kota Sambas tidak mau membayar biaya angkutan pada waktu dia berhenti di dekat desa Semparuk. Merasa sakit hati karena dipelototi oleh kenek dan supir yang orang Melayu, si preman Madura tersebut pulang ke rumah mengambil clurit. Dengan berbekal clurit dia menghadang kendaraan umum tersebut yang kembali ke arah kota Singkawang, menyuruh kendaraan tersebut berhenti dan menclurit si kenek. Pada jam 01.00 tanggal 22 Januari 1999, keesokan harinya, orang-orang Melayu di desa Semparuk yang sebagian besar adalah para pemuda dan remaja menyerang rumah si preman Madura yang bernama Rodi bin Muharap. Tetapi Rodi bin Muharap tidak ditemukan dan sebaliknya seorang pemuda Melayu meninggal dunia karena ditembak dengan menggunakan senjata lantak oleh orang-orang Madura teman Rodi. Peristiwa kematian pemuda Melayu tersebut membakar kemarahan para pemuda dan remaja Melayu yang sudah tidak dapat dikendalikan lagi oleh orang-orang tua mereka. Pada jam 02.00 pagi hari itu juga mereka menyerang dan membakar serta menghancurkan rumah-rumah dan ruko-ruko milik orang Madura yang ada di desa-desa dan pinggiran kota di wilayah kecamatan Tebas, Pemangkat, dan Jawai. Sejumlah orang Madura meninggal dunia dan luka-luka, dan tercatat 60 buah bangunan rumah dan ruko yang dihancurkan. Kegiatan untuk menghancurkan orang-orang Madura dan rumah-rumah serta harta benda mereka berlangsung terus sampai tanggal 27 Februari 1999.

Pada tanggal 27 Februari 1999 penyerangan orang-orang Melayu terhadap orang-orang Madura dihentikan atas perintah orang tua dan tokoh-tokoh Melayu di Sambas, karena pada hari itu ditanda tangani perjanjian perdamaian orang Melayu-orang Madura oleh para tokoh dari kedua belah pihak dengan disaksikan oleh pimpinan dan para pejabat kabupaten Sambas. Tokoh-tokoh dari kedua belah pihak juga sepakat untuk masing-masing secara individual tidak membawa senjata tajam di tempat-tempat umum. Tetapi perjanjian tersebut dilanggar oleh seorang Madura asal desa Sempadung yang pada tanggal 14 Maret 1999 menikam seorang pemuda Melayu yang menegurnya karena membawa parang secara terbuka di jalan umum. Hari itu juga orang-orang Melayu mengambil tekad tidak akan lagi berdamai dengan orang-orang Madura. Sejak saat itu juga perang antara para pemuda Melayu dengan orang-orang Madura berlangsung di desa-desa dan di kota-kota dalam wilayah kabupaten Sambas. Kalau sebelum peristiwa ini orang-orang Madura yang menyerang orang-orang Melayu yang ketakutan, maka keadaannya sekarang menjadi terbalik. Kampung-kampung orang Madura di kota Singkawang dan di desa-desa yang tercakup dalam tiga kecamatan di bagian selatan dari kota Singkawang secara relatif masih aman karena belum diserang habis-habisan oleh orang-orang Melayu sampai dengan minggu ke-empat bulan April 1999. sedangkan di wilayah timur dan utara di kabupaten Sambas keadaannya dapat dikatakan sudah tidak ada lagi orang Madura dan rumah serta harta milik mereka yang utuh. Orang-orang Madura tersebut dengan cepat diungsikan dengan pengawalan ketat oleh para petugas keamanan untuk menghindari jumlah korban yang lebih besar daripada yang sudah ada.

Kerusuhan berdarah antara orang Melayu dengan orang Dayak nampaknya tidak cukup bagi orang Madura. Karena mereka itu masih mencari musuh lainnya, yaitu orang Dayak yang telah menjadi musuh bebuyutan mereka. Pada tanggal 16 Maret 1999, pukul 15.00 waktu setempat, di dusun Parakan Tanjung (yang merupakan dusun yang komunitinya secara homogen terdiri atas orang-orang Madura), dari desa Harapan, kecamatan Pemangkat, sekelompok orang Madura mencegat sebuah kendaraan umum yang melintas di jalan raya di tepi dusun tersebut. Kendaraan umum tersebut dalam perjalanan mengangkut buruh dan pekerja dari daerah kecamatan kota Sambas ke arah kota Singkawang. Dalam kendaraan umum tersebut terdapat dua orang Melayu, tiga orang Jawa dan 26 orang Dayak. Kesemua penumpang dapat melarikan diri dan bersembunyi di semak dan belukar di tepi hutan dan kemudian diselamatkan oleh orang-orang Melayu di desa Melayu yang berdekatan, kecuali satu orang Dayak yang dapat ditangkap oleh orang-orang Madura dan dibunuh di tempat itu juga. Orang Dayak yang dibunuh oleh orang Madura tersebut, Martinus amat bin Paran, adalah warga desa Selawit, kecamatan Salamantan, yang terletak di sebelah timur kota Singkawang.

Kematian Martinus telah menyebabkan keluarga dan orang-orang Dayak melakukan upacara matok dan mengedarkan ‘mangkuk merah’ kekomuniti-komuniti Dayak lainnya di kabupaten Sambas. Penyerangan terhadap orang-orang Madura sekarang ini tidak lagi hanya dilakukan oleh orang-orang Melayu tetapi juga oleh orang-orang Dayak dengan cara-cara seperti pada waktu masih berlakunya pengayauan, dengan cara-cara pemenggalan kepala dan mutilasi tubuh serta kanibalisme. Situasi masyarakat kabupaten Sambas betul-betul rusuh. Petugas keamanan dari Polri dan Brimob serta PHH (pasukan Anti Huru Hara dari ABRI) tidak mampu untuk mengatasi kerusuhan dan pembunuhan serta pembakaran dan penghancuran rumah-rumah orang Madura. Orang-orang Madura di timur kota Singkawang, yaitu di daerah Bengkayang dan sekitarnya, habis dibunuh oleh orang-orang Dayak atau lari mengungsi ketempat-tempat penampungan pengungsian dan berada dibawah perlindungan petugas keamanan. Setiap hari pada waktu itu selalu terdengar berita dibunuh atau dilukainya orang-orang Madura serta pembakaran rumah dan harta benda mereka. Korban yang terbunuh dan luka-luka bukannya hanya orang Madura tetapi juga orang-orang Melayu dan Dayak walaupun jumlahnya relatif sedikit. Jumlah pengungsi Madura yang tercatat di tempat-tempat penampungan pengungsi di Pontianak dan di kota Singkawang ada 37.000 orang. Orang-orang Melayu dan Dayak di kabupaten Singkawang telah bertekad untuk menghancurkan atau mengusir orang Madura dan berbagai atributnya dari wilayah kabupaten Sambas. Cara-cara yang mereka lakukan adalah dengan kekerasan, karena menurut mereka orang Madura hanya mengerti bahasa kekerasan. Karena situasinya yang rusuh ini, Kapolda Kalimantan Barat pada bulan April 1999 mengeluarkan perintah tembak di tempat bagi para perusuh dan menangkap siapa saja yang kedapatan membawa senjata tajam di tempat-tempat umum.

Kesimpulan
Kerusuhan Sambas, yaitu konflik antara sukubangsa Melayu dan Dayak di satu pihak dengan sukubangsa Madura di pihak lain pada tahun 1999, telah terjadi karena dipicu oleh perampasan dan penumpasan hak-hak budaya yang secara tradisional berlaku di wilayah kebudayaan Melayu dan Dayak di kabupaten Sambas. Penumpasan hak-hak budaya yang dilakukan dengan menggunakan cara-cara kekerasan dan kecurangan. Dan dengan cara ini pula, pedominasian dilakukan oleh orang-orang Madura melalui kegiatan premanisme di berbagai tempat umum di kabupaten Sambas. Corak hubungan antar sukubangsa yang berkembang antara sukubangsa Melayu dan Dayak di satu pihak dengan sukubangsa Madura adalah hubungan kategorikal atau hubungan golongan yang menjadi landasan bagi berkembang dan mantapnya stereotip-stereotip mengenai masing-masing pihak. Sedangkan hubungan sosial atau hubungan personal diantara mereka hampir dapat dikatakan sangat kecil. Sehingga pada waktu terjadi konflik antara orang Melayu dan Dayak di satu pihak dengan orang Madura di pihak lain di tahun 1999, maka yang terjadi adalah konflik berdarah karena masing-masing tidak melihat pihak lawan sebagai manusia tetapi sebagai golongan yaitu golongan hewan atau benda sesuai dengan stereotip yang berkembang dan mantap mengenai masing-masing pihak lawannya. Bahkan agama Islam yang sama-sama diyakini sebagai keyakinan keagamaan oleh orang Melayu dan orang Madura tidak berfungsi sebagai landasan bagi mengikat kebersamaan mereka dalam satu kategori sosial, yaitu muslim, yang dapat diaktifkan untuk mempersatukan perbedaan dan pertentangan kepentingan mereka dalam perebutan sumber-sumber daya di kabupaten Sambas.

Patut dicatat bahwa orang Madura membangun tempat-tempat ibadah mereka dalam lingkungan komuniti mereka sendiri dan melakukan upacara-upacara keagamaan yang hanya berlaku bagi mereka yang orang Madura, karena bahasa pengantarnya adalah bahasa Madura. Agama Islam bagi orang Madura di Sambas adalah agama Islam lokal yang Madura, yang dalam pelaksanaannya terdapat perbedaan-perbedaan sehingga upacara-upacara keagamaan adalah nampak ekslusif Madura karena tidak dapat diikuti oleh orang Melayu atau yang bukan Madura. Karena itu upaya yang dilakukan oleh tokoh-tokoh Madura pada tahun 1996-1997 untuk melibatkan orang-orang Melayu yang Islam kedalam keadaan konflik berdarah antara orang Madura dengan orang Dayak dengan cara mengaktifkan isu sebagai perang antara Islam-Kristen telah gagal. Tokoh Melayu tidak melihat konflik di tahun 1996-1997 antara Madura-Dayak sebagai konflik keagamaan, tetapi sebagai konflik antara kebrutalan Madura melawan orang Dayak yang memberontak terhadap kebudayaan tersebut. Dalam pertemuan saya dengan para tokoh Madura di Singkawang pada tahun 1998, yang antara lain juga dihadiri oleh Haji Solaeman dari Pontianak, mereka mengatakan bahwa konflik Dayak-Madura yang telah terjadi adalah konflik antara Islam-Kristen. Kesemuanya ini dipicu oleh provokasi dan upaya kristenisasi yang dilakukan oleh para pastor, dan sasarannya adalah orang Madura yang merupakan Mujahidin dan pendekar Islam. Para tokoh Madura ini tidak tahu dan tidak mengerti mengapa orang Melayu tidak mau ikut memerangi orang Dayak yang Kristen. Mereka ini tidak tahu isi hati para tokoh Melayu yang memendam rasa sakit hati terhadap orang-orang Madura, dan tokoh-tokoh Madura ini juga tidak tahu bahwa hubungan antara orang Melayu dengan orang Dayak bukanlah hubungan antar keyakinan keagamaan yang berbeda.

Sama dengan konflik berdarah yang terjadi di Ambon, Sampit dan Poso konflik berdarah di Sambas juga dimulai oleh perbuatan premanisme dan kesewenang-wenangan. Perbuatan premanisme dan kesewenang-wenangan yang dilakukan dengan cara mengaktifkan primordialisme, yaitu kesukubansaan dan/atau keyakinan keagamaan. Pengaktifan kategori atau golongan askriptif ini menyulut respon atau tanggapan dari pihak lawan dengan juga mengaktifkan golongan askriptifnya untuk membangun kohesi sosial diantara sesama sukubangsa atau sekeyakinan keagamaan (dalam kasus di Ambon dan di Poso, tetapi tidak berlaku dalam kasus di Sambas maupun di Sampit) untuk solidaritas sosial dalam mengalahkan pihak lawan. Konflik antar sukubangsa berdarah seperti yang terjadi di Sambas sudah bukan lagi berkaitan dengan atau disebabkan oleh upaya memperebutkan sumberdaya, tetapi sudah bergeser menjadi isu yang terfokus pada kehormatan jatidiri sukubangsa atau kehormatan kesukubangsaan. Kesukubangsaan yang kehormatannya tercoreng harus dibangun kembali. Dan pembangunan kembali kehormatan kesukubangsaan harus dilakukan dengan kepahlawanan yang pada dasarnya adalah kekerasan pada pihak lawan yang dianggap telah mencoreng kehormatan tersebut. Itulah sebabnya mengapa dalam konflik berdarah antar sukubangsa yang telah dan sedang meletus tidak mungkin didamaikan atau diselesaikan dengan cara damai. Karena sekali sebuah kekerasan dilakukan dan bergulir maka kekerasan tersebut semakin menjadi besar dan meluas sehingga tidak mungkin diberhentikan dengan cara persuasif atau damai. Bila sesuatu kekerasan yang dilakukan oleh satu pihak untuk mengembalikan kehormatan itu baru dimulai atau bila puncak kemenangan telah dicapai sehingga pihak yang bersangkutan tidak merasa perlu untuk melanjutkan lagi maka tindakan-tindakan kekerasan tersebut dapat dihentikan secara persuasif atau damai. Sedangkan dalam keadaan diluar dua kondisi tersebut maka kekerasan hanya dapat dihentikan atau dikurangi dengan cara kekerasan juga, yaitu oleh pihak ketiga yang netral atau oleh petugas keamanan.

Kesewenang-wenangan orang Madura terutama kelompok-kelompok premannya di kabupaten Sambas tidaklah akan terjadi bila dalam kehidupan masyarakat Sambas terdapat patokan aturan-aturan yang adil dan beradab yang diberlakukan secara terkendali dan konsisten oleh penegak hukum atau Polisi yang bersih dan berwibawa. Perlunya diberlakukan aturan-aturan yang mengacu pada hukum positif di kabupaten Sambas karena kebudayaan Melayu telah dilemahkan fungsinya dalam kehidupan ditempat-tempat umum, terutama di daerah perkotaan. Kita juga dapat mengatakan bahwa kebudayaan dominan Melayu telah dihancurkan oleh sistem nasional yang kebijaksanaan-kebijaksanaan oknum-oknum pejabatnya melakukan KKN, dan oleh dominasi premanisme Madura. Karena Polisi di lapangan juga takut pada kekerasan dan premanisne Madura dan juga karena Polisi serta aparat keamanan dan hukum tidak bersih dari sejumlah praktek KKN, maka juga kesewenang-wenangan premanisme Madura telah mendorong untuk tercipta serta mantapnya pembatas yang tegas antara sukubangsa Madura dengan sukubangsa Melayu dan Dayak. Dan dampaknya adalah bahwa orang-orang Madura sendiri menganggap kecurangan dan kekerasan yang mereka lakukan terhadap orang Melayu dan sukubangsa lainnya adalah sesuatu yang wajar.

Konflik antar sukubangsa di Sambas pada tahun 1999 yang terwujud sebagai kerusuhan dalam bentuk pembunuhan atau pembantaian dan pengusiran serta penghancuran atas segala harta benda yang dimiliki orang Madura oleh orang Melayu dan Dayak adalah beda dari konflik ideologi. Bila konflik ideologi dapat dirundingkan dan didamaikan melalui tawar menawar diantara pihak-pihak yang bermusuhan, maka pada waktu konflik antar sukubangsa yang berdarah itu terjadi dan bergulir tidak mungkin lagi untuk dapat dihentikan atau didamaikan. Hanya pada tahap-tahap permulaan dan pada tahap sebelum meledak menjadi konflik berdarah maka konflik antar sukubangsa itu dapat didamaikan, atau pada saat telah terjadi kejenuhan dan tercapainya tujuan konflik oleh salah satu pihak.

Bila dalam konflik ideologi ada salah satu pihak yang berlaku curang maka kecurangan tersebut masih dapat ditawar dengan imbalan kompensasi dari yang berlaku curang kepada yang dicurangi. Tetapi dalam konflik antar sukubangsa bila salah satu pihak berbuat curang atau tidak menepati perjanjian yang telah dibuat bersama maka kecurangan pihak lawan akan mengakumulasi kebencian dan semangat penghancuran dari yang dicurangi terhadap yang mencurangi dan akan meledak dalam tindakan penghancuran dalam konflik antar sukubangsa yang berdarah seperti yang terjadi di kabupaten Sambas. Karena konflik antar sukubangsa adalah konflik yang bercorak primordial, dimana keseluruhan pikiran dan perasaan terungkap dalam perwujudan penghancuran total terhadap pihak lawan.

Dalam kerusuhan berdarah di Sambas di tahun 1999, perjuangan untuk keberadaan dan kelangsungan hidup serta untuk kehormatan yang dipunyai oleh orang Madura disatu pihak dan orang Melayu serta orang Dayak di pihak lain adalah berbeda. bila orang Melayu dan orang Dayak berjuang untuk memperoleh apa yang selama ini mereka rasakan telah dirampas dan dihancurkan oleh orang Madura melalaui berbagai bentuk kekerasan dan kesewenang-wenangan, maka bagi orang Madura perjuangan melawan serangan orang Melayu dan orang Dayak adalah upaya untuk mempertahankan posisi-posisi serta peranan-peranan yang selama ini mereka nikmati sebagai sebuah golongan sosial yang dominan dan ditakuti di kabupaten Sambas. Dengan kata lain mereka itu berjuang untuk mengambil alih kembali apa yang telah diporak-porandakan oleh orang-orang Melayu dan Dayak. Sebagai akhir kata dapat dikatakan bahwa permasalaha hubungan antara sukubangsa di Sambas dan di Kalimantan Barat masih akan berbuntut panjang, karena pemerintah telah tidak menangani masalah ini dengan secara sungguh-sungguh.

Catatan: (1) Saya mengucapkan terimakasih kepada Kapolri, Jendral (Polisi) Rusmanhadi atas penunjukan sebagai Ketua Tim Penelitian Kerusuhan Sambas dan atas dukungan biaya dan fasilitas yang telah diberiakan. Ucapan terimakasih juga saya sampaikan kepada Kapolda Kalbar, Kombes Chaerul Rasyidi beserta seluruh jajarannya atas segala bantuan dan fasilitas selama penelitian di lapangan.
(2) Sebagian besar uraian dan pembahasan mengenai kerusuhan berdarah di Sambas telah diambil dari tulisan saya yang berjudul “Kerusuhan Sambas”, Jurnal Polisi Indonesia, Vol. 2: 71-85, 2000.

Acuan Kepustakaan

Aragon, V. Lorraine, 2001, “Communal Violence in Poso, Central Sulawesi: Where People Eat Fish and Fish Eat People”. Indonesia, no. 2: 45-80
Cornell Southeast Asia Program.
Barth, Fredrik, 1969, “Introduction”. Dalam Fredirk Barth (ed), Ethnic Groups and Boundaries. Boston: Litle, Brown, and Co. hal 9-38.
Bruner, Edward M, “The Expression of Ethnicity in Indonesia”. Dalam Abner Cohen (ed), Urban Ethnicity. London: Tavistock. Hal 251-288.
Colombijn, Freek dan J. Thomas Lindbalad, 2002, “Introduction”. Dalam Freek Colombijn dan J. Thomas Lindbalad (ed), Roots of Violence in Indonesia. Leiden: KITLV Press. Hal. 1-31.
Douglas, Mary, 1966, Purity and Danger: An Analysis of Concepts of pollution and Taboo. London: Routledge and Kegan Paul.
Suparlan, Parsudi, 1972, The Javanese in Bandung: Ethnicity in an a medium Indonesian city. MA Thesis. University of Illinois.
Suparlan, Parsudi,1979, “Ethnicity Groups in Indonesia”. The Indonesian Quarterly. Vol. 2, No. 7, 53-75. CSIS
Suparlan, Parsudi,1986, “Kebudayaan dan Pembangunan”. Media IKA, Vol 14, no. 11, 106-135. Jurusan Antropologi, UI.
Suparlan, Parsudi, 1995, The Javanese in Suriname: Ethnicity in An Ethnically Plural Society. Tempe, Arizona: Center for Southeast Asian Studies, Arizona State University.
Suparlan, Parsudi, 1998, “Konflik Antara Orang Dayak dan Orang Madura”. Wacana Antropologi, Vol. 2, No. 7-9. Asosiasi Antroplogi Indonesia.
Suparlan, Parsudi, 1999a, “Masyarakat Majemuk dan Hubungan Antar Sukubangsa”. Dalam I. Wibowo (ed), Restropeksi dan Rekontekstualisasi Masalah Cina. Jakarta: Gramedia. Hal 149-173.
Suparlan, Parsudi, 1999b, Kerusuhan Sambas. Laporan terbatas disampaikan kepada Kapolri.
Suparlan, Parsudi, 1999c, “Kemajemukan, Hipotesa Kebudayaan Dominan, dan Kesukubangsaan”. Jurnal Antropologi Indonesia, No. 58, 13-20.
Suparlan, Parsudi, 2000a, “Kerusuhan Sambas”. Jurnal Polisi Indonesia, Vol 2. 71-85.
Suparlan, Parsudi, 2000b, “Masyarakat Majemuk dan Perawatannya”. Jurnal Antropologi Indonesia. No. 63: 1-13.
Suparlan, Parsudi, 2000c, “Kesetaraan Warga dan Hak Budaya Komuniti dalam Masyarakat Majemuk Indonesia”. Jurnal Antropologi Indonesia, No. 66: 1-12.
Suparlan, Parsudi, 2001, “Ethnicity and Religious Conflict in Indonesia”. KULTUR, The Indonesian Journal for Muslim Culture, No. 2: 41-58.
Van den Berghe, Pierre J. , 1990, “Introduction”. Dalam Pierre J. van den Berghe (ed), State Violence and Ethnicity. University Press of Colorado. Hal 1-18