Ini datang dari pengalaman saya beberapa hari ini. Refleksi ini datang tanpa sengaja, membuat saya mengingat kembali masa-masa bersekolahdasar dulu. Ceritanya melalui FB (thanks to FB), saya terkoneksikan dengan seorang teman lama ketika masa SD dahulu. SD..Ya SD. Coba bayangkan, sudah beberapa tahun lamanya terpisah. Perbincangan dengan teman itu membuat saya mencoba banyak-banyak mengingat apa saja yang terjadi ketika itu, juga apa yang saya rasakan ketika itu. Terus terang, sejak saya lulus SD dan pindah ke smp, hubungan dengan sekolah dasar tempat saya belajar seakan telah putus. SD tempat saya adalah sekolah dasar katolik. Karena alasan mutu, begitu kata orang tua saya, saya dan adik disekolahkan ke TK dan SD katolik, meskipun kami sendiri beragama Islam. SD tempat saya sekolah adalah sekolah katolik yang tumbuh dari pengalaman tradisi kedisiplinan katolik yang tinggi. Betapa tidak, SD tempat saya sekolah adalah sekolah praktek untuk kakak-kakak sekolah guru yang ada dalam kompleks itu juga. Sekolah saya memang berada dalam satu kompleks dengan SPG (Sekolah Pendidikan Guru), tempat tinggal para pastor & Romo, dan satu sekolah SMP. Bisa dibayangkan ramenya ketika semua ketemu dalam satu ruang. Untungnya kita memang tidak pernah ketemu dalam satu ruang. Dengan menjadi sekolah praktek, guru-gurunya sangat disiplin dalam mengajar. Kita diajarkan untuk bertanggungjawab atas diri kita sendiri. Jika kita tidak membawa pinsil, seharian penuh kita hari itu nggak bisa nulis. Meminjam itu haram !!!. Pernah saya mengalaminya dan habis sudah daya ingat saya untuk mengingat-mengingat pelajaran hari itu.

Namun ada yang menarik, selain kedisiplinan yang saya temui. Memang mayoritas disekolah saya anak-anaknya beretnis Tionghoa ketika itu. Etnis jawa seperti saya jadi minoritas. Tetapi kita memang tidak pernah dibeda-bedakan secara etnis. Mayoritas teman-teman saya beragama katolik. Saya beragama Islam. Jadi lengkap juga pengalaman saya jadi kelompok minoritas. Namun sayapun tidak pernah merasa jadi minoritas atau dibedakan. Semua sama. Saya belajar banyak mengenal perbedaan ketika itu. Bagaimana misalnya dikampung, saya dipanggil-panggil dengan singkek ireng (singkek sebutan untuk orang tionghoa), padahal saya asli orang jawa. Saya selalu menolak dan marah disebut singkek, selain bukan orang Tionghoa, istilah singkek juga punya konotasi negatif. Dan memang saya ingat ketika thn 80’an di jawa timur, setidaknya di Malang, banyak tumbuh sentimen negatif kepada orang-orang Tionghoa. Banyak tumbuh gang anti Cina pada saat itu. Misalnya RAC – Remaja Anti Cina. Disurabayapun perasaan sentimen anti tionghoa juga berkembang. Sempat pernah saya dengar ada razia anti Cina ketika itu. Saya ingat karena ibu saya melarang saudara saya di malang untuk ke surabaya karena wajahnya yang mirip dengan orang Tionghoa. Jangankan seperti. Ibu saya sendiri meskipun menyekolahkan saya di SD Katolik yang mayoritas anak-anaknya orang Tionghoa pernah berkat – Ntar kamu kalau besar jangan kawin dengan orang Cina ya. Namun untungnya disekolah saya berlaku dan diperlakukan sama.

Pengalaman bersekolah dengan banyak orang yang mempunyai latar belakang yang berbeda secara tidak sadar telah membentuk saya untuk dapat bertoleransi dengan banyak perbedaan. Saya rasakan betul bagaimana saya lebih terbuka memandang perbedaan daripada teman-teman dan lingkungan saya berada. Ini membuktikan sebenarnya bahwa toleransi adalah bukanlah sesuatu yang perlu diajarkan dimuka kelas. Toleransi akan perbedaan sesuatu yang harus dicontoh dari teladan-teladan tindakan dan perbuatan yang ada disekitar lingkungan kita. Saya sadari ternyata perlakuan tanpa beda-beda dan interaksi yang kita bangun ketika sekolah dengan teman-teman membuat saya paham akan toleransi atas perbedaan. Pendidikan budi pekerti ataupun multikultural tidak akan ada artinya jika hanya diajarkan dimuka kelas tanpa panduan tindakan atau contoh disekolah atau didalam keluarga kita.

Jadi sudahkah anda dan keluarga telah menyontohkan toleransi perbedaan dikeluarga dan lingkungan anda ?