Resensi Sumatra, Its History And People, By Edwin M.Loeb (1935 ?)

Oleh Adi Prasetijo

Buku ini sebenarnya menceritakan sejarah pulau Sumatra dan masyarakat yang hidup di pulau itu. Salah satu yang menjadi kajian Loeb adalah Orang Kubu. Loeb membagi tulisannya tentang orang Kubu dalam 4 bagian, yaitu; pendahuluan yang berisi sejarah Orang Kubu, lokasi mereka, dan pengistilahan Kubu sendiri; kehidupan ekonomi yang mencoba menjelaskan mata pencaharian mereka; organisasi sosial yang menjelaskan dengan singkat tentang sistem kekerabatan, perkawinan, dan daur hidup mereka (kelahiran – kematian); dan yang terakhir tentang agama mereka.

Loeb juga menjelaskan sejarah asal-usul mereka. Ia membaginya dalam 3 versi cerita sejarah, yaitu : a) Sejarah kuno, dari waktu Orang Bari menjumpai Ratu Senuhun. b) Sejarah modern, dari waktu kedatangan Ratu Senuhun hingga Orang Kubu melakukan kontak dengan pemerintah. c) Sejarah masa kini, dari masa dimana pemerintah mengambil keuntungan dalam pengsksplorasian tanah demi minyak.

Sejarah orang Kubu dalam cerita yang sangat lama di pantai Sumatra dihubungkan dengan para bajak laut, yang membawa keluarga bersama mereka. Diceritakan bahwa dalam suatu kejadian saudara laki-laki dan wanita bajak laut tersebut mempunyai komitmen untuk berhubungan inses, hingga kemudian si saudara wanita hamil. Nama pasangan ini tidak diketahui karena orang Kubu mentabukan untuk menyebut nama nenek moyangnya.  Pasangan tersebut dikutuk oleh para bajak laut, dan dibuang ke semak belukar, dan menemukan pemukiman Kubu pertama di sungai Lalan. Orang-orang yang mempunyai garis darah dari pasangan ini disebut Orang Bari, “people of the good old times”. Sedangkan sejarah modern Kubu berkembang lebih otentik dan mengambil perannya pada awal pertengahan abad 17, dimana Ratu Senuhun datang ke orang-orang Kubu di Palembang. Orang-orang Kubu ini dijadikan pangeran sebagai subyeknya. “Piagem” tembaga yang diberikan olehnya kepada orang-orang itu tetap ada di kalangan keluarga yang mempunyainya.

Ras Veddoid

Loeb berusaha untuk mengkaitkan ras dengan kebudayaan. Ia melihat bahwa antara ras dan kebudayaan sebagai suatu kesatuan. Hal ini nampak pada beberapa penjelasannya tentang orang Kubu yang dilihatnya sebagai ras Veddoid. Ia melihat ada kesinambungan dan kemiripan kebudayaan diantara ras-ras Veddoid. Suku Sakai dan orang Kubu misalnya, selain mempunyai jenis ras yang sama, juga mempunyai kebudayaan yang mirip. Kemiripan kebudayaan misalnya nampak dalam cara hidup mereka yang nomadik, cara berpakaian, dan kebiasaan orang Kubu yang tidak bersunat. Suatu kebiasaan yang lazim bagi masyarakat Veddoid pada umumnya, meskipun terdapat pengecualian dengan orang-orang Australia (hlm. 285).

Selain Veddoid, di Sumatra terdapat 2 ras lain yaitu Negrito dan Malaysian (Melayu). Ras Veddoid sendiri mempunyai ciri-ciri pendek dan tinggi antara 153-158 cm untuk laki-lakinya. Mereka berkulit coklat tetapi lebih terang. Rambut mereka berombak, rambut hitam yang kasar, mempunyai tonjolan mata yang menonjol, dan dahi yang mencekung. Hidung mereka pesek, muka kasar, dan dagu yang mencekung. Mulut mereka besar dengan bibir yang tipis. Veddoid merupakan dolichocephalic (index tengkorak kurang dari 75) dan mempunyai tengkorak yang kecil. Menurut Loeb, ras Veddoid ini kemudian bercampur darah dengan ras yang lain. Suku Senoi atau Sakai adalah salah satu contoh sisa ras Veddoid yang menurut Loeb masih asli. Kleiweg de Zwaan, seorang ilmuwan Belanda, mempercayai bahwa  ras Veddoid yang ada di Sumatra mempunyai hubungan darah dengan ras Vedda yang ada di Ceylon/Srilangka. Van Dongen bahkan menulis bahwa orang Kubu tidak mempunyai folkore. Ini menyerupai orang Veddas di Srilangka (Ceylon), yang juga memperoleh kebudayaan Singhalese yang telah hilang bahasa aslinya dan folkorenya.

Di Sumatra, garis darah Veddoid ini nampak sangat menonjol dikalangan orang-orang Kubu di Palembang. Menurut Loeb, ras veddoid di Sumatra ada dalam 2 suku, yaitu Orang Kubu dan Suku Sakai yang ada di propinsi Siak. Ada beberapa orang di  semenanjung Malaya yang mempunyai kemiripan dengan mereka. Seperti orang-orang di Enggano dan Mentawai. Loeb juga menyimpulkan bahwa orang primitif Malayu di Sumatra adalah merupakan ras campuran dengan Veddoid. Ia merujuk pada Kleiweg de Zwaan yang menunjukan bahwa kebudayaan primitif Melayu tersebut mempunyai kemiripan dengan  kebudayaan veddoid. Seperti terlihat pada Suku Senoi/Sakai yang sangat tipikal.  Mereka adalah orang nomadik, hidup dari berburu dan mencari ikan, membuat sendiri pondoknya, dan mengenakan pakaian dari kulit tapa. Selain mereka menggunakan sumpitan dan panah beracun, Suku Senoi juga memakai panah dan busur.  Mereka monogami dan tidak mempunyai pemimpin formal dalam memimpin mereka. Mereka juga tidak begitu mendalami pertanian. Mereka mempunyai anjing sebagai binatang pemburu. Selain itu oleh Kleiweg de Zwaan, digambarkan mereka tidak mengenal pekerjaan yang berhubungan dengan metal, keramik, dan waeving (hlm.15).

Orang Kubu sendiri menurut Loeb hidup di rawa-rawa yang ada diantara sungai Musi, Rawas, Tembesi, dan Batang hari. Mereka berkumpul dan dicatat dalam beberapa desa/dusun. Pada tahun 1907 tercatat terdapat 7.590 orang Kubu yang tersebar dalam 5 marga. Secara fisik, menurut Loeb hidup mereka cukup menyedihkan, terutama wanita. Hampir semua dari mereka telah berpindah agama menjadi Islam, tetapi hanya perpindahan nama saja. Mereka tidak diperkenankan untuk makan makanan yang telah menjadi kebiasaan mereka, bekas-bekas omnivora, dan makan semua jenis binatang yang berdarah, meskipun telah membusuk.

Hubungan Orang Kubu dengan Orang Melayu

Hubungan kedua suku itu adalah merupakan hubungan dagang yang tidak pernah dilakukan secara langsung, tetapi dilakukan melalui cara “silent barter” atau barter secara tersembunyi. Mereka meninggalkan barang-barangnya di semak-semak, lalu orang Melayu yang mengambilnya dan menggantinya dengan barang lain, sebagai pembayarannya.

Meskipun mereka kurang melakukan hubungan langsung dengan orang Melayu, bagi Loeb orang Kubu mengambil bahasa, organisasi sosial, dan agama orang Melayu Palembang (hlm.282). Ia melihat bahwa banyak unsur-unsur kebudayaan orang Kubu yang diambil dari unsur-unsur kebudayaan Melayu. Lebih tepatnya, ia mengatakan terjadi suatu peniruan terhadap nilai-nilai budaya orang Melayu. Ada beberapa fakta yang ia ungkapan untuk memperkuat pendapatnya. Misalnya pernyataanya tentang jumlah istri yang lebih dari seorang. Ia mengatakan

“Kemungkinan peniruan dari orang Malayu, Kubu membiarkan mempunyai istri sebanyak yang ia sukai. Secara formal ada 3 istri, tetapi sekarang tidak ada yang lebih dari dua. Jika ada seorang Kubu mempunyai 2 istri, ia membuat shelter lebih besar dan tidur di pusatnya dengan istri disisinya.”(hlm. 284)

Contoh lain yang ia berikan adalah cara orang Kubu dalam meyelesaikan masalahnya dengan orang luar. Dalam menyelesaikan permasalahan, secara alami tidak ada perang antara berbagai komunitas Orang kubu, atau dengan orang luar. Dan Loeb melihat bahwa cara penyelesaian itu, mereka dapatkan dari  orang Melayu (hlm. 285). Atau dalam agama orang Kubu, yang ia nilai adalah bentuk awal dari kepercayaan orang Melayu dulu ketika mereka masih mempercayai Hindu. Meskipun ia mengetahui hanya sedikit tahu tentang keyakian asli orang-orang Kubu, ia melihat bahwa praktek shamanisme orang Kubu telah menunjukan bahwa orang-orang ini telah dipengaruhi oleh orang Melayu dalam praktek dan doktrin, jauh sebelum mereka punya perhatian untuk banyak mengadopsi didalam cara  dari kebudayaan material. Ia nyatakan juga secara tegas bahwa dalam praktek itu tidak ada pandangan Kubu tentang shamanism, ini adalah Hindu dan Malayu (hlm.286).

Loeb melihat orang Kubu terlambat dalam merubah pola hidupnya, dan melanjutkan hidupnya sebagai pengembara di semak belukar sampai pemerintah Belanda memaksa mereka untuk menetap dan melakukan pertanian. Meskipun pada saat ini Kubu menolak untuk bekerja seperti biasanya dan mandi (hlm.282). Ia melihat perubahan besar dalam kehidupan Orang Kubu terjadi ketika pemerintahan Belanda di Palembang mengambil bahan-bahan dari mereka dan menggunakan orang Malayu untuk menarik pajak dibawah pengawasan pemerintahan Belanda. Produk sumber daya alam dari hutan dikumpulkan sebagai pajak. Dan pada tahun 1890, ketika  minyak ditemukan di Palembang, Orang Kubu semenjak itu mulai belajar menggunakan uang (hlm. 282).

Kubu Liar dan Kubu yang Beradab

Loeb mengkategori orang Kubu dalam 2 tipe, yaitu kubu liar dan yang beradab. Ia membedakannya berdasarkan atas pola hidupnya. Misalnya ia menyebut orang Kubu yang liar adalah masyarakat yang hidupnya nomadik (mengembara) dan orang Kubu yang beradab adalah masyarakat yang telah hidup menetap. Ia memberi contoh bagaimana orang Kubu yang liar, seperti Kubu Ridan berada hampir lama 1 bulan dalam satu tempat, kadang hanya 1 minggu, tergantung dari keadaanya, seperti pepohonan yang ada disekitarnya yang hanya menawakan sedikit makanan, atau tidak cukup ikan di sungai atau rawa-rawa, dan mereka tidak dapat memperoleh makanan favoritnya, kura-kura mereka akan pindah. Hal ini berbeda dengan orang Kubu yang menetap, yang mencoba untuk hidup dari hasil pertanian. Juga dalam organisasi sosialnya, orang Kubu yang beradab/menetap dibagi atas dasar saudara, di dalam peniruan mereka kepada tetangga mereka, Kubu yang liar hanya mempunyai organisasi keluarga (hlm. 284).

Loeb melihat pengkategorian Kubu yang menetap dan Kubu yang liar ini sebagai akibat dari pemaksaan yang dilakukan oleh pemerintahan Belanda. Pada waktu itu pemerintah Belanda melakukan pemaksaan agar orang Kubu mau menetap dan melakukan usaha pertanian. Meskipun begitu ada orang Kubu yang menolak untuk bekerja seperti biasanya dan mandi (hlm.282). Ia melihat perubahan besar dalam kehidupan Orang Kubu ini terjadi ketika pemerintahan Belanda di Palembang mengambil bahan-bahan dari mereka dan menggunakan orang Malayu untuk menarik pajak dibawah pengawasan pemerintahan Belanda. Produk sumber daya alam dari hutan dikumpulkan sebagai pajak. Dan pada tahun 1890, ketika  minyak ditemukan di Palembang. (hlm. 282).

Loeb melihat orang Kubu yang liar mempunyai karakter yang rendah. Seperti nampak ketika ia membicarakan makanan dan pola makan orang Kubu liar yang tidak mengenal nasi, dan tidak biasa untuk memakannya. Dikatakannya bahwa mereka tidak akan makan kucing, harimau, dan gajah. Mereka makan babi liar, semua jenis kera, dan kura-kura, binatang yang tidak dimakan oleh orang Melayu. Mereka sangat senang dengan pisang. Mereka  lebih menyukai makan buah-buahan, tumbuhan berumbi (earth root), cacing/ulat, kadal, dan ular. Mereka menggali untuk mencari cacing dan tumbuhan yang menjalar dengan menggunakan serpih yang dibentuk dari bambu, atau parang yang didatangkan dari orang Melayu. Semua makanan dibakar diatas api, diputar-putar sedikit dan kemudian mereka makan. Mereka tidak menggunakan garam (hlm. 283).

Sebagai catatan stigma yang diberikan kepada nama mereka, orang Kubu yang beradab tidak mau disebut demikian, mereka lebih suka disebut sebagai Orang Darat atau Orang Laut, penduduk yang ada di daratan atau sungai. Pada tahun 1906, Van Dongen, berhubungan dengan orang Kubu yang terisolasi di rawa-rawa Sungai Ridan dimana mereka telah meninggalkan nama Kubu. Untuk lebih terlihat beradab, mereka menggunakan kata-kata saudara.

Tetapi pada kenyataan, tidak semua nilai-nilai budaya Kubu tersebut  hilang pada orang Kubu yang menetap. Yang terjadi adalah bentuk-bentuk variasi dari nilai-nilai yang sudah ada. Ia mencontohkan  dalam “melangan”, tradisi meningalkan orang mati atau orang yang sekarat oleh keluarganya. Ia melihat bahwa pengecualian pada orang Kubu yang beradab ketika yang sakit adalah anak-anak. Mereka  tidak serta merta pergi meninggalkan si sakit, seperti yang dilakukan orang Kubu yang liar, tetapi ia akan menengoknya terlebih dahulu. Setelah dirasakan kemungkinan sembuh besar, ia akan merawat si sakit. Apabila si sakit meninggal, mereka akan pergi ke tempat lain. Seperti yang ia ungkapkan,

“Meskipun diantara kubu yang beradab, dimana seorang yang sakit dan dipercayai bahwa mereka tidak akan sembuh, keluarga si sakit  akan melarikan diri ke semak belukar. Jika anak-anak yang sekarat, hanya orang tuanya yang tetap menemaninya. Ini merupakan tanda bahwa orang yang sekarat membawa ketidaksepahaman. Ketika keluarga si sakit ditinggalkan, bagaimanpun juga seseorang dalam keluarga, biasanya saudara laki-laki, kembali ke rumah setelah 3 hari. Jika si sakit tetap hidup, ia berusaha untuk menyembuhkannya. Jika orang yang sakit meninggal, orang yang menyelidiki akan memberitahu wanita dan anak-anak yang ada di semak belukar. Dan kemudian keluarganya akan kembali ke rumah itu dan menaburkan beras disekitarnya”(hlm.286).

Organisasi Sosial

Dalam organisasi sosial, Loeb membicarakan tentang perkawinan orang Kubu, proses kelahiran dan kematian orang Kubu. Dalam perkawinan, tidak pernah dikenal dalam hukum asli mereka tentang incest atau sistem hubungan. Schebesta menulis bahwa  bahwa pada saat itu, hubungan keluarga terdekatpun dapat menikah, dan tidak ada penolakan dalam adat mereka.

Loeb dalam bukunya ini, menjelaskan beberapa tradisi perkawinan orang Rimba yang menurutnya sederhana. Misalnya ia menjelaskan tentang proses perkawinan mereka,

“Bagaimana para pemuda dan wanita lari bersama-sama ke dalam semak belukar dan membuat hubungan dimana memicu mereka untuk menikah. Para gadis-gadis akan menikah cepat setelah mengalami pubertas. Disana tidak ada upacara, tetapi  pasangan datang kepada para tetua/sesepuh dan meresmikan hubungan mereka. Orang yang tertua dari kedua keluarga  menampilkan ritus pernikahan. Pasangan yang menikah duduk disamping dengan orang yang lain di tanah. Orang tua  bertanya kepada pasangan pengantin jika si wanita akan keinginan untuk menikah, dan si wanita mengulangi  apa keinginannya. Kemudian orang tua membuat pernyataan bahwa jika ada seseorang yang akan bertemu dengan pasangan tersebut sebaiknya tidak mengganggunya karena mereka sudah menikah.” (hlm. 284).

Menurut Loeb mereka tidak mengenal pesta dan tidak dikenal mas kawin/bride price. Orang Kubu mengatakan secara formal bahwa perkawinan sepasang mendapatkan persetujuan dari sesamanya dengan  menyatukan jari kecil di sebelah kanan pasangan tersebut sebagai tanda mereka telah disatukan.

Dikalangan Kubu yang lebih beradab, Kubu Klumpang, perkawinan juga merupakan juga ditampilkan oleh kedua anggota tetua/sesepuh  dari kedua keluarga, dan para tetua memberikan izinnya pertama, tetapi tidak pernah menanggapinya ketika terjadi kawin lari.sebagai tanda dari perkawinan pasangan makan nasi yang dibungkus daun pisang.

Perceraian dilakukan tanpa upacara, dan laki-laki dapat melakukan perselingkuhan dengan wanita atau wanita yang telah bersuami. Satu anak muda Kubu liar yang ditemui Van Dongen telah berselingkuh dua kali dengan wanita yang sama. Dalam kasus perceraian anak-anak akan ikut dengan orang tua yang mereka sukai, tetapi pada umumnya  mereka secara natural ikut ibunya.

Ketika  hamil, wanita dilarang  memandang/melihat  bangkai, gajah, atau kerbau. Proses kelahiran haruslah mengambil tempat di semak-semak. Wanita yang akan melahirkan dibantu oleh wanita lain atau suaminya. Anak yang baru lahir tidak dicuci tetapi dibersihkan dengan daun dan pakaian tapa. Secepat mungkin ibu dapat berjalan, kadang-kadang saat itu juga atau sehari sesudah melahirkan, ia sendirian atau ditemani oleh suaminya mencari makanan. Seorang Kubu tidak menyukai ketika istrinya melahirkan anak kembar atau kembar tiga, karenanya ia harus bekerja lebih keras untuk mendukungnya. Ia melihat bahwa seorang wanita yang melahirkan anak seperti itu seperti kambing yang melahirkan banyak keturunannya dalam sekali proses melahirkan.

Anak-anak mengikuti kedua orang tuanya, tinggal dan menggali makanan dengan bersama mereka, hingga mereka berumur 10 atau 12 tahun. Lalu mereka mampu untuk menjaga dirinya sendiri, mengenakan pakaian mereka sendiri, dan membangun shelter di dekat pondok orang tuanya. Dalam waktu ini mereka harus mencari makanan mereka sendiri  dan tidak lagi makan bersama orang-orang yang lebih tua.

Setiap orang Kubu mempunyai nama, tetapi nama mereka hanya diketahui  oleh orang-orang yang ada dalam satu kampung atau sirup. Masyarakat dari keluarga lain tidak mengetahui nama mereka, dan hanya mengacu kepada orang-orang yang mendiami sungai tertentu. Orang Kubu yang masih dalam 1 pemukiman datang jarang berhubungan dengan masyarakat lainnya, tidak ada rasa kekuatiran, upacara pubertas, atau acara/kegiatan bersama-sama.

Jika ada seorang Kubu yang meninggal tiba-tiba, atau salah seorangnya sakit sekarat yang memastikan bahwa dia akan mati, maka keluarganya akan meninggalkannya, meninggalkan seorang yang mati atau sekarat yang ada di dalam pemukimannya, dan membuat baru shelter baru dengan jarak yang jauh. Tidak ada lagi bahaya yang diambil tentang orang yang sakit. Didalam cara jika seorang kubu menemukan titik/tempat dimana seseorang meninggal, atau merupakan jejak dari prang yang mati, mereka akan lari menjauh secepat yang mereka bisa. Tindakan melarikan diri dari orang yang meninggal disebut sebagai “melangan”.

Setelah si mayat di  bungkus dengan pakaian adat, berbariung pada alas ranjang dan membawanya ke kuburan, kemudian dimasukan dalam lubang yang berkedalaman sekitar 3 feet. Setelah menaruh makanan di kuburan, maka upacara telah selesai. Ada maksud lain dari posisi badan diantara kubu yang beradab termasuk penempatannya pada cekungan pohon, atau meninggalkannya di dalam gubuk dan mengatur api dekat bangunan itu.

Pada saat ini, setelah kematian suaminya, seorang janda akan pergi melangan ke semak belukar selama 3 bulan. Setelah 3 bulan di dalam semak belukar, para janda akan kembali dan menikah kembali. Jika si janda menikah sebelum waktu yang ditentukan, ia harus membayar denda kepada keluarga yang meninggal sebagai perzinahan/persetubuhan.

Agama

Forbes, seorang penulis Inggris yang mengunjungi Kubu pada thn 1885, menulis “Mereka kelihatannya tidak mempunyai gagasan tentang kedaan setelah mati. Mereka mengatakan, Ketika kita mati, kita mati.” Forbes mengetahui bahwa oang Kubu menghindari kematian, dalam tulisannya ia menulis, “Di dalam kedaan liar mereka mereka meninggalkan kematian mereka tidak dikubur di suatu tempat dimana mereka mati, memberi suatu tempat meskipun setelah secara luas tempat itu tersebar”. Hagen juga menulis bahwa orang Kubu tidak percaya akan jiwa yang hidup setelah mati. Orang Kubu membebaskan kematian mereka kepada binatang liar/buas.

Menurut Van Dongen, kepercayaan Orang Kubu berdasar pada kepercayaan bahwa, setiap manusia dibuat atas sipat (material), roh (semangat.jiwa, benda pemikiran) dan njawa (kesehatan yang memproduksi bahan/zat). Tubuh material disamakan dengan sipat. Jiwa ada dalam njawa, atau nafas, dimana tidak akan meninggalkan tubuh hingga manusia mati, dan roh. Roh adalah semangat atau kekuatan untuk berpikir, adalah dapat meninggalkan tubuh dan mengembara, seperti di dalam mimpi. Dalam kematian njawa dan roh akan kembali ke sorga dan mereka diterima oleh Tuhan atau (Radja Njawa) untuk kebaikan atau kejahatan. Radja Njawa dapat ditranlasikan, menurut Van Dongen, adalah semua jiwa/spirit, dunia spirit, dan kekuatan spirit/jiwa.

Orang Kubu mengenal dukun, yang disebutnya sebagi malim. Orang Kubu menyatakan bahwa dukun pertama yang disebut sebagai malim kujug, mencapai gelar dan mempunyai kekuatan untuk membebaskan hantu, dengan membawa anjingnya (kujug) kembali hidup. Kemudian disetiap daerah mengirimkan seseorang untuk belajar dibawah pengawasan malim kujug, hingga setiap daerah memperoleh kepala malimnya sendiri. Dalam masa kini kata”malim” merupakan bentuk kependekan dari “dukun bermalim”.

Malim kepala datang turun temurun, dari ayah ke anak yang sulung. Pada masa ini malim kepala dipanggil pengasu (asu adalah anjing). Malim kepala bertindak sebagai kepala penjabat di pembebasan, upacara keagamaan, dan pertemuan keagamaan yang penting. Masyarakat yang lain, dimana orang yang membantu, biasanya muridnya adalah biasanya malim.

Dalam cara yang sama sebagai malim kujug dibantu oleh istrinya ketika ia membawa anjingnya kembali ke kidupan kembali. Dengan membersihkan roh jahat keluar dari binatang, dengan demikian kini setiap malim pengasu mempunyai istrinya sebagai pembantunya dalam upacara. Sang istri kemudian mendapatkan julukan ulubalang.

Jika seseorang sakit, malim yang dipanggil untuk mengusir setan yang ada dalam pasien. Prosesi ini disebut bermalim. Ada beberapa macam cara formulasi pengusiran setan dengan menggunakan lagu yang disebut saleh, selain itu ada pertemuan religius pengusiran hantu yang tidak berbeda jauh dengan proses lainnya. Sehari sebelum proses penyembuhan semuanya haruslah disiapkan, dan menyiapkan makanan yang diperlukan. Semua makanan dibawa dalam “tujuh”, ada 7 macam barang.

Malim yang berfungsi sebagai pembantunya  dan ulubalang, tidak makan apapun selama malam pengusiran setan, tetrapi mereka merokok dan  mengunyah sirih. Jika ada oprang lain yang makan, mereka akan duduk mengambil jarak. Malim kepala, dan biasanya pembantunya juga, menutup lubang di tubuh mereka selama mereka melakukan tugasnya. Mereka mungkin mendengar apapun,melihat apapun, meskipun menguap atau sakit perut, ketuka berkonsentrasi. Ini juga merupakan alasan bahwa pertemuan penting keagamaan diadakan malam hari.Menjelang terbit matahari, malim kepala dan pembantunya mensucikan dirinya dengan mandi. Kemudian membasuh tubuh mereka dengan air jeruk.

Proses penyembuhan dapat dilakukan di rumah orang yang sakit jika ada ruang yang cukup, tetapi biasanya dilakukan di balai, rumah komunal. Drum yang silindris, tamboirin digunakan sebagai musik, yang dilakukan dengan tangan.

Pertemuan keagamaan (séance) yang dilakukan untuk melakukan hubungan dengan orang yang telah mati terdiri atas  33 lagu (saleh). Dua yang terakhir adalah sangatlah penting. Saleh dibawakan dengan cara-cara: pertama, malim menceritakan isi/sari penting dari saleh, kedua tamborin di pukul dan orang-orang berdiri. Ini kemudian diikuti dengan menari, dimana semua orang turut serta dan kemudian diakhiri oleh malim sendirian.  Ketiga adalah  tarian yang menjadi meluas, lalu malim akan jatuh pingsan. San yang keempat, Malim kemudian dibangunkan dengan dipukul oleh tangannya sendiri. Kepala malim lalu merestui si sakit dan publik, dan memberi nasihat tentang saleh yang diberikan.

Ketika malim kepala berada dalam kedaan trance, ia dapat melihat jiwa yang sakit berada diatas pohon, atau berda diatap rumah, dan berada dalam pengaruh roh jahat. Roh penyembuh, jiwa yang merupakan malaim kepala pertama, malim kujug, mengambil tempat kediamannya didalam malim kepala setelah saleh yang ke 25, dan tetap sampai akhir penyembuhan. Hantu, bagaimanapun jugam tidak berbicara melaui mulut si malim.

Kesimpulan

Loeb melihat kebudayaan orang Kubu dalam suatu prespektif evolusi, sesuatu yang ia sadari benar. Seperti ia ungkapan dalam pengantar bukunya, bahwa ia memilih untuk melakukan pendekatan teoritis yang sifatnya evolusionari. Suatu pemikiran teoritis yang ketika pada masa itu memang sedang menonjol. Ia melakukan kontak dengan para ilmuwan evolusianari, seperti Keller, Kroeber, dan Lowie (hlm. 3). Sehingga kemudian wajar bahwa kemudian nampak adanya perbandingan antara kebudayaan orang Kubu, sebagai ras Veddoid dan kebudayaan Melayu, sebagai ras Melayu. Dimana kedua perbandingan kebudayaan tersebut dilihatnya dalam suatu prespektif kesinambungan perkembangan kebudayaan yang berangkat dari bentuk yang  sederhana hingga ke bentuk yang kompleks. Kebudayaan orang Kubu, dilihatnya sebagai bentuk-bentuk awal dari kebudayaan Melayu yang bentuknya sederhana. Ia melihat kebudayaan yang kompleks seperti kebudayaan Melayu adalah kebudayaan yang mempunyai derajat yang lebih tinggi, dibandingkan dengan kebudayaan orang Kubu yang primitif. Baginya, kebudayaan orang Melayu telah menjadi acuan bagi kebudayaan orang Kubu. Seperti yang ia jelaskan ketika ia mengungkapkan bahwa organisasi sosial, bahasa, dan  agama orang Kubu  merupakan bentuk adopsi dari kebudayaan Melayu hingga lama kelamaan kebudayaan asli mereka hilang melebur ke dalam kebudayaan Melayu. Seperti yang ia ungkapkan

“Tidak ada alasan untuik meragukan bahwa kebudayaan pada suatu waktu adalah kompleks, paling kurang seperti orang Sakai di semenanjung Malaya. Selama didorong kembali ke dalam daerah raw-rawa di Palembang, dan dikelilingi oleh orang Melayu dimana orang Kubu menjadi parasit, dan dari siapa mereka secara bertahap mendapatkan bahasa asing dan kebudayaan, mereka telah kehilangan pengetahuan dan seni asli mereka. Selama itu ada kebahayaan untuk menggunakan analogi biologi di dalam kesesuaiannya dengan kebudayaan manusia, karena disana tidak ada keraguan bahwa orang-orang yang parasit adalah hanya  sebagai  bertanggung jawab pada penurunan sebagai tumbuhan parasit atau binatang. Orang Mentawai adalah seperti parasit pada orang Malayu untuk besi. Tetapi kemudian orang-orang ini secara geografis lebih mempunyai situasi yang bervariasi. Oleh sebab itu ketika mereka memperoleh apa yang mereka butuhkan dari orang asing, mereka dengan teliti mengeluarkan semua yang mungkin membahayakan eksistensi mereka.”(hlm. 289).

Ia juga mengungkapkan bahwa sesuai dengan  sifatnya yang monoton  dan kebudayaan material yang sederhana, orang Kubu juga mempunyai keterbatasan sosial dan pengembangan agama. Dimana apa yang mereka elaborasikan  adalah merupakan asal mula orang Melayu (hlm. 283). Dalam melihat agama orang Kubu, dilihatnya sama atau sesuai dengan bentuk awal dari kepercayaan orang Melayu yang dulunya beragama Hindu. Loeb mempercayai agama orang Kubu adalah sebenarnya merupakan  bentuk agama yang diambil dari kebudayaan orang Melayu pada masa lalu.

Sebagai konsekuensi lain dari perspektif evolusi kebudayaan adalah pandangan etik si penulis ketika melihat suatu kebudayaan. Loeb juga melakukan penilaian terhadap kebudayaan orang Kubu. Seperti ia melihat orang Kubu adalah suatu ras yang menurun tingkatnya (a degenerate race). Atau mereka yang mempunyai karakter yang rendah. Seperti yang ia katakan bahwa

“Kubu tidak pernah berhubungan dengan air selama hidupnya, pengecualian dengan hujan yang tidak mungkin mereka hindari. Air adalah dingin dan membuat mereka sakit. Ketika mereka kotor atau dilumuri lumpur, mereka akan membersihkannya dengan menggunakan parang atau bambu. Berdasarkan penolakan ini, mereka tercium sangat bau dan mereka mudah terkena penyakit kulit. Mereka menunjukan ketangkasan untuk menghindari semua tempat yang basah/berair ketika bepergian melalui semak belukar. Sejak mereka dibiasakan untuk hidup di semak belukar yang gelap, mereka juga tidak menyukai sinar matahari. Wanita tidak pernah memotong rambut mereka, tetapi lak-laki memotong rambutnya dengan parang.” (hlm.  283)

Loeb mengakui juga bahwa ia tidak mengetahui tentang asal usul kata-kata Kubu, Lubu, dan Ulu. Istilah itu muncul dikalangan penduduk desa, Kubu berarti orang-orang/seseorang yang makan segalanya termasuk makanan yang tidak bersih, dimana mereka tidak hidup/tinggal di dalam rumah, dan tubuh mereka tidak bersih sebagai akibat penolakan mereka terhadap air. Juga pengkategorian orang Kubu yang beradab dan yang liar. Pengkategorian ini bersifat  bias karena dalam pengkategoriannya, ia mendasarkan pada pengamatan gejala-gejala yang nampak saja.

Dari sisi metodologis, ia mempunyai banyak kelemahan. Ia banyak mendasarkan tulisannya pada beberapa karya etnografi lama hasil tulisan ilmuwan asing seperti orang Belanda, Prancis, dan Jerman yang mempunyai banyak kelemahan dalam tehnik-tehnik pengambilan data. Meskipun melakukan field work yang ia lakukan selama beberapa tahun, yaitu dari tahun 1926 – 1927 dan 1928 – 1929, ia menyadari berbagai kekurangan itu.

* penulis menggunakan kata Orang Kubu merujuk kepada definisi yang diberikan oleh Loeb kepada Orang Rimba