Adi Prasetijo
dr berbagai sumber
dalam: Meretas Pemikiran Naya: Apreasiasi 37 Tahun Masa Pengabdian Prof. Surna Tjahja Djajadiningrat, Ph.D, ICSD & SBM ITB, Bandung 2009
Dalam suatu percakapan informal seorang teman bertanya; Mengapa, lingkungan hidup Indonesia semakin memprihatinkan?. Apakah dapat diperbaiki dan bagaimana memperbaikinya?.
Pertanyaan tersebut tidak hanya diajukan oleh kawan tersebut tetapi oleh banyak kawan lainnya yang ikut prihatin dengan kondisi sumber daya alam dan lingkungan hidup yang kita miliki bersama. Jawaban politisnya mudah yaitu; karena kita miskin dan semakin miskin maka lingkungan hidup yang sudah rusak semakin rusak. Jawaban simplistik yang menyalahkan kemiskinan sebagai penyebab semakin parahnya kerusakan lingkungan hidup bukanlah jawaban yang dapat dipertanggungjawabkan.
Untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut secara lebih ilmiah dan mendasar perlu dipahami hal-hal yang mendasar tentang pengelolaan lingkungan hidup sesuai falsafah dasar negara serta faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaannya. Falsafah dasar dari pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup adalah Undang Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 yang menjelaskan bahwa “Bumi, tanah dan air dikuasai negara untuk dimanfaatkan guna sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaannya adalah kapasitas institusi negara dalam mengelola dan mendistribusikan barang-barang publik yang menghormati aturan hukum yang berlaku.
Konstitusi negara Indonesia adalah Undang-Undang Dasar 1945, yang pada pasal 33 ayat 3 menegaskan bahwa sumber daya alam dan lingkungan hidup adalah milik negara dan rakyat Indonesia (sumber milik bersama “common property resources”) yang pemanfaatannya ditujukan untuk kepentingan bersama. Hal ini berbeda dengan Amerika Serikat yang mengakui hak milik perorangan (property right) dalam pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan.
Sesuai dengan konstitusi yang ada, pemerintah yang “legitimate” diberi kewenangan untuk mengelola sumber daya alam dan lingkungan hidup sesuai dengan amanat konstitusi. Dalam hal kewenangan ini, memberikan berbagai interpretasi dari kalangan lain yang umumnya menterjemahkan bahwa pemerintahlah yang menguasai sumber-sumber daya alam tersebut, padahal dalam amanat tersebut pemerintah diberi wewenang untuk mengelola dan hasilnya adalah semata-mata untuk rakyat Indonesia.
Agar supaya pemanfaatan sumberdaya alam dapat dilaksanakan guna sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, pemerintah yang dalam hal ini diberi kewenangan untuk mengelola sumberdaya alam dan lingkungan hidup mempunyai kewenangan untuk memberi hak ekonomi kepada orang atau kelompok. Sehingga dengan demikian pemerintah tetap dibantu oleh rekan-rekan kerja dari pihak swasta sebagai stakeholder dan tentunya dengan pengawasan dari pengelola yang dalam hal ini adalah pemerintah.
Hak ekonomi (economic right) yang diberikan kepada orang atau kelompok orang bertujuan agar supaya nilai tambah dari sumberdaya alam dapat ditingkatkan atau dapat meningkatkan nilai tambah orang atau kelompok orang agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Ironisnya pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” menjadi sumber dan acuan utama dari semua kebijakan pengelolaan sumberdaya alam tidak diinterpretasikan secara benar dan tepat. Dalam konteks pengembangan konsep pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan serta berbasiskan kerakyatan terdapat dua masalah pokok. Pertama, pernyataan “dikuasai oleh negara” tanpa batas-batas yang jelas selama ini memberikan implikasi buruk dalam pengelolaan sumberdaya alam. Terlepas dari tujuan pembentuk UUD 1945 dalam mencantumkan kata dikuasai, kata tersebut dalam kenyataannya digunakan untuk melegalisasikan kekuasaan pemerintah terhadap sumber daya alam yang berlebihan, terutama untuk mendukung kepentingan kelompok tersebut. Kata dikuasai kemudian kerapkali menjadi masalah karena kata tersebut kemudian diadopsi oleh peraturan perundangan yang terkait dengan sumberdaya alam seperti tanah, hutan, tambang dan sumber daya air tanpa mengkaitkan dengan kepentingan negara dan rakyat. Kedua, UUD 1945 dalam hal ini pasal 33 ayat 3, tidak mengakui pentingnya perlindungan fungsi dan daya dukung ekosistem sumberdaya alam kita.
Dari kaca mata ekonomi, sumberdaya alam dan lingkungan adalah sumber milik bersama (common property) atau barang publik (public goods). Karena merupakan sumber milik bersama maka dianggap juga sebagai barang yang tidak ada pemiliknya (everybody propert means nobody property), karena merupakan barang publik tidak ada pihak yang mempunyai kepentingan untuk mengelola dan mengatur. Akibatnya sumberdaya alam dan lingkungan dimanfaatkan tanpa batas dan tanpa memperhatikan kemampuan dan daya dukungnya.
Tidak terciptanya kondisi keseimbangan antara permintaan dan persediaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup merupakan cerminan tidak adanya institusi penyeimbang dan tidak ada indikator yang mencerminkan keseimbangan. Oleh karena itu diperlukan adanya kapasitas institusi negara yang menghormati aturan hukum dalam pengelolaan dan pendistribusian barang publik dimana pemimpin birokrasi negara (legislatif,eksekutif, dan yudikatif) yang mempunyai kompetensi dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup.
Seringkali konsep pembangunan yang tidak memperhatikan konsep keberlanjutan, melihat faktor sumberdaya alam dan lingkungan hanya ditentukan berdasarkan nilai progresifnya. Untuk itu sangat perlu upaya untuk memfokuskan pada pencapaian konsep good governance sebagai prasyarat untuk mencapai pemanfaatan kaidah keberlanjutan atas sumber daya alam dan lingkungan. Realisasi dari konsep pemerintahan yang bijaksana “good governance” merupakan prasyarat untuk mendapatkan keseimbangan yang efektif antara lingkungan dan pembangunan. Governance didefinisikan sebagai “pelaksanaan otorita politik, ekonomi dan administratif dalam pengelolaan sebuah negara, termasuk didalamnya mekanisme yang kompleks serta proses yang terkait, lembaga¬-lembaga yang dapat menyuarakan kepentingan baik perorangan ataupun kelompok masyarakat dalam mendapatkan haknya dan melakukan tanggung jawabnya, serta menyelesaikan segala perselisihan yang muncul diantara mereka”. Governance berada dalam keadaan yang baik apabila terdapat sinergi diantara pemerintah, sektor swasta dan masyarakat sipil dalam pengelolaan sumber-sumber alam, sosial, lingkungan dan ekonomi.
Prasyarat minimal untuk mencapai good governance adalah adanya transparansi, akuntabilitas, partisipasi, pemberdayaan hukum, efektifitas dan efisiensi, dan keadilan. Aset-aset publik harus dikelola oleh pemerintah melalui cara yang transparan, efektif dan efisien, serta mampu menjawab ketentuan dasar keadilan. Keterlibatan masyarakat di setiap jenjang dalam proses pengambilan keputusan (terutama menyangkut alokasi sumberdaya dan dalam mendefinisikan dampak-dampak pada kelompok masyarakat yang lebih “peka”), merupakan salah satu faktor yang menentukan keberadaan good governance. Dengan melibatkan anggota masyarakat, kegiatan pengelolaan sumber¬sumber daya alam akan menjadi semacam aktivitas pendukung pengelolaan (co-management) yang terdiri atas suara rakyat dan tindakan-tindakan responsif pemerintah. Hal yang sama berlaku pada aspek hukum seperti peraturan dan kebijakan, dan sistem peradilan yang independen, otoritatif dan profesional.
Dalam menjalankan prinsip-prinsip good governance, terdapat tiga fokus bidang yang penting dan saling terkait ekonomi, politik dan administrasi. Bidang ekonomi mencakup proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi tidak hanya kegiatan ekonomi dan faktor-faktor terkait lainnya, namun hal-hal lainnya menyangkut isu keadilan, kemiskinan dan kualitas hidup. Bidang politik mempertimbangkan keseluruhan proses pengambilan keputusan dalam bentuk penyusunan kebijakan, sementara bidang administratif berkaitan dengan sistem implementasi kebijaksanaan di tingkat nasional dan regional. Berkaitan dengan ketiga topik tersebut, maka konsep good governance dapat didefinisikan sebagai sebuah acuan untuk proses dan struktur hubungan politik dan sosial ekonomi yang baik.
Salah satu isu penting tentang good governance yang menyatukan ketiga bidang tersebut adalah perlunya dijalankan sistem pemerintahan bottom-up. Keputusan harus diambil pada tingkat yang serendah mungkin yang diikuti dengan pengambilan tindakan yang efektif. Pemerintahan desentralisasi dapat dibuat lebih fleksibel dan pengaturan dana secara lebih baik yang dapat mengakomodasikan keragaman kebutuhan pembangunan setempat sesuai dengan daya dukung dan kondisi lingkungannya. Sistem desentralisasi diharapkan memberikan kesempatan bagi ide-ide untuk lahir dari komuniti itu sendiri. Oleh karenanya, kebijaksanaan publik yang dibuat di dalam sistem desentralisasi dapat lebih meningkatkan partisipasi, dan mungkin akan melahirkan aspirasi yang lebih besar lagi, apabila dibandingkan dengan kebijaksanaan yang terpusat (sentral). Unsur-unsur dasar good governance dapat menciptakan sebuah iklim politik nasional yang kondusif untuk memajukan desentralisasi dalam aspek-aspek ekonomi, administratif dan politik.
Dengan good governance diharapkan dapat tercipta format politik yang demokratis, karena hal ini merupakan prasyarat menuju demokratisasi pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia. Pada kondisi ini diperlukan sebuah badan legislatif dan yudikatif yang bebas dari dominasi eksekutif. Format politik yang demokratis berangkat dari visi politik yang dilandasi oleh kedaulatan rakyat dan menekankan perlindungan hak-hak dasar warga negara.
Konsep good governance juga diharapkan akan melahirkan model alternatif pembangunan yang mampu menggerakkan partisipasi masyarakat umum dan memberi jaminan bahwa prioritas di bidang politik, ekonomi dan sosial yang dibuat berdasarkan musyawarah bersama. Suara kelompok masyarakat miskin dan marjinal harus didengar ketika masalah sumberdaya alam diperdebatkan. Eksistensi good governance akan dapat mengakomodasi perhatian semacam itu dan memberikan kesempatan yang jauh lebih besar bagi orang-orang untuk mengelola sumberdaya lokal mereka.
Dalam kondisi krisis multi-dimensional, sulit bagi Indonesia untuk melaksanakan pembangunannya. Apabila Indonesia mampu menyelesaikan masalahnya dan keluar dari krisis multi-dimensional, masih ada harapan dan optimisme untuk mampu melaksanakan pembangunan yang berkelanjutan.
Banyak hal mendasar yang harus dibenahi dan tidak sederhana dan membutuhkan waktu. Pendidikan politik untuk menegakkan demokrasi harus terus dilakukan, menegakkan hak asasi manusia, merubah wawasan masyarakat yang sempit dan primordial menjadi wawasan yang luas dan universal dengan keyakinan semua manusia mempunyai hak dan kewajiban yang sama, ditegakkannya dan diberlakukannya hukum (law in order dan law inforcement), pengakuan hak-hak intelektual dan kemampuan daya saing untuk ikut dalam kesejagatan.
Good governance dan Clean Government perlu ditegakkan. Masyarakat harus diberdayakan untuk dapat menjadi pengawas yang ampuh terhadap setiap pelaksanaan pembanguan. “Civil Society” harus dapat diwujudkan dalam upaya mewujudkan demokrasi.
Reformasi birokrasi menuju sitem birokrasi yang mempunyai kompetensi harus dilakukan. Standar kompetensi birokrasi serta kompetensi (sistem penggajian) yang realistis dan kompetitif harus diterapkan. “Reward and Punishment” dan “Carrot and Stick” harus diberlakukan pada birokrasi sehingga memicu usaha peningkatan kapasitas birokrasi. Penempatan jabatan dan pemberian jabatan merupakan bagian dari kompetensi dan bukan “like and dislike” dan merupakan hal yang wajar.
Etika bisnis ditegakkan melalui sistem yang efektif dan terbuka. Akuntabilitas bukan hanya berlaku pada birokrasi tetapi juga pada setiap manajemen kegiatan usaha.
Di era kesejagatan, Indonesia masih mempunyai peluang untuk berkiprah di era kesejagatan mengingat masih signifikannya kuantitas dan kualitas sumberdaya alam serta jumlah manusianya.
Pengalaman, kemampuan dan infrastruktur industri yang telah ada dapat dijadikan referensi dan modal untuk pengembangannya. Kegagalan kebijaksanaan, kegagalan pemerintah dan kegagalan pasar masa lalu dapat dijadikan pengalaman yang dapat menjadi referensi untuk menyusun kebijaksanaan yang lebih tepat guna.
Sumberdaya manusia harus menjadi aset pembangunan. Alokasi biaya untuk pendidikan harus dapat mendanai pendidikan publik secara efektif. Pertanyaannya adalah; Apakah ini dapat diwujudkan dan diimplementasikan? Jawabannya terpulang kepada kita semua.
Good governance
Good governance sesungguhnya adalah suatu konsep yang mengacu kepada proses pencapaian keputusan dan pelaksanaannya yang dapat dipertanggungjawabkan secara bersama. UNDP (1997) mengartikan good governance sebagai suatu konsensus yang dicapai oleh pemerintah, warga negara, dan sektor swasta bagi penyelenggaraan pemerintahaan dalam suatu negara. World Bank lebih mengartikan good governance sebagai suatu pelayanan publik yang efisien, sistem peradilan yang baik, dan sistem pemerintahan yang dapat dipertanggungjawaban kepada publik. Jika kita merujuk kepada 3 pilar pembangunan berkelanjutan yaitu pembangunan ekonomi, lingkungan, dan pembangunan manusia, maka upaya good governance yang menyentuh 3 pihak yang ada didalamnya yaitu pihak pemerintah sebagai penyelenggara negara, pihak korporat atau dunia usaha sebagai motor ekonomi, dan kepada masyarakat sipil, menemukan kesesuaiannya.
Stakeholder Dalam Good governance
Dalam banyak hal good governance lebih banyak diartikan sebagai tata pemerintahan yang baik (UNDP), dimana elemen dasar dari good governance ini adalah upaya pengelolaan management lembaga yang dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Ada beberapa unsur yang harus dipenuhi jika suatu lembaga dapat dikatakan mempunyai tingkat good governance yang baik. UNDP menyebutkan bahwa 8 prinsip yang harus terpenuhi, yaitu antara lain adalah :
1. Partisipasi
2. Supremasi hukum
3. Transparansi
4. Responsif
5. Orientasi kepada konsensus
6. Kesetaraan dan keterbukaan
7. Efektif dan efisien
8. Akuntabilitas
Hendaknya dalam pelaksanaannya, masing-masing pihak harus dapat melaksanakan kegiatannya berdasarkan pada 8 prinsip diatas. Partisipasi misalnya dalam hal ini berkaitan dengan bagaimana keterlibatan masyarakat dalam berbagai keputusan publik. Supremasi hukum akan mengacu kepada proses penegakan hukum yang bersifat fair dan adil. Transparansi akan banyak mengacu tata kelola arus informasi yang transparan dan akses publik yang dapat dipertanggungjawabkan. Responsif sendiri lebih cenderung untuk mengacu kepada institusi dan proses yang mencoba untuk melayani semua kebutuhan stakehokder yang terkait dengan sikap tanggap responsif yang cepat, sehingga semua permasalahan dapat diselesaikan dengan cepat. Orientasi kepada konsensus berarti adalah pencapaian kesepakatan atas perbedaan-perbedaan kepentingan yang terjadi diantara stakeholder. Efektif dan efisien berarti bahwa dalam pelaksanaan tata pemerintahan yang baik maka seharusnya memperhatikan bagaimana mengelola sumberdaya lembaga yang ada agar sesuai dengan kebutuhan yang ada dan tujuan yang ingin dicapai, sehingga efisiensi kerja dapat tercapai sesuai dengan tujuan yang direncanakan. Dalam prinsip efektif dan efisien ini terkandung maksud agar pelaksanaan good governance dalam suatu lembaga, baik itu dalam lembaga pemerintahan dan perusahaan, ataupun dalam kelompok masyarakat sipil dapat berdaya guna secara efektif dan efisien. Sedangkan maksud dari prinsip yang terakhir yaitu akuntabilitas dalam hal ini mempunyai wujud kebertanggungjawaban kepada publik atau shareholder dalam konteks perusahaan atas semua apa yang sudah dilakukan. Aspek kepengawasan dan partisipasi publik untuk menjaga pelaksanaan kelembagaan yang baik dan benar memang menjadi tumpuan utama dalam prinsip ini.
Prakteknya dibeberapa lembaga donor kemudian menggunakan good governance sebagai acuan untuk menentukan suatu bentuk kepemerintahan suatu negara berjalan dengan baik atau tidak. Diskursus tentang good governance kemudian beralih dari bagaimana membuat pemerintahan yang baik kepada aspek siapa yang sesungguhnya menentukan suatu bentuk pemerintahan negara lain lebih baik daripada yang lainnya, dan apa ukuran atau indikator yang digunakan. Seperti misalnya World Bank, lebih banyak melihat good governance dalam aspek kontrol sumber-sumber daya ekonomi dan sosial serta bagaimana kontrol penggunaannya. Oleh karena itu terdapat item kontrol korupsi sebagai bagian utama indikator yang akan dilihatnya. Hal ini terlihat misalnya dalam indikator good governance yang dibuat oleh World Bank sejak tahun 1996. Ada 6 elemen yang digunakan oleh World Bank menentukan indikator suatu negara buruk atau baik. Indikator tersebut antara lain adalah 1) akuntabilitas, 2) stabilitas politik dan semakin kurangnya praktek kekerasan/teror, 3) efektifitas pemerintah, 4) kualitas peraturan yang dibuat, 5) penegakan hukum, dan 6) korupsi kontrol. Faktor-faktor seperti bagaimana respon yang diberikan oleh pihak pemerintah juga orientasi kepada kesepakatan-kesepakatan yang dibuat oleh para stakeholder bukanlah menjadi perhatian utama oleh World Bank.
Peran Stakeholder Dalam Good governance
Dalam kenyataannya jika berbicara tentang good governance, kita tidak hanya berbicara tentang tata pengelolaan pemerintahan yang baik oleh pemerintah semata. Dalam konsep good governance kita juga berbicara tentang bagaimana konsep tersebut dapat diterapkan kepada pihak perusahaan dan masyarakat sipil. Dalam sudut pandang pemerintah, pelaksanaan good governance untuk memastikan bahwa tata pemerintahan yang bersih dan transparan telah terlaksana dengan baik dengan memperhatikan prinsip-prinsip yang dikemukakan sebelumnya. Pemerintah disini berperan sebagai regulator dan memastikan bahwa praktek-praktek yang mereka lakukan sesuai dengan prinsip – prinsip good governance, baik yang dilakukan oleh mereka sendiri dan pihak lainnya. Pemerintah juga harus bisa memastikan bahwa penegakan hukum dan penghormatan kepada HAM telah dilakukan dengan benar dan sesuai dengan kaidah yang benar. Sedangkan pihak perusahaan berusaha bagaimana perusahaannya bekerja melayani sesuai dengan prinsip-prinsip good governance yang telah ditentukan. Pihak korporasi dalam konteks ini mempunyai tanggung jawab untuk dapat melakukan usaha-usaha produktif ekonominya secara benar dan fair sehingga tercipta pasar yang kompetitif. Masyarakat sipil dalam kaitan dengan konsep good governance mempunyai peran yang sesungguhnya sangat menonjol karena keterlibatannya dalam praktek tata kelola pemerintahan yang dianggap paling baik. Peran masyarakat sipil disini adalah bagaimana mereka mempunyai daya kontrol yang tangguh dalam tata pelaksanaan pemerintahan berkaitan dengan pelayanan publik, kemandirian yang menonjol sehingga dapat bekerja secara independen dan tidak mudah dipengaruhi, serta bagaimana meningkatkan tingkat partisipasi mereka dalam pelaksanaan pemerintahan. Pada intinya adalah bagaimana meningkatkan akses masyarakat sipil terhadap pelayanan publik yang lebih baik sesuai dengan tujuan pembangunan yang ingin dicapai. Tiga aktor good governance tersebut diatas mempunyai hubungan yang saling mendukung dan tidak dapat satu berdiri lebih kuat daripada yang lain. Dalam kerangka kaca pandang good governance, masing – masing pihak mempunyai tanggung jawab untuk memperkuat dirinya dan stakeholder lainnya. Masing-masing stakeholder mempunyai peran masing-masing sebagai fungsi kontrol untuk stakeholder lainnya.
Dalam konteks praktek lapangan dunia usaha, pihak korporasi mempunyai tanggungjawab moral untuk mendukung bagaimana good governance dapat berjalan dengan baik dimasing-masing lembaganya. Pelaksanaan good governance secara benar dan konsisten bagi dunia usaha adalah perwujudan dari pelaksanaan etika bisnis yang seharusnya dimiliki oleh setiap lembaga korporasi yang ada didunia. Dalam lingkup tertentu etika bisnis berperan sebagai elemen mendasar dari konsep CSR (Corporate Social Responsibility) yang dimiliki oleh perusahaan. Pihak perusahaan mempunyai kewajiban sebagai bagian masyarakat yang lebih luas untuk memberikan kontribusinya. Praktek good governance menjadi kemudian guidence atau panduan untuk operasional perusahaan, baik yang dilakukan dalam kegiatan internal maupun eksternal perusahaan. Internal berkaitan dengan operasional perusahaan dan bagaimana perusahaan tersebut bekerja, sedangkan eksternal lebih kepada bagaimana perusahaan tersebut bekerja dengan stakeholder lainnya, termasuk didalamnya publik.
Dalam keterkaitannya dengan lingkungan, maka terdapat beberapa kriteria yang harus dilakukan dalam melaksanakan good governance yang dikatakan sebagai environmental governance, antara lain:
1. Transparansi
Adanya rumusan kebijakan yang terkait dengan masalah keterbukaan dan kerahasiaan informasi. Wajib menyampaikan kebijakan/informasi secara berkala (contoh pada Laporan Tahunan dan Laporan keuangan) kepada stakeholder dengan tepat waktu, akurat, objektif, mudah dimengerti, setara dan sesuai dengan kaidah baku akuntansi, sehingga pihak-pihak yang terkait dapat melihat dan memahami bagaimana dan atas dasar apa keputusan-kepututusan tertentu dibuat dan bagaimana suatu perusahaan dikelola.
2. Akuntabilitas
Adanya sistem pemantauan pelaksanaan fungsi,tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris, Komisaris Independen, Direksi, Komisi Audit, Komisi Nominasi dan Remunerasi, Komisaris/Direksi/Manager serta melakukan evaluasi (audit) terhadap kinerjanya, Fit and Proper Test, Assesment ; Kepastian bahwa kebijakan perusahaan dan SOP telah dijalankan dengan benar ; Mutasi dan pelatihan pegawai secara regular, dll.
3. Fairness
Keadilan dan kesetaraan perlakuan terhadap pihak yang berkepentingan. Menjunjung tinggi persaingan yang fair, nilai sportifitas dan profesionalisme. Tender dilakukan secara terbuka dan sesuai prosedur, menetapkan etika kerja dan pedoman perilaku serta melaksanakan survey tingkat kepuasan.
4. Independent
Sebuah korporat bebas dari pengaruh atau tekanan pihak lain yang tidak sesuai dengan mekanisme korporasi. Adakalanya kepentingan politis dari sekelompok atau sebagian orang yang mencoba mengatasnamakan pemerintah menginterfensi kebijakan-kebijakan strategis. Untuk itulah fungsi Komisaris dan Komite Audit harus benar-benar Independen agar fungsi pengawasan berjalan dengan baik.
5. Responsibilitas
Setiap korporat harus mengimplementasikan Corporate Social Responsibility, memiliki kepekaan pada stakeholders dan lingkungannya, membangun industri penunjang, menciptakan dan memelihara nilai tambah produk dan jasa.
Good governance dan Keberlanjutan Dalam Pembangunan Berkelanjutan
Berkaitan dengan pembangunan berkelanjutan, satu elemen mendasar dari pembangunan berkelanjutan adalah sustainability atau keberlanjutan. Keberlanjutan dalam konteks ini diartikan 3 tema besar yaitu keberlanjutan secara lingkungan (environmental sustainability), keberlanjutan secara ekonomi (economic sustainability) dan keberlanjutan pembangunan manusia (human development sustainability). Good governance sesungguhnya mempunyai peran yang menonjol dalam pelaksanaan dan menjaga konsistensi pembangunan berkelanjutan. Peran good governance dalam konteks ini adalah sebagai guidence yang menjaga dan menautkan 3 elemen pembangunan berkelanjutan tersebut sehingga secara konsisten dapat dipantau, serta agar tetap dapat mencapai keberlanjutannya dalam 3 elemen tersebut, dimana 3 elemen tersebut adalah suatu hal yang tidak dapat terpisahkan antara satu dengan yang lain. Dapat dikatakan bahwa sesungguhnya good governance adalah irisan sinergitas dari 3 elemen keberlanjutan dalam pembangunan berkelanjutan.
Dalam keberlanjutan lingkungan, dengan dilaksanakannya tata kelola pemerintahan yang baik akan memastikan bahwa pelaksanaan pembangunan yang berorientasi lingkungan telah benar-benar dilakukan karena fungsi kontrol yang berlapis dan aspek partisipasi serta transparansi yang harus dilakukan. Adanya good governance seharusnya dapat memastikan bahwa praktek-praktek perlindungan dan preservasi lingkungan telah dilakukan dan direncanakan secara baik. Seperti diketahui dengan kondisi politik yang ada diIndonesia, tingkat kerusakan lingkungan di Indonesia adalah sangat tinggi. Pengelolaan sumber daya alam yang tidak sempurna, tumpang tindih peraturan, dan konflik antar aktor semakin memperparah kondisi lingkungan Indonesia. Dengan adanya good governance ini praktek pengelolaaan lingkungan dapat dipastikan konsistensinya. Misalnya dalam kaca mata pandang pemerintah, good governance akan lebih banyak memainkan perannya sebagai regulator dengan bagaimana pemerintah dapat menyediakan kebijakan yang melindungi keberadaan lingkungan kita. Selain itu pemerintah dilain sisi juga dapat berfungsi sebagai kontrol bagi pihak korporasi yang melakukan pengelolaan sumber daya alam.
Keberlanjutan ekonomi kaitan dengan good governance lebih kepada bagaimana sesungguhnya good governance berperan sebagai acuan bagi dunia usaha atau korporasi bekerja selain untuk mendapatkan keuntungan, juga bagaimana dapat memberikan manfaat bagi masyarakat yang lebih luas. Keberlanjutan ekonomi dalam hal ini akan berkaitan bagaimana sesungguhnya kita, sebagai manusia dapat berusaha dengan baik untuk mengusahakan alam demi kesejahteraan manusia tanpa melupakan aspek lingkungan demi generasi masa depan. Berusaha mengelola alam tanpa melupakan generasi masa depan. Good governance dalam hal ini sesungguhnya hanya berfungsi sebagai guidence seperti apakah praktek-praktek berusaha yang baik dalam kerangka pembangunan berkelanjutan, baik secara internal (operasional korporasi) dan eksternal (hubungan dengan stakeholder lain). Dengan menjalankan prinsip-prinsip yang ada dalam good governance diharapkan dunia usaha dapat memberikan kontribusinya kepada pembangunan berkelanjutan secara utuh.
Dalam pembangunan berkelanjutan, elemen keberlanjutan pembangunan manusia bukanlah dianggap sebagai elemen yang lemah dibandingkan dengan elemen yang lain, elemen keberlanjutan lingkungan atau ekonomi. Pencapaian keberlanjutan pembangunan manusia adalah kesejahteraan manusia yang dapat mengembangkan kemampuan manusia untuk berusaha, berkreasi dan berinovasi sesuai dengan kemampuannya tanpa keterbatasan lingkungan yang dimiliki. Oleh karena itu pencapaian elemen keberlanjutan pembangunan manusia adalah tujuan yang tidak dapat dicapai tanpa adanya sinergis antara keberlanjutan lingkungan dan ekonomi. Peran good governance dalam hal ini adalah bagaimana memastikan bahwa pembangunan manusia yang diharapkan tersebut sesuai dengan apa yang menjadi tujuan utama dari pembangunan berkelanjutan. Dengan prinsip-prinsip yang ada dalam good governance akan memastikan pemerintah, korporasi, dan masyarakat sipil melakukan pekerjaannya secara benar.
Kesimpulan
Good governance dalam konteks pembangunan berkelanjutan dapat dilihat sebagai suatu upaya sinergis yang memadukan pembangunan lingkungan, manusia dan ekonomi. Dengan melaksanakan prinsip-prinsip yang ada didalamnya memungkinkan 3 aktor dalam pembangunan berkelanjutan yaitu pemerintah, korporasi, dan masyarakat sipil dapat saling menjaga dan berpatisipasi proses yang sedang dilakukan. Good governance kemudian akan berfungsi sebagai elemen yang memadukan 3 aktor tersebut dalam satu wadah dan tujuan yang sama. Tanpa good governance akan sulit bagi masing-masing pihak untuk dapat saling berkontribusi dan saling mengawasi. Lebih lanjut dalam pandangan keberlanjutan yang ada pembangunan berkelanjutan, yaitu keberlanjutan lingkungan, ekonomi, dan pembangunan manusia, good governance menempatkan dirinya sebagai irisan sinergis yang mempertemukan 3 tautan keberlanjutan tersebut. Dengan adanya good governance, maka konsisten pencapaian keberlanjutan tersebut dapat diukur sesuai dengan prinsip-prinsip good governance yang telah dikemukakan sebelumnya. Good governance memberikan ruang bagi masing-masing stakeholder untuk saling melengkapi dan mempunyai fungsi kontrol antara satu dan lainnya.
mas,boleh tau sumber-sumbernya tidak?
Terimakasih ya
Salam blogger