Pendahuluan
Dalam suatu seminar yang diadakan untuk mengenang 100 tahun Dr Johannes Leimena di Jakarta pada bulan September 2005, terungkap kekhawatiran para ahli bahwa nasionalisme Indonesia telah banyak mengalami kemunduran atau kalau boleh dikatakan sebagai meranggas. Fakta terungkap bahwa bukannya nasionalisme sebagai bangsa yang menguat tapi gejala komunalisme-lah yang semakin menguat dan mengakar dimasyarakat. Peristiwa-peristiwa konflik antar kesukuan dan kelompok atas nama agama dan sentimen kesukuan menguat (Kompas, 26/9/2005). Terungkap juga dalam kesempatan yang lain bahwa semangat nasionalisme dikalangan para anak muda bangsa kita yang sedang giat-giatnya membangun mengejar ketertinggalan juga menunjukkan kemerosotan. Dalam catatan merah suatu sarasehan Dinamika Pemuda dan Budaya Indonesia yang digelar di Taman Budaya Yogyakarta pada bulan Februari 2006, terkuak bahwa para generasi pejuang yang turut memerdekan bangsa ini semakin khawatir aras tergerusnya nilai-nilai dan semangat nasionalisme dikalangan anak muda Indonesia (Kompas, 18/2/2006).
Setidaknya gambaran diatas menunjukkan kepada kita bahwa memang ada yang salah dalam perjalanan nasionalisme bangsa ini. Perjalanan nasionalisme bangsa kita yang semakin menurun kualitas dapat kita rasakan dari penjelasan-penjelasan para pejuang kita terlebih dahulu ketika mereka memberikan pendapatnya tentang semangat nasionalisme saat ini. Penghormatan terhadap simbol-simbol negara tidak sebaik dan sekhidmat dahulu. Atau bagaimana sekarang rasa memiliki atas identitas ke-Indonesia yang dirasakan kurang. Tergerus dan menurun kualitasnya. Memang itulah yang kita rasakan. Nasionalisme memang bukanlah sesuatu yang dapat dibuat dalam semalam. Ia adalah suatu proses yang harus dilalui oleh suatu bangsa secara berkesinambungan.
Menarik bagi kita untuk kembali melihat bagaimana sesungguhnya permasalahan yang dihadapi Indonesia sebagai bangsa dan bagaimana nasionalisme sendiri dapat tumbuh dan berkembang sesuai kodratnya. Dan dalam tulisan ini mencoba secara singkat menelaah ada apa dibalik nasionalisme bangsa kita ini. Apa yang sesungguhnya terjadi ?. Pertanyaan yang memang tidak mudah untuk dijawab.
Nasionalisme dan Bangsa
Akar dari nasionalisme adalah ”nation” atau sering secara umum kita artikan sebagai suatu bangsa. Memang secara kebahasaan dalam Oxford; Dictionary of Politics (1996) akar kata dari nasionalisme dikatakan berasal dari ”nation” yang diambil dari kata-kata dalam bahasa Inggris yang merujuk kepada ”natal” dan ”native’ , yang dapat diartikan sebagai kelahiran atau sekarang dapat diartikan sebagai bangsa. Namun sesungguhnya kata-kata nationalism diambil dari bahasa latin nationem yang mengacu kepada suatu unit tertentu, lebih mengarah kepada suku dan keluarga, yang mana mempunyai keluasan karakteristik yang lebih dibandingkan sekedar kesukuan atau keluarga. Seperti misalnya mempunyai karakteristik kewilayahan dengan batas-batas yang jelas.
Lebih kurang dua puluh tahun yang lalu, Benedict Anderson (1991), dalam “Imagined Community” telah memperkirakan dan memprediksikan bahwa sesungguhnya imaginasi atau bayangan bukanlah sekedar khayalan kosong belaka. Bayangan atau imaginasi didalam alam pikiran Ben Anderson menjadi suatu alat kekuatan yang solid dan maha dahsyat ampuhnya. Dalam bukunya itu, ia secara empiris membedah bangsa dan negara. Bangsa lebih mengacu kepada pemahaman atas suatu masyarakat yang mempunyai akar sejarah yang sama dimana praxis pengalaman atas penjajahan begitu kental dirasakan oleh masyarakat terjajah dan semakin lama akan semakin mengkristalkan pengalaman atas rasa solidaritas kebersamaan yang tinggi diantara mereka. Negara dalam konteks ini menurut Ben Anderson lebih mengacu kepada bagaimana peran dan kesepakatan-kesepakatan politik yang mempengaruhi kebentukan suatu Negara, dimana sangat erat terkait dengan politik penjajah ketika itu.
Menurut Ben Anderson, pengertian bangsa tidak hanya diartikan secara flat atau datar dengan hanya sekedar memaknainya ”mempunyai akar sejarah yang sama”. Di tangan Ben Anderson pemahaman bangsa mempunyai pengertian yang dinamis sekaligus menantang. Imajinasi atau bayangan menurutnya adalah suatu bahan yang merajut ikatan emosional dan solidaritas antar pendukung bangsa, meskipun antara satu dan yang lain belum tentu saling mengenal. Dan memang itulah inti kekuatan bangsa dimata Ben Anderson. Menurutnya bangsa sanggup menyatukan berbagai diaspora partisan-partisan bangsa yang ada dibelahan bumi yang lain, serta terpisah untuk menjadi satu ikatan kekuatan yang solid dan penuh solidaritas.
Berkaitan dengan nasionalisme oleh Craig Calhoun (1997) diartikan sebagai basic way of talking, thinking, and acting. Nasionalisme tidak hanya berfungsi sebagai doktrin semata. Nasionalisme dalam hal ini lebih banyak berfungsi sebagai sesuatu yang bersifat politik, namun juga menyangkut sesuatu yang berkaitan dengan identitas budaya, serta personal. Sehingga dalam berbicara tentang nasionalisme, kita tidak hanya akan bicara tentang kedoktrinan namun juga tentang bagaimana membangun rasa solidaritas bersama yang tumbuh berbarengan dengan suatu tujuan yang sama.
Nasionalisme dan Identitas Kolektif
Konsep identitas atau jati diri sesungguhnya akan berkaitan dengan sebuah konsep pengakuan diri berdasarkan ciri-ciri atau atribut yang melekat pada dirinya sehingga berdasarkan ciri-ciri tersebut, seseorang dapat menggolongkan dirinya dalam suatu kelompok tertentu yang dianggap mempunyai ciri-ciri yang sama. Ciri-ciri atau atribut inilah yang kemudian menjadi batas-batas kelompok diantara kelompok yang satu dengan yang lain, dimana ciri-ciri tersebut mereka ciptakan atau wujudkan bersama dan mendapatkan pengakuan dari kedua belah pihak. Ciri-ciri atau atribut kelompok tersebut kemudian yang diejawantahkan oleh masing-masing kelompok dalam wujud baik yang bersifat tangible maupun intangible. Seperti misalnya pemakain bahasa, nilai-nilai yang diacu, pakaian, gesture tubuh, dan lain-lainnya.
Identitas sendiri akan muncul dan ada didalam hubungan sosial dimana dalam hubungan tersebut manusia membutuhkan suatu pengakuan diri atas keberadaannya. Identitas juga mempunyai sifat yang beragam tergantung dari arena hubungan yang berkesesuaian dengan corak hubungannya. Corak hubungan ditentukan oleh suatu hubungan antar peranan dimana ia akan menentukan status atau posisi seseorang dalam suatu struktur hubungan karena hubungan terwujud dalam suatu struktur.
Berkaitan dengan nasionalisme, tidak dipungkiri bahwa nasionalisme dalam konteks ini menjadi motor penggerak identitas kolektif agar tetap berjalan. Tanpa nasionalisme identitas bangsa tidak akan hidup dan akan segera melayu dengan sendirinya. Dapat dikatakan bahwa sesungguhnya nasionalisme adalah pengikat dari ciri-ciri yang ada dalam kelompok tersebut. Dalam nasionalisme, ciri-ciri kelompok tersebut diolah sedemikian rupa sehingga dapat memunculkan suatu kekuatan baru berdasarkan rasa solidaritas kelompok yang kuat dan tangguh. Ciri-ciri kelompok dapat berupa sesuatu yang sifatnya dapat dilihat dan mudah dikenali seperti atribut-atribut fisik. Misalnya jenis pakaian yang digunakan, simbol warna, dan lain sebagainya. Selain itu atribut-atribut juga dapat bersifat yang tidak terlihat tapi dapat dikenali sebagai suatu ciri tertentu dari suatu kelompok tertentu. Misalnya gesture tubuh dan sifat-sifat seseorang, ataupun perilaku yang dikaitkan sifat atau ciri kelompok.
Dalam perjalanannya banyak cara yang dapat dilakukan dalam mengelola ciri-ciri kelompok tersebut. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan misalnya adalah bagaimana selalu berusaha untuk memunculkan kembali kenangan-kenangan akan peristiwa yang dianggap mempunyai nilai sejarah bangsa. Ataupun memunculkan seorang pahlawan sebagai simbol perlawanan. Nasionalisme dalam hal ini dapat kita lihat sebagai suatu cara atau wahana bagi masyarakat pendukung kelompok tersebut untuk mengolah sedemikian rupa ciri-ciri kelompok tersebut.
Nasionalisme Dalam Domain Politik dan Budaya
Menjawab perbicangan pertama tentang ikatan seperti apakah yang membuat nasionalisme demikian kuat, akan saya mulai dengan kaitan antara nasionalisme dan kebudayaan, serta bagaimana bagaimana pergerakannya. Sesungguhnya memang terminologi muncul sejak sekitaran 200 tahun yang lalu, dimana kemunculannya sezaman dengan maraknya peperangan dan silih bergantinya revolusi di negara-negara Eropa ketika itu. Tidak dapat dipungkiri munculnya terminologi nasionalisme erat kaitannya dengan munculnya fenomena konflik, baik yang bersifat lokal maupun transnasional dikawasan benua Eropa. Menurut Craig Calhoun (1997) isu nasionalisme mulai mendapatkan tempatnya dalam ketika ada pergeseran atau peralihan dari wacana bangsa, yang secara kental dimaknai secara budaya, ke bangsa negara dimana wacana politik berlaku secara kental didalamnya. Pemaknaan nasionalisme yang awalnya bersifat dalam domain budaya kemudian beralih menjadi domain kekuasaan politik negara, dimana kebutuhan mobilisasi kekuatan massa oleh negara ketika masa perang sangat diperlukan.
Dalam konteks budaya, nasionalisme menurut Calhoun (1997) banyak dikaitkan dengan bagaimana pembentukan identitas kolektif atau kelompok ketika terjadi konflik dengan kelompok yang lain. Ketika konflik terjadi, identitas kelompok mutlak diperlukan untuk menentukan siapa diri kita sesungguhnya dan dimana sebenarnya posisi kita. Keperluan identitas ini tidak saja muncul ketika konflik terjadi, tetapi sudah muncul ketika manusia menjalin hubungan dengan manusia yang lain dimana identitas disini dipahami sebagai konsep kodrati akan pengenalan diri untuk mengetahui dimana posisinya sesungguhnya.
Dalam kenyataannya pula, nasionalisme ditingkat ini tidak hanya bersifat komunal saja tetapi juga terjadi pada tataran personal, dimana identitas kolektif tersebut dijadikan acuan bagi seseorang dalam kelompok. Sehingga tidak dipungkiri dalam konteks ini nasionalisme menemukan bentuknya dalam identitas kesukuan, kekelompokkan, kedesaan, atau bahkan ke tingkat clan dan family.
Dalam konteks sejarah negara modern, dalam masa pembentukan dari bangsa ke negara, semestinya proses-proses pembentukan nasionalisme kemudian mengalihkan dirinya dari identitas kolektif yang sifatnya budaya dan kesukuan ke identitas kolektif yang bersifat kenegaraan karena memang negaralah yang memayungi semua kelompok secara politik dan hukum. Dan nasionalisme atas dasar kesukuan dan kelompok seyogyanya meleburkan dirinya dalam semangat nasionalisme negara. Namun dalam perjalannannya proses-proses peralihan diatas bukanlah sesuatu yang bersifat linear dan sekali jadi, namun bisa jadi bersifat paralel dan berkesinambungan. Dalam konteks negara seperti ini, nasionalisme dilihat sebagai suatu wacana mobilisasi kekuatan massa demi kepentingan negara dimana sarat dengan kepentingan politik siapa aktor yang berkuasa dalam negara..
Seyogyanya pembentukan antara bangsa dan negara adalah berjalan secara beriringan sehingga terbentuk identitas kolektif yang berkesinambungan. Akan tetapi dalam kenyataannya pembentukan negara dan bangsa tidak selalu beriringan dan paralel antara satu dengan yang lain. Dan yang biasanya terjadi adalah ternyata negara telah terbentuk terlebih dahulu. Dengan kekuatan politik segelintir elit, sanggup menyatukan beberapa kerajaan atau wilayah dalam satu negara. Yang kemudian dipikirkan dalam konteks negara modern adalah bagaimana dengan keikutsertaan warga didalamnya ? bagaimana pula dengan rasa kepemilikan dan kepedulian atas negara ? dari pertanyaan-pertanyaan itu saya kira muncul kembali pertanyaan konsistensi kita sebagai suatu bangsa.
Sebagai suatu suatu proses politik, nasionalisme dalam konteks ini dapat dilihat sebagai suatu alat ideology yang menjadi motor penggerak bagi project negara. Seperti misalnya apa yang dikemukakan oleh Kedourie (dalam Calhoun, 1997) yang melihat bahwa nasionalisme sebagai suatu doktrin yang cenderung sebagai alat untuk mendukung determinasi negara atas warganya. Dan memang lalu kemudian membuat jurang pemisah yang dalam antara nasionalisme bangsa dan negara seperti yang dikatakan oleh Massimo D’Azeglio, seorang negarawan Italia, dalam Hobsbawm (1990) yang mengatakan “ We have made Italy, now we have to make Italians”. Kita telah mendirikan negara Italia, sekarang kita waktunya untuk membuat orang-orang Italia. Dan tampaknya proses untuk menjadi Indonesia masih terlampau jauh.
Nasionalisme Kita dan Tantangannya
Sebagai suatu domain budaya, tidak perlu kita pungkiri bahwa keaneragaman Indonesia adalah salah satu faktor yang menjadi dasar pemahaman kita ketika berbicara tentang nasionalisme. Jelas Indonesia mempunyai keanekaragaman sukubangsa yang mempengaruhi latar belakang budaya masing-masing warganya yang berbeda. Tidak hanya itu, dengan hampir 250 juta penduduknya yang hidup tersebar dihampir ribuan pulaunya, keanekaragaman adalah suatu keniscayaan yang patut dipertimbangkan. Keanekaragaman dalam konteks ini tidak saja berlaku pada latar budayanya semata namun juga akan latar strata sosial, ekonomi, afiliasi politik, dan tentu saja agamanya.
Jika kita merujuk kepada pemahaman Anderson (1991) tentang bangsa bahwa ia adalah suatu komunitas ideal yang terbayangkan maka menurut penulis yang terjadi adalah perbedaan bayangan atas komunitas ideal yang terbayangkan. Dengan latar belakang keanekaragamannya maka bayangan akan menjadi Indonesia yang ideal akan jelas berbeda antara kelompok suku yang satu dengan yang lain, antara golongan sosial yang satu dengan yang lain, antara kelompok agama yang satu dengan yang lain, dan seterusnya. Permasalahan ini memang tidak begitu menjadi perhatian pada masa kemunculan nasionalisme yang ada di Eropa sebab tingkat homogenitas masyarakatnya yang lebih tinggi. Pengelompokan sukubangsa dan agama yang relatif sama didataran Eropa, serta tingkat modernitas dan sosial yang sama menyebabkan tingkat resistensi akan bayangkan komunitas ideal seperti yang dikemukakan oleh Anderson menjadi relatif lebih rendah.
Permasalahan lain berkaitan dengan Nasionalisme Indonesia adalah bagaimana sesungguhnya nasionalisme sendiri dapat menjamin dan menjawab kebutuhan-kebutuhan nyata yang ada ditiap zamannya. Seperti dikemukakan dalam bab sebelumnya bahwa sesungguhnya nasionalisme adalah sebuah proses rekontruksi identitas kolektif kita sebagai suatu bangsa, untuk itu maka mau tidak mau nasionalisme hendaknya dapat dijaga, dipelihara, dan dikembangkan sedemikian rupa agar mampu menjawab tantangan bangsa pada zamannya.
Jika kita menelisik kebelakang, tantangan nasionalisme kita sebagai bangsa tentulah amat berbeda. Nasionalisme kita sebagai bangsa menurut penulis tumbuh dari pergolakan penjajahan masa Hindia belanda dan secara resmi pada tahun 1908 muncullan Boedi Oetomo, sebagai organisasi sipil yang pertama. Hanya kemerdekaan yang menjadi agenda utama ketika itu hingga masuk masa pendudukan Jepang. Masyarakat yang adil dan merdeka berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa yang lain adalah suatu bayangan ideal yang dimiliki oleh masyarakat kita ketika itu. Tantangan yang dihadapi juga berbeda. Tekanan-tekanan peperangan dan tingkat kekerasan oleh pemerintahan kolonial menjadi bagian yang tidak terpisahkan pada masa itu. Hingga akhirnya puncaknya pada 17 Agustus 1945 dengan pembacaan proklamasi kemerdekaan oleh Soekarno – Hatta. Sampai disini bayangan akan masyarakat yang bebas dan adil masih menjadi bayangan yang sama.
Setelah kemerdekaan, nasionalisme bangsa kita menghadapi tantangan yang berbeda. Pada masa awal-awal kemerdekaan tantangan nasionalisme berhadapan dengan bagaimana mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan negara yang masih seumur jagung. Banyak elemen masyarakat yang bergabung dalam laskar-laskar ketentaraan yang ada dipelosok-pelosok negeri. Dan kemudian nasionalisme kembali menghadapi tantangannya ketika Indonesia menjadi negara yang berbasis Demokrasi Parlementer (1950-1957). Tantangan nasionalisme ketika adalah bagaimana menjawab permasalahan-permasalahan isu ideologis yang muncul dalam kepartaian yang ada. Ketika bagaimana ideologi sosialiame, nasionalist, dan komunis (Nasakom) dapat berjalan beriringan. Dan disaat yang sama, nasionalisme kita juga duji dengan peristiwa-peristiwa pemberontakan terhadap pemerintahan yang terlalu sentralistik ketika itu dan propaganda perlawanan terhadap Malaysia.
Dapat kita lihat bahwa ada perubahan bentuk nasionalisme yang berkesesuain dengan zamannya. Mulai dari mewujudkan impian sebagai masyarakat yang merdeka, mempertahankan kemerdekaan, dan menjaga keutuhan kedaulatan. Namun yang menarik adalah adanya sandaran yang sama dimana ikatan-ikatan kerakyatan masih kental terlihat hingga masa sebelum rezim Orde Baru berlangsung. Jargon-jargon nasionalisme dan partisipasi rakyat dalam membumikan nasionalisme sangat jelas terlihat. Hal ini jelas berbeda pada masa rezim Orde Baru dimana nasionalisme hanya menjadi komoditas politik ideologi para elit. Ditangan para elit, nasionalisme berubah menjadi alat politik ideologi negara (state nationalism) yang mengarah kepada doktrinasi dan pembungkaman partispasi publik didalamnya. Dalam konteks ini maka lambat laun nasionalisme kemudian menjadi mati rasa terhadap tantangan zamannya. Ia dianggap gagal menjawab kebutuhan dan memenuhi harapan menjadi bayangan ideal masyarakat. Nasionalisme hanya menjadi pepesan kosong tanpa makna dan arti.
Dalam era reformasi dimana partispasi masyarakat mulai tumbuh dan berkembang, harapan akan nasionalisme yang mampu menjawab tantangan zamannya menjadi sangat signifikan. Nasionalisme haruslah mampu menjawab permasalahan bangsa yang terkait dengan pengembangan demokrasi, pelanggaran HAM, kemiskinan, pemenuhan rasa aman, degradasi lingkungan, peningkatan kesejahteraan, dan pelayanan publik. Harapannya nasionalisme harus mampu memenuhi harapan-harapan masyarakat akan bayangan kondisi ideal masyarakat atas semua isu itu.
Tantangan nasionalisme kita yang berikutnya adalah bagaimana sesungguhnya memandang nasionalisme sebagai sebuah produk refleksi dari perubahan-perubahan global yang ada di dunia. Sejak kemunculannya yang pertama, nasionalisme diyakini oleh sebagian ahli sebagai bagian dari produk ideologi yang mendukung dan mendorong berdirinya suatu negara di Eropa, dari hanya suatu kelompok sukubangsa atau keluarga dengan wilayah-wilayah tertentu, yang mana ketika itu memang penuh dengan riwayat revolusi dan pembentukan kerajaan dan negara baru. Nasionalisme kemudian menjadi lebih menemukan perannya pada abad ke 20an dimana dikaitkan dengan perjuangan untuk membebaskan diri dari tangan-tangan kolonialisme barat. Ideologi nasionalisme seakan menemukan dirinya dalam diri negara-negara di luar benua Eropa. Nasionalisme mampu menjadi motor penggerak terbentuknya negara-negara baru yang ada di Asia dan Afrika ketika itu. Tidak dipungkiri bahwa semangat nasionalisme ketika itu tumbuh dengan semangat keinginan yang kuat untuk merdeka dan menjadi negara sendiri yang berdaulat. Dalam konteks ini nasionalisme mampu membangkitkan identitas kolektif bangsa.
Kemudian bagaimana halnya dengan masa kini dimana pengaruh globalisasi yang sangat kuat menerpa sehingga menghilangkan ciri-ciri atau atrivut diri sebagai bangsa ?. Memang benar bahwa globalisasi telah membuat batas-batas bangsa dan negara menjadi lebih kian sumir. Batas-batas suatu bangsa yang bertumpu pada ciri-ciri atau atribut yang ada pada suatu masyarakat menjadi tidak jelas lagi. Rentang jarak dan batas teritorial bukan lagi hambatan. Dengan bantuan teknologi yang canggih semua jarak dan batas dapat direngkuh dengan mudahnya. Tentu saja hal ini menyebabkan mulai sirnanya ciri-ciri atau atribut suatu bangsa. Atribut-atribut sistem nilai dan pengetahuan yang tadinya kental menjadi acuan bagi suatu bangsa kini telah tergantikan nilai-nilai universal yang telah menglobal. Demikian pula dengan ciri-ciri yang bersifat fisik. Pemakaian atribut kelompok atau klub sepak bola atau musik menjadi sangat umum dan diterima keberadaannya oleh masyarakat.
Nasionalisme Dalam Kemasan Baru
Nasionalisme dalam kemasan baru sesungguhnya adalah bagaimana membuat nasionalisme dapat mampu menjawab tantangan zamannya. Dengan tantangan sedemikian rupa sperti dijelaskan dalam sub-bab sebelumnya maka adalah tidak mudah. Seyogyanya nasionalisme adalah menjadi ideologi yang dapat selalu menyelimuti “imagined “ masyarakat yang selalu saja berubah sesuai dengan zamannya. Apabila nasionalisme tidak mampu menjawab harapan tersebut maka secara perlahan nasionalisme kita sebagai bangsa akan merosot dan menurut kualitasnya.
Seperti sudah dijelaskan diatas bahwa nasionalisme adalah suatu proses yang dapat dikatakan sebagai suatu proses yang dibentuk untuk memperkuat ciri-ciri atau atribut kita sebagai bangsa dimana dia juga mampu menjawab tantangan zamannya. Setidaknya dari uraian ditas kita dapat mensarikan bahwa ada beberapa prasyarat dalam nasionalisme bangsa kita ke depan.
(1) Yang pertama adalah bagaimana nasionalisme bangsa ini mampu menjadi perekat bangsa dalam keanekaragaman. Ditengah latar belakang keanekaragaman tersebut, nasionalisme harus mampu menjadi jembatan atas semua bayangan ideal masyarakat. Untuk itu maka pemahaman dan penerimaan akan perbedaan menjadi sangat penting ditonjolkan. Penguatan pemahaman multukulturalisme atas permasalahan keanekaragaman pada masyarakat menjadi salah satu kuncinya untuk mengembangkan nasionalisme bangsa ini. Bayangan sebagai suatu masyarakat yang setara dan saling memahami perbedaan adalah wujud ideal bayangan bersama.
(2) Yang kedua adalah bagaimana sesungguhnya nasionalisme tidak hanya menjadi milik dan alat ideologi elit negeri ini tapi menjadi milik dan alat penggerak rakyat untuk membangun dan mengisi kemerdekaan bangsa ini. Nasionalisme dalam hal ini semestinya menjadi wahana terikatnyadan meleburnya antara domain negara dan bangsa, sehingga ia tidak hanya menjadi state nationalism semata tapi lebih menjadi bagian dari pembentukan ciri dan karakter bangsa yang benar-benar muncul dari bawah. Ikatan solidaritas yang kuat dapat menjadi sisi-sisi yang positif dalam membangun identitas kolektif sebagai bangsa dan sekaligus memperkuat kedaulatan negara.
(3) Yang ketiga adalah bagaimana nasionalisme mampu menjawab tantangan-tantangan globalisasi dengan menemukan dan memperkuat kembali ciri-ciri identitas kelokalan. Ditengah arus globalisasi yang menggerus identitas massa, maka pencarian identitas lokal untuk memperkuat identitas bangsa menjadi penting untuk dilakukan. Liberalisai ekonomi, semakin terbukanya dunia komunikasi sehingga membuat dunia tanpa jarak lagi adalah beberapa permasalahan yang harus dihadapi oleh nasionalisme. Nasionalisme dalam hal ini dapat dilihat sebagai suatu bentuk perlawanan atau kontra dari identitas-identitas yang bersifat menglobal. Penguatan masyarakat pada aras lokal dan penghidupan kelokalan yang kental dapat menjadi momentum dan pintu yang sangat pas untuk ini.
(4) Yang keempat adalah bagaimana sesungguhnya nasionalisme mampu menjawab permasalahan-permasalahan aktual yang ada dan dirasakan oleh masyarakat. Permasalahan kemiskinan, korupsi, konflik, penegakan hukum, dan sebagainya haruslah menjadi agenda besar bangsa ini sehingga dapat diwujudkan bayangan ideal yang dibayangkan oleh masyarakat Indonesia. Keterpurukan sebagian besar bangsa ini dalam kemiskinan misalnya akan mewujudkan bayangan kondisi ideal yang tidak jauh dari kesejahteraan yang merata. Atau bayangan masyarakat yang jauh dari tingkat korupsi adalah salah satu permasalahan nyata yang harus diagendakan oleh pemerintah bangsa ini. Nasionalisme dalam konteks ini akan menjadi pengawal dan pengiring utama pembangunan agar tidak lepas dari bayangan idealnya.
(5) Dan yang kelima adalah bagaimana sesungguhnya nasionalisme mampu mengisi kekosongan ruang antar generasi dimana masing-masing generasi mempunyai zaman dan interpretasinya atas nasionalisme. Tidak dapat dihindari bahwa masing-masing generasi mempunyai haknya dalam menerjemahkan nasionalismenya sendiri. Namun semestinya ada atribut atau ciri-ciri yang berlaku sebagai pengikat antar generasi. Dalam hal ini sejarah dan nasionalisme adalah sesuatu yang tidak dapat dipaksakan.
Penutup
Terlepas dari semua penjelasan diatas, mengutip perkataan Hobsbawm (1983) tentang Invented Tradition, ia mengatakan bahwa sesungguhnya “nation” adalah suatu bentuk tetrap dari hasil project yang dinamakan oleh sebagai penemuan kembali sejarah. Sejarah memegang peranan yang cukup penting dalam membentuk nasionalisme suatu bangsa. Sejarah adalah elemen utama yang menjadi dasar dari pengetahuan dan pengalaman seseorang dalam merekontruksikan nasionalisme bangsa ini. Ini dimulai bagaimana kita dapat menemukan serpihan-serpihan makna yang ada dalam tradisi, ritual, dan simbol-simbol yang dipunyai oleh bangsa kita. Dari serpihan-serpihan makna itu maka kemudian kita rajut kembali menjadi suatu identitas kolektif yang baru. Jadi memang bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarah bangsanya. Dan nampaknya kita telah sering melupakan sejarah.
Sumber Bacaan
Calhoun, Nationalism, University of Minnesota Press, Minnesota,.1997.
Hobsbawm, Eric, The Invention of Tradition, Cambridge University Press, 1983
Anderson, Benedict, Imagined Community, 1991
Anderson, Benedict, Hantu Komparasi, Qalam Press, Yogyakarta, 2002
*tulisan ini pernah dimuat di Jurnal for Sustainable Development, Vol. 2 No.4 Desember 2006
tampaknya nasionalisme yang dulunya menjadi dominasi sejarawan sekarang sudah tidak dapat dipakai lagi, dan kaum sejarah hendaknya harus melihat tidak hanya dari domain politik semata, akan tetapi juga harus melihat dari sosial budaya. hal ini berkaitan dengan sudah banyaknya dari para pemimpin kita (legislatif dan eksekutif) dan bahkan rakyat biasa (seperti yang pernah secara dua tahun berturut-turut pada bulan agustus, sebuah stasiun televisi mewawancarai orang-orang untuk bernyanyi Indonesia raya) dan semua orang yang diwawancarai tersebut tidak dapat menyelesaikan lagu itu.
Hal ini pada dasarnya sebuah nasion harus dilatar belakangi oleh adanya budaya sebagai jatidiri nasion tersebut, dan salah satu bentuk jatidiri adalah bagaimana orang tersebut mengekspresikan perasaannya melalui bahasa dan seni dan salah satunya adalah lagu kebangsaan, apabila itu menyangkut nasion.
weeet…ada mas bambang diwordpressku.Thanks mas atas comment-nya. Memang kita butuh rekognisi nasionalisme yg membumi