Adi Prasetijo
Pendahuluan
Perbedaan adalah suatu konsekuansi logis yang muncul dalam setiap masyarakat yang bertipe masyarakat majemuk, seperti masyarakat Indonesia. Perbedaan bisa muncul dimana saja. Seperti misalnya perbedaan akan intertepretasi atas suatu gejala sosial yang sama oleh kelompok atau golongan yang berbeda adalah hal yang lumrah dalam masyarakat majemuk. Perbedaan interpretasi tersebut bisa terjadi karena setiap kelompok dan golongan masyarakat mempunyai nilai-nilai dalam kebudayaannya sendiri sebagai acuannya dalam menginterpretasikan atas sesuatu. Ia mempunyai kebenarannya sendiri dalam menginterpretasikan suatu gejala atau simbol yang dilihatnya. Sudah barang tentu perbedaan dalam masyarakat majemuk seperti ini akan membawa efek pada hubungan relasional manusia, tidak saja ditingkat antar individu tetapi juga ditingkat hubungan antar kelompok dan golongan yang berbeda.
Dari perbedaan tersebut, selalu ada kemungkinan konflik muncul dalam berbagai bentuknya. Perbedaan memang tidak dapat kita hindari keberadaannya. Namun perbedaan dapat kita sikapi keberadaannya. Bagaimana kita menyikapi perbedaan tersebut secara tidak langsung akan mencerminkan pula bagaimana kita memandang konflik yang sesungguhnya. Tidak dipungkiri memang dalam masyarakat majemuk yang penuh dengan perbedaan, membuat proses rekontruksi hubungan antar pihak yang bertikai menjadi lebih sulit. Biasanya akar konflik dalam masyarakat seperti ini mempunyai akar konflik yang dalam dan berjalin dengan prasangka dan stereotype yang mendarahdaging. Penyelesaian konflik seperti ini membutuhkan proses yang panjang, membutuhkan komitmen jangka panjang, dan dalam cara pandang yang berkesinambungan. Dalam hal ini menurut Lederach (1999,24), perlu adanya framework kuat yang dapat mengagendakan pemulihan relasional dalam rekonsiliasi sebagai komponen penting dalam program peacebuilding.
Interaksi Sosial dan Hubungan Antar Kekuatan
Interaksi sosial sendiri dapat dipahami sebagai perilaku sosial dimana masing-masing individu melakukan saling komunikasi dan saling menanggapi perilaku masing-masing. Dalam berkomunikasi para pelaku sebenarnya melakukan pertukaran pesan melalui perilaku yang ditampakkannya. Melalui perilaku tersebut seseorang akan memberikan maknanya atas pesan yang diberikan (Porter & Samovar 2000:13). Komunikasi dapat berupa perilaku verbal dan non-verbal. Perilaku verbal bermakna perilaku yang berkaitan dengan tindakan yang menghasilkan tuturan dan teks-teks bahasa. Sedangkan perilaku non-verbal berkaitan dengan perilaku yang menghasilkan gerak isyarat tertentu (gesture), ekspresi tubuh dan pengelolaan tanda-tanda dan simbol (Barfield 1997:324).
Dalam melakukan interaksi sosial, individu-individu yang terlibat di dalamnya menggunakan pengetahuan, aturan, nilai dan norma yang dipakainya untuk memahami interaksi sosial yang terjadi. Pengetahuan, aturan, nilai dan norma yang dipakai untuk memahami interaksi sosial dikatakan sebagai struktur sosial. Artinya bahwa, seseorang akan mengetahui posisinya dalam rangka melakukan hubungan dengan individu lainnya dengan memakai pengetahuan, aturan, nilai serta norma yang ada, sehingga seseorang dapat melakukan komunikasi dengan baik ketika individu yang terlibat di dalamnya dapat menempatkan dirinya pada kedudukan (status) tertentu dalam hubungan yang terjadi sehingga dapat mewujudkan peranannya sesuai dengan status yang disandangnya dalam interaksi sosial yang terjadi.
Interaksi sosial sendiri memang mewujudkan dirinya dalam suatu struktur sosial karena ia melibatkan hubungan antar posisi atau kedudukan seseorang berdasarkan peranannya dalam masyarakat. Struktur sosial disini oleh penulis pahami sebagai suatu pola hubungan dari hak dan kewajiban para pelaku dalam suatu sistem hubungan yang terwujud dari rangkaian-rangkaian hubungan sosial yang relatif stabil dalam suatu jangka waktu tertentu. Hak dan kewajiban para pelaku tersebut dikaitkan dengan status dan peranan yang bersumber pada sistem penggolongan yang ada dalam kebudayaan masyarakat yang bersangkutan, yang berlaku menurut masing-masing pranata dan situasi sosial dimana hubungan sosial itu terwujud. Sebuah situasi sosial terdiri dari atas serangkaian aturan-aturan yang mengatur pengolongan para pelakunya berdasarkan status dan peranan yang dimainkannya dimana ia akan membatasi tindakan yang seharusnya boleh dan tidak boleh dilakukan. Situasi sosial biasanya menempati suatu ruang atau wilayah tertentu yang khususnya untuk situasi sosial tertentu (Suparlan 1982:50). Bisa jadi corak atau sifat struktur sosial masyarakat juga beranekaragam. Penentuan corak struktur sosial tersebut berdasarkan pada corak dari pranata-pranata sosial yang ada di dalamnya dimana pranata-pranata tersebut terwujud sebagai serangkaian norma-norma yang menjadi tradisi yang digunakan untuk mengatur aktivitas para anggota kelompoknya. Sehingga dengan demikian bisa saja bentuk struktur sosial tersebut bersumber pada dan ditentukan coraknya oleh sistem kekerabatan, sistem ekonomi, sistem pelapisan sosial, dan sebagainya. Atau juga merupakan kombinasi dari berbagai pranata tersebut (Suparlan 1982:53).
Sebagai suatu struktur sosial dimana didalamnya terdapat hubungan antar status berdasarkan peranannya, seseorang akan selalu berusaha memperbesar peranannya dalam masyarakat. Semakin besar peranan seseorang dalam masyarakatnya, semakin tinggi pula status sosialnya dimata masyarakat yang bersangkutan. Status sendiri dibedakan dalam 2 kategori yaitu status yang diperoleh sejak lahir (askriptif) seperti dan status yang diperoleh atau dicapai seseorang karena tindakannya (achieved). Pendefinisian status dan peranan seseorang dalam struktur sosial tersebut berdasarkan pada sistem penggolongan yang ada dalam kebudayaan masyarakat yang bersangkutan dan berdasarkan masing-masing pranata serta situasi sosial yang terwujud dalam hubungan.
Untuk memperbesar peranan seseorang dalam masyarakat, ia harus mempunyai kekuatan yang dapat mempengaruhi orang-orang lain disekitarnya. Kekuatan disini dapat diartikan sebagai suatu kemampuan dari individu, atau anggota dari kelompok tertentu dalam rangka untuk mencapai tujuan tertentu dengan cara mempengaruhi orang lain untuk mengikuti kehendaknya dimana kekuatan sendiri merupakan suatu aspek yang meresap dalam hubungan sosial antara manusia. Meresap dalam artian bahwa ia dinilai oleh Olsen akan selalu ada dalam suatu tindakan sosial karena Olsen sendiri mengidentifikasikan tindakan sosial sebagai suatu tindakan pengoperasian kekuatan. Dengan demikian maka dalam setiap hubungan sosial akan dapat dipahami sebagai upaya masing-masing individu atau pihak untuk selalu berusaha mensejajarkan dan menyeimbangkan kekuatan yang dipunyainya dengan orang lain (Olsen 1970:2-3).
Dengan mempunyai kekuatan yang besar seseorang akan dapat mempengaruhi orang lain agar melakukan sesuatu sesuai dengan kehendaknya atau memihaknya sehingga ia mempunyai peranan yang cukup dalam masyarakat. Dengan peranan yang cukup tersebut maka secara sosial, status sosialnya akan meningkat. Lambat laun ia kemudian dapat mempengaruhi struktur sosial yang ada dalam masyarakat tersebut. Seseorang akan mendapatkan kehormatan (honour) sesuai dengan statusnya. Kekuatan akan didapatkan oleh seseorang apabila dapat menguasai sumber-sumber daya yang dinilai strategis. Menurut Olsen ada 2 kategori sumber-sumber daya strategis tersebut yaitu sumber-sumber daya yang dapat dilihat sebagai material yang tangible seperti uang dan bahan-bahan materi yang dimiliki, dan material yang intagible atau sesuatu yang sifatnya tidak terlihat seperti misalnya pengetahuan, keahlian, legitimasi, dan kesatuan organisasi (Olsen 1970:4).
Dengan interaksi sosial yang selalu terjalin dengan hubungan antar kekuatan yang menyelimutinya maka tidak mengherankan jika potensi konflik akan selalu ada. Permasalahan akan menjadi semakin rumit apabila kita melihat latar belakang masyarakat Indonesia yang majemuk dimana perbedaan etnis, agama, dan kelompok menjadi sangat kental. Oleh sebab itu seperti apa yang dikatakan oleh Lederach, proses rekonsiliasi pada masa post konflik terhadap pihak-pihak yang bertikai/berkonflik dalam masayarakat seperti akan lebih sulit dan membutuhkan waktu yang lama dalam meretas kembali hubungan tersebut. Sebab ia akan selalu berkaitan dengan akar konflik yang begitu dalam, yang melibatkan stereotype dan prasangka antar kelompok begitu dalam dan mendarah daging.
Rekonsiliasi Tidak Sekedar Memperbaiki Hubungan Yang Retak
Rekonsiliasi tidak hanya berbicara tentang bagaimana membangun hubungan yang telah retak akibat konflik, tetapi ia juga berbicara tentang suatu konsep dan praxis yang mencoba untuk mengkerangkakan kembali makna dari konflik secara positif. CRS (Catholic Relief Services) misalnya , mengartikan rekonsiliasi adalah sebagai berikut:
Refers to restoring right relationships between people who have been alienated and separated from each other during conflict. Reconciliation occurs not only in relationships, but also at the spiritual, personal, social, structural and ecological levels. (Mengacu kepada membangun kembali hubungan antar manusia yang teralienasikan dan terpisah antaranya selama konflik berlangsung. Rekonsiliasi terjadi tidak hanya dalam hubungan, tetapi juga pada tingkat spiritual, sosial, struktural, dan ekologikal)
Jika kita melihat lagi dari apa yang telah diungkapkan diatas maka kita dapat menyimpulkan bahwa rekonsiliasi adalah sesungguhnya difokuskan kepada bagaimana membangun kembali hubungan yang telah rusak akibat dari konflik.
Dimensi relasional akan menghubungkan kita dengan aspek emosional dan psikologis seseorang dan kelompok atas kelompok yang lainnya. Selain itu ia akan selalu menghubungkan kita dengan kebutuhan akan pengakuan atas apa yang telah terjadi di masa lampau, mengorek kesalahan masa lampau dan meminta pengakuan atas kesalahan yang telah diperbuat. Namun rekonsiliasi juga bagaimana kita dapat mengeksplorasi masa depan bersama yang lebih baik. Rekonsiliasi adalah sebuah locus, yang menciptakan ruang yang dapat mempertemukan pihak-pihak yang berbeda, mempertemukan segala energi yang ada, dan semua paradox dari kebenaran dan welas asih, keadilan, dan perdamaian akan bertemu.
Lederach berasumsi bahwa rekonsiliasi relasional antar pihak berkonflik yang sifatnya berkesinambungan dalam konteks masyarakat yang sudah terpecah belah karena konflik atau pertikaian (divided society) adalah suatu keharusan yang mutlak untuk dilakukan ketika suatu masyarakat ingin meninggalkan masa lampaunya, menuju masa depan yang damai. Dengan meninggalkan sejarah masa lampau akan kebencian, kemarahan, dan kekerasan, akan dapat memberikan energi baru dalam membangun masa depan yang lebih baik. Dan tentu saja rekonsiliasi haruslah sesuatu yang sifatnya berkesinambungan, agar dapat menjamin kelangsungan proses pembangunan dapat berjalan lancar tanpa terganggu konflik-konflik yang muncul kemudian.
Ada 3 asumsi penting yang mendasari mengapa rekonsiliasi yang sifatnya berkesinambungan penting untuk dilakukan. Pertama adalah hubungan antar manusia (relationship) sesungguhnya adalah dasar dari permasalahan konflik dan pemulihan hubungan jalinan antar manusia yang baik adalah suatu solusi jangka panjang. Hubungan antar manusia yang baik adalah suatu focal point dalam membangun dialog yang berkesinambungan. Yang kedua adalah rekonsiliasi haruslah dapat menemukan ruang untuk mengagendakan masa lampau tanpa harus kita terkunci dan terikat pada masa lampau itu sendiri, yang penuh dengan kemarahan, ketakutan, kebencian, dan kekerasan. Artinya bahwa memahami masa lampau adalah suatu proses yang cukup penting dalam mengetahui dan memahami apa yang sebenarnya telah terjadi. Namun disisi yang lain, kita jangan sampai terikat pada masa lampau itu sendiri. Kita harus dapat maju bergerak ke depan. Rekonsiliasi haruslah dapat memberikan ruang yang cukup untuk dapat memahami situasi masa lampau dan mencoba untuk memvisikan masa depan yang damai, dimana keduanya menjadi bahan untuk dalam pengkerangkakan masa kini. Agar ini dapat menjadi nyata, manusia harus siap untuk menghadapi, memahami dan memaafkan dirinya dan musuhnya, serta mempertemukan harapan dan ketakutan mereka sendiri. Dalam konteks ini, bisa kita sebut bahwa rekonsiliasi adalah suatu titik dimana masa lampau dan masa depan dapat bertemu. Dan yang ketiga adalah rekonsiliasi selalu membutuhkan suatu cara pandang yang dapat melihat permasalahan utama dari sisi luar tradisi politik internasional yang ada, wacana yang berkembang, dan operasional atau usaha-usaha yang telah ada, agar dapat menemukan suatu inovasi baru dalam upaya rekonsiliasi. Perdamaian selalu membutuhkan upaya-upaya kreatif yang inovatif dalam menyelesaikan konflik-konflik yang terjadi, seiring dengan berkembangnya jenis dan isu konflik yang ada dalam pusaran global, regional, dan berimbas pada lokalitasnya. Demikian pula dengan upaya rekonsiliasi. Rekonsiliasi perlu upaya-upaya baru yang inovatif dalam memulihkan dan mengembangkan relasional antar pihak yang bertikai sesuai dengn konteksnya. Kita tidak dapat menyamakan suatu upaya rekonsiliasi yang berhasil dalam satu daerah ke daerah yang lain, tanpa memperhatikan konteksnya secara jelas.
Elemen-elemen dalam Rekonsiliasi
Sebagai suatu representasi dari ruang sosial, rekonsiliasi tidak hanya mempertemukan pihak yang saling benci, namun ia juga menurut Lederach (1999,29) adalah suatu tempat yang didalamnya kebenaran (truth), sifat welas asih manusia (mercy), keadilan (justice), dan damai (peace) dapat bertemu dan bersatu secara bersama. Lebih lanjut menurutnya, sebuah rekonsiliasi yang sejati setidaknya akan tercapai jika mengandung syarat-syarat akan (1) kebenaran (truth) yang didalamnya terdapat pengakuan, transparansi, pengungkapan, dan klarifikasi atas suatu kebenaran; (2) adanya sifat welas asih (mercy) yang mana didalamnya terdapat unsur penerimaan, pengampunan, dukungan, keharusan, dan penyembuhan; (3) perdamaian dimana didalamnya terdapat unsur harmoni, kesatuan, kesejahteraan, keamanan, dan penghargaan, dan yang terakhir adalah adanya syarat (4) keadilan yang mana didalamnya terdapat unsur kesetaraan, pemulihan hubungan atas dasar hak-hak yang dimiliki seseorang, memulihan segala sesuatunya sesuai dengan hak-hak dan kewajibannya, dan adanya restitusi atau pengembalian hak-hak masing-masing individu.
Dalam hal ini jika kita berbicara tentang rekonsiliasi, maka ada tercakup didalamnya 2 elemen penting didalamnya, yaitu rekonsiliasi sebagai sebuah fokus dan rekonsiliasi sebagai sebuah locus. Sebagai sebuah fokus, rekonsiliasi dapat dipandang sebagai suatu prespektif yang dibangun dan diarahkan dalam memperbaiki atau memulihkan aspek relasional yang ada dalam suatu konflik. Hampir dapat dipastikan bahwa jika konflik terjadi, maka bangunan relasional baik antar individu, antar kelompok, maupun antar pihak akan terganggu. Rekonsiliasi berkaitan dengan ini dapat dipahami dipahami sebagai suatu prespektif yang secara sengaja dibangun bagaimana mengagendakan itu semua. Selain itu sebagai sebuah fokus, rekonsiliasi dapat dipahami juga sebagai suatu paradox yang mencoba mempertemukan kontradiksi yang ada, semisal bagaimana mempertemukan sisi-sisi yang negatif dari dampak yang ditimbulkan oleh konflik (benci, amarah, dendam, dll) dengan sisi-sisi positif dari sebuah pengharapan masa depan atas semua pelajaran yang diterima dari sebuah konflik yang terjadi (harapan baru, semangat akan perubahan, dll). Sebagai sebuah locus, kita dapat menyebut rekonsiliasi sebagai suatu gejala sosial, yang mana ia merepresentasikan suatu ruang, ruang atau tempat atas bertemunya pihak-pihak yang berkonflik. Rekonsiliasi haruslah dapat proaktif dalam menciptakan peluang-peluang yang kreatif dan inovatif, dimana para pihak yang berkonflik dapat memfokuskan bagaimana membangun hubungan relasional mereka agar dapat lebih baik dan berkesinambungan. Dan tentunya bagaimana dapat membagi pandangan, perasaan, dan pengalaman antar mereka, dengan tujuan menciptakan suatu pemikiran baru atas interpretasi hubungan mereka dulu yang penuh dengan kekerasan dan sisi negatif menjadi hubungan yang lebih konstruktif.
Sumber :
John Paul Lederach, Building Peace: Sustainable Reconciliation in Divided Societies, 1999
Caritas Internationalis, Working for Reconciliation; A Caritas Handbook, Caritas International, Vatican City. 1999
Caritas International, Peacebuilding: Caritas Training Manual
Simon Fisher, dkk, Mengelola Konflik: Ketrampilan dan Strategi Untuk Bertindak, British Council, 2000
terimakasih mas Adi
sangat membantu.
sama sama mas, semoga membantu
ijin unduh mas
Mas Adi bisa minta info referensi buku mengenai teori Rekonsiliasinya? Salam
Cari-cari bukunya dan artikel yang ditulis oleh John Paul Lederach, atau ‘Do No Harm” oleh Mary Anderson
Buku John Paul Lederach tersebut apakah sudah ada yg diterjamahkan ke Indonesia mas? Buat referensi tesis saya ini soalnya, salam.
Sepertinya sudah ada yang diterjemahkan oleh pusat perdamaian Universitas Duta Wacana
Terimakasih banyak..
Materinya sangat bermanfaat sekali..
Tuhan memberkati.