Nama pak parsudi sesungguhnya bukanlah nama asing bagi orang-orang yang berkecimpung di dunia antropologi. Buku-buku beliau telah menjadi buku bacaan wajib bagi para mahasiswa antropologi. Demikian pula dengan halnya saya. Background pendidikan S-1 saya bukanlah antropologi, namun saya banyak membaca buku-buku beliau terutama berkaitan dengan kehidupan kelompok suku-sukubangsa minoritas. Buku beliau tentang Orang Sakai adalah buku wajib yang saya baca. Ini memang berkaitan dengan dunia kerja yang saya geluti sebagai staf suatu project internasional pembangunan Orang Rimba yang ada di Jambi. Pada waktu itu saya hanya mendengar bagaimana dan apa itu antropologi dari teman-teman kerja saya, yang kebanyakan berasal dari lulusan antropologi universitas di Indonesia. Saya belajar banyak tentang Orang Rimba dari pergaulan dengan mereka. Dan itu yang membuat saya tertarik untuk belajar antropologi lebih lanjut di Pasca Sarjana, Universitas Indonesia.
Siapa menyangka pula ketika akhirnya saya dipertemukan oleh nasib dengan Pak Parsudi sebagai pembimbing saya. Saya awalnya yang meminta beliau untuk menjadi pembimbing penulisan tesis saya. Focus tesis saya berkenaan tentang kehidupan Orang Rimba di Jambi yang selalu berada dalam tekanan masyarakat Melayu. Siapa lagi para antropolog di UI yang masih memberikan perhatian intelektual yang tinggi tentang keberadaan kelompok suku-sukubangsa minoritas selain Pak Parsudi.
Awalnya sangat berat bagi saya. Karena memang beliau mulanya tidak bersedia membimbing saya dengan alasan sudah tidak punya waktu. Beberapa kali saya bertemu dengan, dan beberapa kali itu pulalah saya dimarahi dan ditolak. Tapi saya tak pantang menyerah. Hanya satu pemikiran saya ketika itu. Untuk mendapatkan hasil yang baik, kita harus belajar dari yang terbaik. Kita tidak boleh takut untuk menjadi yang terbaik dan bergaul dengan orang-orang yang terbaik. Pak Parsudi tetap pilihan saya. Singkat kata beliau akhirnya menerima saya sebagai mahasiswa bimbingannya. Dan mulailah hari-hari saya yang penuh dengan kata-kata”goblok” dan “sontoloyo” dari beliau.
Saya menyadari bahwa sesungguhnya saya bukanlah penulis yang baik. Saya adalah hanya seorang pekerja NGO yang ingin lebih baik dari pada sebelumnya. Sesederhana itu keinginan saya. Namun ditangan Pak Parsudi, saya digembleng sedemikian rupa untuk mengerahkan segala upaya usaha yang saya miliki. Beberapa kali beliau tidak sabar membimbing saya karena rangkaian kalimat-kalimat saya yang membingungkan.
Saya memahami bahwa beliau selalu menuntut yang terbaik dari mahasiswanya. Apapun itu, kita selalu dipaksa oleh beliau untuk memaksimalkan apa yang kita miliki. Dan itu yang membuat saya menghabiskan waktu kurang lebih lima tahun hanya untuk menyelesaikan program pasca sarjana saya. Padahal saya telah menyelesaikan kuliah teori saya lebih cepat dibandingkan teman-teman seangkatan, dan menghabiskan waktu 2 tahun, hanya untuk membuat proposal penelitiannya. Bukan waktu yang pendek memang. Butuh kesabaran dan stamina keuletan tersendiri ketika dibimbing oleh beliau. Motivasi saya kemudian saya rubah. Dari keinginanan untuk menuliskan tesis yang baik menjadi bagaimana caranya “mengalahkan” Pak Parsudi. Dalam konteks ini saya memandang sebagai orang yang harus saya taklukan secara intelektual. Dan akhirnya saya merasa berhasil menaklukan beliau dengan kesetujuan beliau atas tesis yang saya buat. Saya tidak malu lulus dengan lama hanya untuk menyelesaikan S-2 saya. Ada kelegaan dan rasa bangga yang hingga menjadi mahasiswa yang berhasil beliau bimbing
Lebih lanjut akhirnya saya menyadari bahwa seungguhnya beliau ingin mendorong sedemikian rupa diri kita untuk mengetahui sampai dimana sih batas-batas kita. Kadang sampai kita sendiri tidak menyadari bahwa kita mampu melakukannya.Tidak hanya batas intelektualitas, tetapi batas-batas semangat dan kesabaran kita. Beliau benar-benar menguji stamina kita untuk memaksimakan apa yang kita punyai. Sampai akhirnya beliau paham dimana batas-batas kemampuan kita sebenarnya dan menghentikan mendorong sedemikian rupa. Dan saya baru paham, dibalik caci maki dan marahnya, beliau ternyata memberikan pujian dan promosi tentang diri kita kepada orang lain. Ini saya tahu ketika tiba-tiba ada seseorang yang menelpon saya dan bertanya tentang Orang Rimba di Jambi, dan orang tersebut bahwa ia mendapatkan nama saya dari Pak Parsudi.
Saya belajar dari beliau. Tidak hanya dalam konteks intelektualitas belaka namun dalam konteks kemanusiaan dan kehidupan. Saya belajar banyak dari beliau bagaimana sesungguhnya kita harus memberikan apa yang terbaik dari diri kita dalam mengerjakan sesuatu. Kita tidak boleh setengah-tengah dalam melakukannya. Pak Parsudi, Anda bukan hanya pengajar, tapi Anda adalah guru yang sebenarnya. Memberi inspirasi untuk berbuat yang terbaik. Selamat Jalan Pak.
Tulisan anda ttg Almarhum Pak Parsudi – mengingatkan saya pada Antropologi UI. Sewaktu saya mengikuti kelasnya – Antropologi Agama dan Hubungan antara sukubangsa – kami pasti tertunduk takut sambil berdoa dalam hati – janganlah ada pertanyaan -salah jawap – goblok, sontoloyo – tapi setelah tamat kuliah saya merindui saat itu dan saya berpendapat dosen-dosen saya di Antropologi FISIP UI adalah yang terbaik…kalau masa bisa diputar ke belakang – saya ingin kembali ke sana – mempelajari sebanyak mungkin ilmu yang ada.
Terima Kasih dosen-dosen Antropologi UI – ku doakan ALLAH mencuri rahmat dan berkat kepada yang masih di menabur bakti dan yang telah kembali kepadaNYA.
Teman-teman Antropologi UI 91-92 – selamat dan salam ingatan dari ku yang jauh.