20 Oktober 1928. Tahun itu anak-anak muda kita berbicara tentang menjadi Indonesia. Menjadi Indonesia. Menjadi Indonesia bagi saya adalah bagaimana kita menjaga identitas atau jati diri kita sebagai Indonesia. Identitas atau jati diri sesungguhnya berkaitan dengan sebuah konsep pengakuan diri berdasarkan ciri-ciri yang melekat pada diri seseorang baik dalam tingkatan personal maupun kelompok, dimana berdasarkan ciri-ciri tersebut ia dapat menggolongkan dirinya dalam suatu kelompok tertentu yang dianggap mempunyai ciri-ciri yang sama. Identitas atau jati diri berhubungan dengan salah satu kebutuhan dasar manusia secara social yaitu kebutuhan untuk menunjukkan dan mendapatkan pengakuan atas identitas dirinya serta keberadaannya. Identitas akan muncul dan ada didalam hubungan sosial dimana dalam hubungan tersebut manusia membutuhkan suatu pengakuan diri atas keberadaannya.
Dalam konteks hubungan antar bangsa, “menjadi Indonesia” akan muncul dan dikenali dari atribut-atribut yang dikenakannya. Atribut-atribut tersebut muncul dalam lingkup kebudayaan bangsa Indonesia dimana dia akan membawa atribut atau ciri-cirinya sendiri. Pada saat ini sebagian orang Indonesia beranggapan Bangsa Indonesia telah mengalami kemunduran dalam identitasnya, bahkan banyak yang menyatakan diri malu mengaku sebagai Bangsa Indonesia. Apalagi jika dihadapkan pada berbagai permasalahan bangsa seperti korupsi, terorisme, TKI, kasus HAM, dan macam-macam. Hal tersebut dapat dianggap sebagai sebuah kritik yang bersifat mengingatkan perlunya Bangsa Indonesia membangun kembali identitas bangsa dan menguatkan sifat nasionalisme, apalagi dalam masa global saat ini.
Menurut saya masalah identitas ini menjadi menarik ketika muncul fenomena semakin menguatnya identitas-identitas kelokalan yang mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia. Maksud saya tentang identitas kelokalan adalah identitas-identitas yang membentuk dirinya dalam identitas yang sifatnya partial dan lebih kepada kesamaan-kesamaan yang dibangun bersama pada entitas yang sama. Identitas ini disebut sebagai identitas social kolektif yang mencakup dalam homogenitas (kesamaan) actor-aktor yang disatukan didalamnya. Identitas social kolektif ini menjadi semakin kuat dan tidak terkendali manakala dalam wacana politik demokrasi, posisi negara dalam keadaan dan posisi yang lemah. Hal ini juga terkait dengan kekuatan infrastruktur demokrasi negara dimana batas-batas social identitas kolektif tersebut ditentukan dan dijaga. Dalam konteks demokrasi, pemerintah mempunyai peran untuk mengatur dan mengelola idenditas-identitas sosial kolektif tersebut dalam koridor hukum dan peraturan yang berlaku, sehingga tidak mengherankan jika dalam wacana politik dimana pemerintah dianggap lemah dan merosot kewibawaannya, maka posisi identitas social kolektif akan semakin menguat dan mendapatkan tempatnya, dan lalu kemudian identitas nasional akan menjadi semakin memudar. Simak saja identitas kelompok-kelompok Islam semacam FPI yang semakin brutal saja. Mengalahkan peran negara dalam menertibkan rakyatnya. Atau FBR, identitas kolektif kesukuan yang semakin subur saja.
Lalu apa kaitannya antara identitas sosial kolektif dan nasionalisme kita ? Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia. Ikatan nasionalisme tumbuh saat manusia mulai hidup bersama dalam suatu wilayah tertentu dan tak beranjak dari wilayah tersebut. Saat itu, naluri mempertahankan diri dari jajahan negari asing (baca penjajahan) sangat berperan dan mendorong mereka untuk mempertahankan negerinya, tempatnya hidup dan menggantungkan diri. Dari sinilah cikal bakal tumbuhnya ikatan ini. Nasionalisme berkembang seiring perkembangan masyarakat mulai dari tahap tradisional ke masyarakat kolonial menuju masyarakat pascakolonial. Kenyataannya nasionalisme sekarang telah jauh berbeda. Secara historis, kelahiran masyarakat, bangsa, dan negara bangsa Indonesia yang mengiringi keberadaan nasionalisme pada hakikatnya telah melalui proses perkembangan panjang dan dinamis.Tumpuannya bukan lagi kepada ingin mempertahankan diri lagi tetapi haruslah beyond itu. Konsep nasionalisme kita lebih banyak dikaitkan dengan patriotisme – konsep cinta & pengabdian kepada negara. Dalam konsep nasionalisme negara, nasionalisme dipahami sebagai sesuatu yang seragam dan bersifat militeristik. Jadi kita dianggap nasionalis jika mau latihan perang, pake baju loreng, atau kita ambil bagian dalam gerakan “ganyang malaysia” seperti peristiwa kemarin. Jika kita bersuara tidak sama dengan negara atau orang kebanyakan, berarti kita dianggap tidak nasionalis.
Konsep pemerintah tentang nasionalisme menurut saya tertalu retoris. Artian dalam konteks nasionalis pancasila atau berdasarkan “katanya” nilai-nilai luhur bangsa atau apapun yang tidak membumi. Rumitnya nasionalisme yang dibangun telah dibangun oleh bangsa ini dalam konteks mempertahankan diri sebagai bangsa, menurut saya tidak dirawat dengan baik oleh negara. Ada gap menurut saya antara nasionalisme yang dibentuk oleh negara & nasionalisme yang muncul dimasyarakat. Dalam proses perkembangannya, diwarnai oleh berbagai perubahan dinamis baik ketegangan, konflik, penyesuaian, integrasi, maupun disintegrasi.Pembangunan yang telah dilaksanakan selama lebih dari tiga dasawarsa juga telah menghasilkan banyak perubahan di dalam masyarakat. Pencapaian pertumbuhan ekonomi dari pembangunan yang diharapkan dapat menjadi penguat kebersamaan sebagai sebuah bangsa justru malah menjadi pemicu ketidapuasaan, bahkan cenderung menjadi separatisme. Hal tersebut disebabkan karena hasil pembangunan hanya dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat sehingga terjadi kesenjangan yang sangat besar antarkelompok, antarwilayah, antarregion dan antaretnis. Dengan reformasi atau otonomi daerah, pembagian kue pembangunan mempunyai efek semakin menguatnya identitas kedaerahan itu. Banyak contoh yang bisa diungkap. Misalnya kasus-kasus pemisahan kabupaten-kabupaten atau desa-desa bahkan propinsi baru, bukan atas dasar keinginan untuk pemerataan kesejahteraan namun karena alasan minoritas-mayoritas kelompok, baik itu agama atau etnis. Kenyataan tersebut sangat mengkhawatirkan, apalagi dikaitkan dengan derasnya arus informasi sebagai hasil kemajuan teknologi yang telah diraih. Arus informasi dominan cenderung sangat globalistik sehingga dapat meminimalisir peran negara (nation state) – stateless. Di lain pihak, derasnya informasi global menghasilkan situasi paradoksal dalam bentuk menguatnya ikatan-ikatan tradisional dan ikatan lokal sebagai wujud resistensi jati diri. Kondisi tersebut memposisikan ikatan kebangsaan dalam wujud nation state semakin terhimpit dalam ekstrimisme ikatan lokal dan ikatan global. Dalam konteks ini kadang nasionalisme kita sebagai bangsa sering dipertanyakan kemudian. Nasionalisme kita jadi nasionalisme sempit kelompok.
Pendekatan budaya dalam upaya mengukuhkan nasionalisme merupakan pilihan yang paling tepat menurut saya. Pendekatan budaya yang dimaksud adalah memaksimalkan kohesivitas kolektif lokal secara tepat sehingga dapat menjadi modal sosial untuk menjadi pengikat rasa kebersamaan sebagai bangsa dan sekaligus memperkuat ketahanan budaya nasional, dalam memperkuat nasionalisme. Bentuk nasionalismepun sekarang sudah semestinya jauh berkembang. Tidak lagi dengan upacara-upacara atau simbol-simbol miteristik namun harus dimaknai dengan tindakan yang memperkokoh ciri-ciri kita sebagai bangsa, baik dalam konteks nasional maupun lokal.
Nasionalisme Indonesia bagi saya adalah nasionalisme yang unik. Karena nasionalisme Indonesia sebenarnya bukan sekadar ideologi yang berangkat dari persamaan nasib, melainkan ideologi nasionalisme yang terbentuk dari proses integrasi karena kesadaran politik. Dan bisa itu karena proses pemaksaan. Bayangkan, tidak saja perbedaan etnis ataupun agama, tapi perbedaan kebudayaan dan ideologi. Nasionalisme Indonesia bagi saya harus peduli pada kenyataan akan adanya perbedaan dalam masyarakat Indonesia. Untuk itu harus dikembangkan saling memahami antara yang memimpin dan yang dipimpin, sehingga terdapat nasionalisme-kesetaraan, bukan nasionalisme dari atas atau nasionalisme bias lokal maupun nasionalisme bias nasional. Semuanya itu melebur dalam pemahaman, saling menghargai dan menghormati, saling peduli, dan saling mengubah dan menyesuaikan diri.Nasionalisme Bhinneka Tunggal Ika’lah yang kita butuhkan sekarang. Bukan nasionalisme semu.