Oleh: Adi Prasetijo, dalam “Orang Rimba Menantang Zaman”, terbitan Warsi,Jambi, 2010

Pendahuluan
Orang Rimba tanpa identitas. Kesannya sepertinya janggal. Bagaimana mungkin seseorang hidup tanpa identitas. Identitas adalah eksistensi diri seseorang yang menentukan siapa dan perannya dalam suatu masyarakat. Itu mengapa sebabnya Orang Rimba dikenal begitu kuat memegang adatnya. Mereka bahkan mempunyai kecenderungan untuk mengisolasi atau mengucilkan diri, baik secara fisik dan simbolik, terhadap dunia luar. Dunia yang dalam dunia kosmologi mereka penuh dengan kemunafikan dan keburukan. Banyak pantangan dan mitos berlapis-lapis yang tercipta demi melindungi diri dari kontak dengan dunia luar.

Namun kenyataanya toh ada juga Orang Rimba mencampok adat. Ya mencampok adat. Membuang adat begitu Orang Rimba yang masih percaya dengan segala kata nenek moyangnya menandai bagaimana Orang Rimba yang telah merubah identitasnya menjadi orang lain. Suatu sebutan yang sangat dalam maknanya memang. Ada dampak dan efek yang ditimbulkan jika seseorang membuang segala atribut ke-Rimbaan-nya. Ada banyak kesialan atau kutukan akan datang. Dan salah satu atribut atau ciri utama Orang Rimba yang merubah identitas ke-Rimbaan-nya adalah dengan melakukan bediom, atau hidup menetap dikampung dan meninggalkan semua atribut-atribut kerimbaanya, termasuk didalamnya memeluk agama Islam.

Lalu lalang Orang Rimba bermotor menjajakan jasa ojeknya. Gambaran Orang Rimba yang bekerja di perkebunan sawit, mengais-ais sisa buah sawit dijalanan. Seperti seakan menampar imaji bayangan kita tentang profil Orang Rimba yang dengan kerasnya hidup bertahan dari gerusan zaman dan mempertahankan hutannya. Apakah ini juga yang disebut sebagai Orang Rimba ?

Jikalau kita ingin menjawab pertanyaan siapakah sesungguhnya Orang Rimba itu. Mungkin amatlah mudah bagi kita, orang luar, untuk mendefinisikannya. Gampang saja. Lihat saja model jalannya, cara pakaiannya, bahasanya, hingga tabiat perilakunya. Kulit gelap, pakai cawot, dan tak berani menatap mata orang asing. Itulah identifikasi kita, orang luar, tentang Orang Rimba. Namun ternyata tidaklah semudah bayangan kita bagaimana sebenarnya mereka memandang atau mendefinisikan “Orang Rimba” sendiri. Ada atribut-atribut atau ciri-ciri yang mereka berikan untuk menyebut atau mendefinisikan Orang Rimba itu. Dalam konteks ini, saya menemukan bahwa hal ini ternyata terkait dengan konstruksi identitas Orang Rimba sendiri yang tidak lepas dengan interaksi sosial mereka sebagai suatu kelompok sukubangsa. Terlebih hubungan Orang Rimba sendiri dengan kelompok sukubangsa mayoritas yang ada di Jambi, yaitu Orang Melayu.

Tulisan ini hanya sekedar refleksi atas dasar pengalaman dan hasil penelitian yang pernah saya ketika berada ditengah-tengah keberadaan Orang Rimba. Saya mencoba menangkap kegalauan Orang Rimba dalam mempertahankan identitasnya, baik mereka yang berusaha untuk tetap bertahan dengan adat nenek moyang maupun mereka yang kemudian memilih untuk berasimilasi kepada identitas yang mayoritas dan dominan. Tidak ada yang salah dan benar. Semua punya alasannya.

Tentang Orang Rimba Tanpa Hutan

Memang secara ekologis berdasarkan hasil penelitian Warsi (1999), Orang Rimba ditemukan hidup tersebar di 3 wilayah berbeda, yaitu di daerah bagian barat Propinsi Jambi (sekitar jalan lintas timur Sumatra), kawasan Taman Nasional Bukit 12 (Taman Nasional Bukit 12), dan Orang Rimba yang tinggal di bagian utara Propinsi Jambi, terutama di Taman Nasional Bukit 30 (berada di perbatasan antara Riau – Jambi).

Orang Rimba yang hidup di wilayah barat Propinsi Jambi atau sekitar jalan lintas timur Sumatra adalah contoh kelompok Orang Rimba yang dapat dikategorikan sebagai Orang Rimba yang terlepas dari hutannya karena memang mereka hidup dalam kawasan tanpa hutan. Mereka hidup diantara perkebunan sawit dan perkebunan karet milik para transmigran dan penduduk desa. Hidup mereks cukup mengenaskan jika dibandingkan dengan kelompok Orang Rimba lainnya.Mereka terusir dari tanahnya, seperti kasus Orang Kubu didaerah Batuampar, Kabupaten Batanghari. Mereka diusir oleh PT IKU (Induk Kebun Unggul) keluar meninggalkan lokasi pemukimannya (Independent.26/7/1998).

Sadar tidak sadar, Orang Rimba harus menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan alam yang baru. Tidak mengherankan jika mereka mulai kesulitan untuk mencari bahan makanan di hutan dan harus terpaksa mencari makanan di perkampungan Melayu (Independent,14/10/1998). Kualitas hidup merekapun juga semakin lama semakin juga menurun. Hal ini nampak misalnya dalam kasus-kasus kelaparan dibeberapa kantong kelompok Orang Kubu (Independent,31/7/1998) atau dalam catatan Bank Dunia tahun 1991 tentang adanya temuan sekelompok Orang Kubu yang menjadi pengemis dijalanan dan mengelendang dipemukiman-pemukiman masyarakat karena hilangnya hutan sebagai tumpuan hidup mereka (Chatterjee,1994)

Berdasarkan Kevin Bohmer, seorang analis Bank Dunia, kawasan hutan di Propinsi Jambi telah banyak mengalami perubahan karena proses deforestrasi (Boehmer 1998:1-2). Berdasarkan catatan Bohmer pada tahun 1970 perubahan lingkungan alam di Propinsi Jambi berubah secara drastis setelah adanya program pembukaan lahan untuk menjadi lahan hutan produksi (HTI), pemukiman transmigrasi, pengembangan pertanian perkebunan, dan proyek peningkatan infrastruktur. Dampak dari kegiatan pembangunan tersebut adalah kebakaran hutan yang tak terkontrol dan pembukaan lahan hutan dilakukan terus-menerus sehingga menyebabkan penurunan kualitas lingkungan di dataran rendah Jambi.

Bisa dibilang kelompok Orang Rimba yang tinggal di bagian barat propinsi Jambi hidup tersebar di sejumlah kawasan bagian dalam antara anak-anak Sungai Batang Hari, Sungai Tembesi, Batang Merangin, dan perbatasan Sumatra Selatan. Berbeda dengan kondisi alam hutan dataran rendah yang ada di propinsi Jambi bagian utara dan kawasan Bukit 12, hutan yang ada dibagian barat Jambi ini telah hilang tergantikan oleh perkebunan sawit, lokasi transmigrasi, dan perkebunan karet masyarakat Melayu. Pola perkebunan karet yang ekspansif turut pula memperburuk Degradasi hutan yang cukup luas mengakibatkan Orang Rimba terdesak hidupnya. Mereka tidak mempunyai pilihan dalam berpencaharian. Bagi mereka yang masih mempunyai lahan hanya mengandalkan kepada hasil karet semata.

Namun apakah orang-orang Rimba tanpa hutan inikah yang kita sebut sebagai Orang Rimba yang berjalan tanpa identitas ? Nampaknya tidak juga. Dengan segala keterbatasannya mereka ternyata masih juga berusaha mempertahankan identitas ke-Rimbaan-nya dengan tetap mengenakan atribut-atribut kesukubangsaannya. Misalnya seperti yang saya saksikan adalah bagaimana mereka tetap hidup berpindah, dari susudongan yang satu ke sususongan yang lain. Atau tetap saja mereka berusaha menjaga jarak dengan orang asing. Bahkan mereka tetap tidak tertarik untuk berpindah keyakinan menjadi seorang Islam.

Berbeda memang kasusnya dengan orang-orang Rimba yang hidup di TN Bukit 12, yang masih mempunyai hutan sebagai sumber pencaharian. Ada sekelompok Orang Rimba yang dikenal di TN Bukit 12 sebagai kelompok Orang Rimba Air Panas. Keberadaan kelompok memang mempunyai keunikan tersendiri. Tidak seperti Orang Rimba lainnya di Bukit 12 yang hidup didalam hutan dan mencoba membatasi intensitas hubungannya dengan dunia luar, Orang Rimba kampung Air Panas malah menunjukkan ciri-ciri yang berbeda. Bisa dikatakan mereka lebih menyerupai orang dusun atau orang desa umumnya jika boleh dibilang begitu. Hampir tidak nampak tanda-tanda bahwa mereka adalah Orang Rimba pada umumnya. Mereka hidup dikampung TSM dan berdampingan dengan orang-orang dari kelompok sukubangsa lainya. Mereka tinggal berinduk pada desa setempat, dan mengenal suaru serta kehidupan layaknya orang umum lainnya. Tentu saja dengan segala dampak-dampaknya. Seperti misalnya mereka juga mengenal judi dan minum-minuman keras, dan tak jarang menunjukkan perilaku kriminal yang meresahkan. Suatu kelompok yang dinilai banyak pihak sudah berakulturasi banyak dengan masyarakat transmigran.(Sandbukt & Warsi.1998:17-18).

Kelompok Orang Rimba Air Panas adalah kelompok anak beranak dari almarhum Tumenggung Besiring. Kampung Air Panas merupakan pemukiman TSM (Transmigrasi Swakarsa Mandiri) yang diprakarsi oleh pihak Depsos, Deptrans, dan PT. SAL untuk semua Orang Rimba di Air Hitam. Dari beberapa yang ada di Bukit 12, hanya 2 kelompok yang bersedia, yaitu kelompok Besiring dan Miring.

Tujuan program ini adalah untuk mengajak Orang Rimba yang masih dalam keadaan keterbelakangan, baik itu berupa tempat mereka maupun kebiasaan-kebiasaan lama menjadi lebih baik baik dan menyadarkan mereka ini agar berubah dari kebiasaan yang lama menjadi lebih baik melalui program pengembangan sawit. Depsos melihat sawit adalah salah satu kegiatan pembangunan yang dapat digunakan untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Depsos memberikan kontribusi untuk pembinaan dan jadup (jatah hidup) untuk penghuni pemukiman selama setahun, pihak Deptrans berkontribusi untuk pembangunan rumah, dan pihak PT. SAL berkontribusi untuk lahan pemukiman dan kebun sawit yang siap panen.Sarana lain juga dibangun diperkampungan ini yaitu surau dan balai pertemuan. Untuk pembinaan depsos mempekerjakan 2 orang guru agama dikampung ini.

Dan memang nampaknya program “pemberadaban” ini cukup berhasil. Mereka akhirnya bersedia meninggalkan semua atribut-atribut yantg berkenaan dengan dunia Orang Rimba dan menggantikannya dengan atribut-atribut baru. Atribut-atribut baru tersebut antara lain dengan mengganti pola pencarian, dari berburu dan mencari lauk di hutan berganti dengan terlibat dalam perkebunan sawit. Mereka tidak mau dan menabukan diri untuk mencari ubi dihutan atau berburu binatang untuk sekedar makan lauk. Kemudian mengganti pola hidup yang disesuaikan dengan layaknya kehidupan orang desa lainnya. Yang paling kentara dari atribut ini adalah dengan meniru semua atribut-atribut perilaku orang desa umumnya. Mulai dari cara berpakaian, pola kehidupan sehari-hari, pola hidup bermasyarakat, hingga cara mencari hiburan. Jadi tidak heran jika anda menemui banyak ojek Orang Rimba yang berseliweran. Apalagi jika hari pasar didesa setempat tiba. Ojek-ojek Orang Rimba bersaing memperebutkan pelanggan. Sekilas nampaknya aneh. Seperti memutar kilas balik imaji kita tentang profil Orang Rimba yang hidup mati-matian membertahankan hutannya dan mencoba bertahan hidup memelihar adat nenek moyangnya.

Agama Sebagai Atribut Utama Identitas

Salah satu kunci utama dari atribut untuk disebut sebagai Orang Rimba atau bukan adalah sesungguhnya agama. Agama dalam hal ini saya artikan sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib, khususnya dengan Tuhannya, mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan manusia dengan lingkungannya. Dalam definisi tersebut, agama dilihat sebagai sebuah doktrin atau teks suci sedangkan hubungan agama dengan manusia yang meyakininya dan khususnya kegiatan-kegiatan manusia penganut agama tersebut tidak tercakup dalam definisi tersebut (Suparlan.1994:xvi). Namun dalam menginterpretasi dan memahami makna-makna yang terkandung dalam ajaran-ajaran di dalam teks suci, para pemeluk agama yang bersangkutan menggunakan kebudayaan mereka sebagai acuan. Sadar atau tidak sadar, hasil interpretasi mereka itu menjadi bagian dari sistem-sistem pengetahuan dan keyakinan, atau kebudayaan, yang telah mereka punyai mengenai diri mereka dan dunia atau lingkungan tempat mereka hidup, dan sadar atau tidak sadar hasil interpretasi mereka itu menjadi bagian dari sistem-sistem pengetahuan dan keyakinan, atau kebudayaan yang telah mereka punyai mengenai diri mereka dan dunia atau lingkungan tempat mereka hidup, dan sadar atau tidak sadar hasil-hasil interpretasi mereka itu menjadi keyakinan keagamaan yang menjadi pedoman sakral atau suci dari kebudayaan atau bagi kehidupan mereka.

Dengan kata lain, hasil interpretasi mereka yang terwujud sebagai keyakinan keagamaan tersebut menjadi kebudayaan yang telah mereka punyai. Kita dapat mengatakan keyakinan keagamaan sebagai kebudayaan, pada waktu kebudayaan didefinisikan sebagai pedoman bagi kehidupan yang berisikan pengetahuan dan keyakinan-keyakinan, yang digunakan untuk menghadapi lingkungan dan segala isinya untuk dapat dimanfaatkan oleh para pelakunya dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya sebagai manusia. (Suparlan.1994:xvi). Dalam kehidupan sehari-hari, pendukung sesuatu kebudayaan dapat saling memahami dengan menggunakan simbol-simbol yang mereka gunakan dalam dan melalui komunikasi yang berlaku dalam kehidupan sosial mereka. Sedangkan simbol-simbol suci atau sakral, digunakan dalam kehidupan keagamaan dalam manusia berhubungan dengan Tuhannya atau dunia gaib yang menjadi bagian dari kepercayaan imannya.

Islam bagi Orang Kubu Air Panas adalah agama yang menuju kebaikan. Ia adalah agama yang akan menebuy duso (menebus dosa) atas semua perbuatan dan perilaku yang mereka kerjakan dimasa lampau. Ketika saya tanyakan kepada salah seorang Orang Rimba yang telah masuk Islam,Toha (Punjung), ia menjawab bahwa ia ingin bertobat dan kembali ke jalan yang benar. Ia kemudian mengatakan bahwa hidup mereka dulu jauh dari kebaikan dan banyak beduso(berdosa). Mereka merasa telah melakukan semua larangan-larangan yang diperintah oleh Islam dan ini yang membuat mereka berdosa. ”Bagaimana tidak kakok. Kamia makon bebi, hoppi bersholat. Semua dipantong samo agamo Islam kamia makon.” (Bagaimana tidak kakak. Kami makan babi, tidak bersolat. Semua apa yang dipantangkan oleh orang Islam kami makan semua). Menurut mereka apa yang sudah mereka lakukan selama ini adalah jauh dari kebaikan. Ia kemudian menyontohkan dengan menyebut pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Orang Kubu sehingga disebut beduso. Pelanggaran-pelanggaran itu antara lain katanya adalah makan makanan yang diharamkan oleh Islam, hidup tanpa pakaian hanya mengenakan cawot saja, hidup dihutan yang penuh dengan kejijikan dan jauh dari kesehatan, dan tidak menyembah Tuhan Yang Esa. Sekali lagi saya tanya bagaimana kamu tahu tentang semua itu. Ia lalu membalas bahwa begitulah orang-orang dusun (Orang Melayu) yang mengatakan kepadanya. Sebab itulah yang membuat dirinya beserta keluarga kerabatnya memutuskan untuk berpindah menetap.

Pernyataan Toha tentang Islam juga dibenarkan oleh Pak Tarib, seorang tumenggung Orang Rimba yang dikenal kuat memegang adat. Ia mengatakan bahwa Islam memang adalah agama yang baik untuk menebus dosa. Namun berbeda dengan Besiring dan kerabatnya yang berpindah menjadi Islam, ia lebih memilih untuk tidak ikut menjadi Islam karena menurutnya Islam itu adalah adat Orang Terang. Islam adalah bukan adat Orang Kubu. Ia menyebut bahwa Orang Kubu yang masuk Islam adalah termasuk orang yang melanggar adat (mencampok adat) karena mencoba mencampurkan antara dunia Orang Terang dan Dunia Orang Kubu dimana sesungguhnya mempunyai batas yang jelas. Orang Kubu berdiam dihutan dan orang Terang hidup di desa. Jika Orang Kubu masuk ke dunia Orang Terang dan Orang Terang masuk hutan maka dunia ini akan segera kiamat. Ia menyontohkan dengan kasus para betino-betino Orang Kubu Air Panas. Kalau dahulu para betino tidak dapat melihat dunia Orang Terang sehingga seorang jenangpun jika datang, mereka harus bersembunyi. Demikian pula bila bertemu dengan orang asing, mereka akan berlari kedalam hutan dibalik pohon-pohon besar. Tapi zaman telah berbalik. Malahan wanita sekarang memperlihatkan dirinya. “ Kinia becampur galo, kemano bae ndok nglebot, betemu orang terang, halom lah becubo aduk..” (Kini telah bercampur aduk semua. Kemana saja buntu, bertemu Orang Terang. Alam telah menjadi bercampur aduk).

Yang terjadi kemudian mereka berusaha menanggalkan atribut-atribut lamanya dengan atribut keislaman. Seperti misalnya menukar nama mereka menjadi nama Islam. Atau menjauhkan rumah mereka dari babi, para wanitanya memakai jilbab, bersunat bagi para pria, dan juga mengaji. Intinya mereka berusaha untuk menjauhi semua larangan yang ada dalam agama Islam. Tetapi apakah benar telah sesuai dengan demikian ? nyatanya mereka juga melakukan judi dan minum-minuman keras, serta mencari babi sebagai lauk. Dan mereka lakukan sembunyi-sembunyi dari ustad kampungnya.

Identitas Orang Rimba diantara Asimilasi dan Pengucilan Diri

Seperti sudah diulas sebelumnya bahwa akar dari semua permasalahan identitas Orang Rimba tidak lepas bagaimana sesungguhnya pola hubungan atau interaksi sosial mereka dengan kelompok-kelompok atau golongan lain, diluar dunia mereka. Tidak dipungkiri, seperti layaknya kelompok suku-suku minoritas lainnya, Orang Rimba mengalami perlakuan yang tidak mengenakkan dari masyarakat luas, bahkan dari negara sekalipun. Gambaran kelompok sukubangsa minoritas seperti yang terjadi pada Orang Rimba adalah gambaran nyata perlakuan dominasi terhadap kelompok minoritas oleh kelompok sukubangsa mayoritas. Permasalahan ini telah dialami berabad-abad lamanya oleh kelompok sukubangsa minoritas di Asia Tenggara. Penaklukan dan dominasi oleh kekuatan kolonial maupun oleh kelompok masyarakat lain. Bahkan permasalahan yang lebih mendesak dan menekan yang biasa mereka hadapi adalah permasalahan relokasi pemukiman, proses pemiskinan budaya dan sosial serta disintegrasi kelompok sebagai akibat tuntutan dunia luar akan eksplorasi sumber daya alam. Mereka tersingkir dari dunia atau hutannya oleh proses industri yang kadang didukung oleh negara dengan alasan ingin memajukan dan memodernkan mereka (Ghee dan Gomes 1993:3).

Sebagai kelompok sukubangsa minoritas, Orang Rimba mengalami perlakuan yang berbeda. Mereka juga merasakan diri sebagai korban dari diskriminasi kolektif dari masyarakat luas yang ada di Jambi. Proses diskriminatif tersebut misalnya dapat kita lihat dalam perlakuan dan pandangan masyarakat umum di Jambi terhadap Orang Rimba. Oleh masyarakat Jambi, Orang Rimba dikenal sebagai suatu kelompok sukubangsa yang identik dengan kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, dan kehidupan yang terisolasi, baik secara geografis maupun secara budaya. Bayangan bahwa Orang Rimba adalah orang yang bandel dan tidak mau menuruti aturan yang adalah pemahaman yang nyata ada dalam masyarakat Jambi.

Dalam hal ini Orang Rimba mengalami proses dominasi oleh Orang Melayu, sebagai kelompok sukubangsa mayoritas di Jambi. Proses dominasi ini mereka alami baik secara secara budaya, ekonomi, dan politik, serta dilakukan sejak berabad-abad lamanya. Dan proses dominasi ini juga tercermin dalam struktur sosial yang mengikat kedua kelompok sukubangsa tersebut (Sandbukt 2000:39).

Orang-orang Melayu mempekerjakan Orang Rimba untuk mencari sumber daya di hutan dan menyadap karet yang dimiliki oleh mereka. Orang-orang Melayu memanfaatkan kemampuan Orang Rimba tersebut untuk mendapat komoditi sumber daya alam melalui perangkat-perangkat aturan yang mengatur posisi dan tugas masing-masing orang serta kelompok sukubangsa yang bersangkutan. Aturan-aturan ini didasarkan pada prinsip utama kesultanan Melayu Jambi yang berprinsip serah naik jajah turun dan jajah naik penuntung turun. Prinsip pajak yang bertujuan untuk mempertegas alur distribusi barang (komoditas dan pajak) ,baik dari daerah hulu (pedalaman) ke daerah hilir (pesisir) maupun sebaliknya.

Aturan-aturan tersebut diatas kemudian menjadi acuan dimana didalamnya berisi bagaimana hubungan status dan peran sebaiknya dijalankan oleh kedua belah pihak dalam berinterkasi secara sosial. Aturan-aturan tersebut kemudian terserap dalam struktur hubungan antara Orang Rimba dan Orang Melayu yang membentuk polanya, serta terwujud dalam pranata-pranata sosial dan ekonomi yang ada secara mapan. Dalam konteks hubungan antar-sukubangsa tersebut, sifat askriptif kedua kelompok sukubangsa pada akhirnya kemudian membentuk suatu tatanan struktur hubungan yang sesuai dengan status asal tersebut dimana dapat kita pandang sebagai hubungan yang tidak sejajar dan cenderung eksploitatif (Eidheim 1980:43).

Dasar status kedua kelompok sukubangsa ini, Orang Rimba dan Orang Melayu, kemudian menjadi suatu ciri yang sifatnya askriptif yang membentuk hubungan yang ternyata menurut saya sifatnya dominan-minoritas. Dalam artian suatu hubungan yang tidak seimbang dan sejajar. Hubungan antar-sukubangsa sendiri adalah hubungan yang dihasilkan dari adanya hubungan antara orang-orang atau kelompok-kelompok yang berbeda sukubangsanya. Dalam hubungan ini, masing-masing pihak saling diidentifikasi dan mengidentifikasi diri mereka masing-masing satu sama lainnya dengan mengacu pada sukubangsa dan kebudayaan sukubangsanya. (Suparlan 2004:VII).

Negara sendiri yang kita harapkan sebagai pengayom semua kelompok sukubangsa yang ada di Indonesia ternyata juga turut serta memarginalisasi kelompok suku-suku bangsa minoritas ini dengan kebijakan-kebijakannya yang tidak berpihak pada mereka. Kelompok sukubangsa minoritas dapat dilihat sebagai suatu golongan sosial yang mempunyai kekuatan yang lemah sehingga tidak mampu untuk mempengaruhi sistem sosial masyarakat yang ada diwilayahnya (Suparlan 2004:115).

Nampak misalnya bagaimana mereka memandang rendah kebudayaan Orang Rimba. Keterikatan Orang Kubu terhadap adat tradisinya yang kuat dianggap sebagai salah satu faktor utama yang menyebabkan mengapa Orang Kubu menjadi miskin, bodoh, dan terkebelakang. Tradisi melangun, pola hidup nomaden, dan budaya malas dianggap sebagai pola kebudayaan Orang Kubu yang menghambat pembangunan. Menurut Depsos salah satu ukuran kemajuan kehidupan masyarakat adalah kehidupan yang stabil dimana diwujudkan dalam bentuk pola pemukiman yang menetap. Demikian pula dengan tradisi nomaden Orang Kubu yang berpindah-pindah mencari sumber daya alam yang ada di dalam hutan. Bagi Depsos dengan tradisi seperti ini sulit bagi pemerintah untuk memajukan kehidupan Orang Kubu dimana salah satu dasarnya adalah bagaimana dapat memantapkan mereka dalam pemukiman menetap terlebih dahulu.(Sitepu.1993:2-3).

Dalam proses dominasi tersebut, perlakuan kelompok dominan terhadap kelompok sukubangsa minoritas menunjukkan sikap yang berbeda-beda. Perlakuan yang berbeda-beda ini juga memunculkan respon-respon kelompok sukubangsa minoritas yang berbeda pula (Alberto Gomes 1993:3) Mengutip Louis Wirth, dalam proses hubungan sosial antara dominan-minoritas akan memunculkan respon kelompok minoritas yang berbeda-beda berdasarkan atas perlakuan-perlakuan masyarakat luas sebagai golongan dominan terhadap golongan minoritas (Wirth 1945:347)..

Salah satunya adalah pilihan untuk mengassimilasi diri terhadap kelompok sukubangsa yang lebih dominan. Mereka akan berusaha mengasimilasikan dirinya (assimilation) menjadi seperti golongan dominan, dengan cara menghilangkan ciri-ciri yang menjadi atribut identitas minoritas dan menggantinya dengan ciri-ciri yang merujuk kepada kelompok dominan;

Dan nampaknya pilihan mengasimilasikan diri (assimilation) menjadi seperti golongan dominan adalah pilihan orang-orang rimba yang memilih untuk bediom yaitu dengan cara menghilangkan ciri-ciri yang menjadi atribut identitas minoritas dan menggantinya dengan ciri-ciri yang merujuk kepada kelompok dominan. Upaya Orang Rimba untuk berubah identitas adalah bagian dari proses asimilisi mereka kepada kebudayaan mayoritas Melayu yang dianggap lebih tinggi. Mereka mencoba menghilangkan atribut-atribut atau ciri-ciri ke-Rimba-annya. Namun alih-alih identitas mereka sebagai Orang Rimba menjadi hilang melebur pada identitas mayoritas, malahan muncul suatu identitas baru Orang Rimba yang mempunyai atribut berbeda dengan sebelumnya. Identitas Orang Rimba yang membawa atribut ”modern” dan ”beradab”, dalam kaca mata masyarakat luas. Mereka sendiri sadar bahwa tidak mungkin sepenuhnya diterima oleh orang luar dan terlebih oleh masyarakat Melayu. Kalau begitu mengapa tidak dimunculkan suatu identitas Orang Rimba yang berbeda. Pengaktifan identitas sukubangsa tersebut membawa implikasi kepada pengeksploitasian dan penggunaan simbol-simbol dan perilaku budaya sesuai dengan situasi yang dihadapi dan dapat dimanipulasi untuk kepentingan-kepentingan ekonomi, politik, dan sosial sang aktor.( Mulyana.2000:156).

Hal ini berbeda misalnya seperti yang dilakukan oleh kelompok Orang Rimba Bukit 12 lainnya dimana mereka memutuskan untuk tetap mempertahankan identitasnya yang lekat kaitannya dengan kehidupan didalam hutan. Baik yang dilakukan secara fisik, dengan menjaga jarak dan tinggal jauh ke dalam hutan, atau melakukan pengucilan secara simbolik seperti yang dilakukan kelompok Tarib dengan tetap menjaga eksistensi simbol-simbol atau atribut Orang Rimba sesuai dengan nenek moyang. Paling tidak seperti yang ia bayangkan sebelumnya tentang kebudayaan Orang Rimba, seperti diwariskan oleh kedua orangtuanya kepadanya. Dengan memerankan identitasnnya dengan baik, Orang Rimba dapat meningkatkan status atau posisi sosialnya dalam masyarakat yang lebih luas.

Penutup

Permainan identitas Orang Rimba akan berujung kepada wujud identitas Orang Rimba dalam 2 corak imaji yang berbeda. Yang pertama adalah dalam corak asimilasi Orang Kubu ke dalam kebudayaan dominan dan kecenderungan untuk memisahkan diri dari kelompok dominan yang dilakukan secara fisik dan simbolik.

Dalam corak asimilasi, Orang Kubu Air Panas ingin dinilai oleh kelompok sukubangsa lain sebagai kelompok masyarakat yang beradab dan tidak terbelakang seperti kelompok sukubangsa lainnya. Mereka berusaha untuk mengartikulasikannya dalam penampilan imaji atas perilaku-perilaku yang dilakukan dan melalui simbol-simbol yang diperlihatkan dimana mengacu kepada standard nilai yang ada dalam masyarakat umum. Menjadi Islam misalnya. Imaji yang mereka ingin ditampilkan sebenarnya sesuai dengan imaji yang ingin ditampilkan oleh pemerintah dan masyarakat umum tentang Orang Kubu. Yaitu Orang Kubu yang beradab, tidak keras kepala, mau menuruti semua saran pemerintah, hidup menetap tidak berpindah-pindah, dan mau memeluk salah satu agama yang diakui keabsahannya oleh pemerintah. Kesan inilah yang ingin dibangun oleh pemerintah ketika mengeluarkan konsep Kubu Jinak. Saya lebih cenderung untuk menyebutnya sebagai inilah bentuk identitas asimilatif Orang Rimba.

Sebaliknya dalam corak identitas pemisahan diri, Orang Kubu kelompok Pak Tarib misalnya ingin lebih memberikan kesan imaji kepada kelompok sukubangsa atau masyarakat yang lain bahwa tidak apa-apa menjadi Orang Kubu yang berbeda dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat umum. Mereka ingin dilihat dan dinilai sebagai Orang Kubu sesuai dengan nilai-nilai standard dalam kebudayaannya dimana memang sangat bertolakbelakang dengan apa yang diinginkan oleh masyarakat umum. Mereka mencoba memunculkan identitas sukubangsa Kubu-nya dengan cara menampilkan perilaku dan simbol-simbol yang mengarah kepada atribut-atribut yang mereka ingin sampaikan.