Apa itu etnik ? Apa bedanya dengan ras atau kebudayaan ? Tulisan Barth tentang ethnic boundaries memang menakjubkan. Dari karya tulisan Barth, muncul banyak pertanyaan baru yang dahulu hanya berfokus pada isi kebudayaan saja. Tulisan tentang ethnic boundaries ditulis Barth tahun 1969. Ia memunculkan suatu analisa baru tentang kajian etnik ketika itu, ketika perdebatan antara peneliti primordialist dan instrumentalist berkutat pada apakah etnik itu masalah budaya “bawaan” sejak lahir atau masalah sosial politik.
Untuk paham siapa itu Fredrik Bath, silahkan klik link berikut:
Thomas Fredrik Weybye Barth
Berikut adalah summary saya tentang tulisan pengantar Barth, judulnya “Kelompok Etnik dan Batasannya: Tatanan Sosial dari Perbedaan Kebudayaan” Editor Fredrik Barth UI – Press, Jakarta, 1988. Buku ini diterjemahkan dari Ethnic Group and Boundaries, 1969.
PENDAHULUAN
Barth sebenarnya ingin membahas permasalahan yang dihadapi berbagai kelompok etnik dan daya bertahan mereka. Suatu tema besar yang banyak diabaikan oleh kalangan para antropologi sosial sebelumnya karena penalaran antropologi pada masa itu yang menyandarkan kepada alasan bahwa ragam budaya tidak bersifat melanjut (discontinuous), dan bahwa meskipun kondisi masyarakat beragam, tetap ada beberapa sifat budaya yang mirip sehingga selalu dapat dicari titik temu bagi perbedaan budaya antar kelompok.
Sebab budaya dilihat sebagai penggambaran (describe) perilaku manusia, sehingga kelompok-kelompok manusia yang mempunyai perilaku tertentu akan digolongkan dalam suatu unit kelompok etnik yang mempunyai sifat budaya tertentu. Mereka lebih banyak membahas perbedaan budaya etnik yang satu dengan etnik lain, lingkup sejarahnya, dan hubungan etnik yang satu dengan lainnya, tetapi permasalahan tumbuhnya berbagai kelompok etnik dan sifat ikatan budayanya jarang diteliti secara menyeluruh. Para antropolog sosial biasanya, menurut Barth akan menghindari permasalahan ini, dengan membuat konsep yang tersari (abstracted) tentang suatu masyarakat yang mencakup sistem sosialnya, dengan maksud agar kelompok-kelompok etnik yang kecil dapat dianalisa. Tetapi pemikiran ini akan mengakibatkan berbagai ciri empirik, batasan-batasan kelompok-kelompok etnik, dan teori yang melatarbelakangainya tidak pernah terungkap dengan jelas.
Pada waktu itu yang berkembang adalah asumsi bahwa suatu kelompok etnik akan mampu mempertahankan budayanya dengan cara tidak mengacuhkan kelompok etnik yang lain. Disebutkan oleh Barth bahwa setidaknya ada 2 faktor yang berkembang ketika itu yang dapat mempertahankan budaya suatu kelompok etnik. Yaitu faktor isolasi geografis dan isolasi sosial. Dari hasil kajian yang tertuang di tulisan-tulisan yang dieditori Barth ini terungkap bahwa ada 2 temuan yang memperlihatkan ketidaktepatan 2 faktor diatas. Yaitu karena: (1) Batas-batas budaya dapat bertahan meskipun kelompok-kelompok etnik tersebut saling berbaur. Atau bahwa adanya perbedaan antar etnik tidak ditentukan oleh tidak terjadinya pembauran, kontak dan pertukaran informasi, tetapi lebih kepada adanya proses-proses sosial yang berupa pemisahan dan penyatuan, sehingga perbedaan etnik tetap dipertahankan walaupun terjadi pertukaran peran dan keanggotaan diantara unit-unit tersebut. (2) Dapat ditemukannya interaksi sosial yang mantap, bertahan lama, dan penting antara 2 kelompok etnik yang berbeda, yang biasanya tejadi karena adanya status etnik yang terpecah dua. Sehingga dapat dikatakan bahwa ciri-ciri masing kelompk etnik bukan ditentukan oleh tidak adanya interaksi dan penerimaan sosialnya, tetapi berdasarkan terbentuknya sistem sosial tertentu dalam interaksi itu.
Permasalahan batas etnik ini memang memerlukan suatu pemikiran ulang dengan melakukan tidak saja pendekatan empirik, tetapi juga pendekatan yang sifatnya teoritis. Oleh Barth, diungkapkan bahwa seharusnya kita menyelidiki secara terperinci fakta-fakta empirik dari berbagi kasus, untuk kemudian menyelaraskan dengan konsep teoritisnya sehingga dapat dilakukan penafsiran yang tepat. Pendekatan teoritis utama yang menonjol dalam berbagai tulisan ini adalah: (a) Kelompok-kelompok etnik tersebut terbentuk karena adanya ciri yang ditentukan oleh kelompok itu sendiri, lalu kemudian membentuk pola tersendiri dalam proses interaksinya dengan sesamanya. (b) Melakukan penyelidikan tentang berbagai proses yang diperkirakan mempengaruhi pembentukan dan bertahannya berbagai kelompok etnik, sehingga dengan demikian para peneliti ini tidak melakukan kajian berdasrkan tipologi kelompok etnik dan hubungan antar kelompok. (c) Untuk dapat mengamati proses-proses tersebut diatas, kita harus mengalihkan sasaran dari penyelidikan perundangan dan sejarah masing kelompk etnik ke hal yang berkaitan dengan batas-batas etnik dan bertahannya etnik batas-batas ini.
Barth pada dasarnya setuju dengan kecenderungan antropolog pada masa itu yang melihat kelompok etnik sebagai suatu populasi yang: secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan, mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya, membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri, dan menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain. Sehingga kemudian definisi diatas merujuk kepada suku bangsa=budaya=bahasa; sedangkan masyarakat=suatu unit yang hidup terpisah dari unit lain. Yang dipersoalkan oleh Barth adalah kepada cara bagaimana definisi ini dirumuskan bukan kepada substansi ciri-cirinya. Karena menurutnya dengan cara definisi seperti ini maka akan tidak memungkinkan teramatinya fenomena-fenomena kelompok etnik secara menyeluruh dan posisi mereka dalam kehiduoan masyarakat dan budaya, sehingga akan menutup pertanyaan-pertanyaan kritis yang mengarah keragaman suku bangsa dan batas-batasnya. Ia melihat bahwa batas suku bangsa yang terjadi berdasarkan definisi diatas, hanya akan mampu menjawab perbedaan suku bangsa yang mengacu kepada perbedaan ras, perbedaan budaya, perbedaan sosial, dan perbedaan bahasa. Selain itu dengan memakai batas budaya ini, maka klasifikasi seseorang atau kelompok adalah termasuk dalam anggota suku bangsa tertentu tergantung dari bagaimana kemampuan seseorang atau kelompok tersebut menunjukan sifat budaya kelompok itu. Pemahaman ini juga berakibat pada pembatasan faktor yang membentuk keragaman budaya, sehingga kita berkesimpulan bahwa tiap-tiap kelompok etnik mengembangkan budaya dan bentuk sosialnya dalam kondisi terisolasi. Kondisi terisolasi ini terbentuk akibat faktor ekologi setempat yang menyebabkan berkembangnya kondisi adaptasi dan daya cipta dalam kelompok tersebut.
Kelompok Etnik Sebagai Unit Kebudayaan
Menurut Barth, kelompok etnik dapat disebut sebagai suatu unit kebudayaan karena kelompok etnik mempunyai ciri utama yang penting yaitu adalah kemampuan untuk berbagi sifat budaya yang sama. Dan ia berasumsi bahwa tiap kelompok etnik mempunyai ciri budayanya sendiri. Ada 2 hal pokok yang dapat dibahas dalam mengamati kelompok-kelompok etnik dengan ciri-ciri unit budayanya yang khusus ini, yaitu: kelanggengan unit-unit budaya ini dan faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya unit budaya itu
Ada beberapa implikasi ketika melihat kelompok etnik sebagai unit kebudayaan, yaitu (1) Klasifikasi individu atau kelompok tertentu, dinyatakan sebagai anggota suatu kelompok etnik tertentu tergantung dari kemampuannya untuk memperlihatkan sifat budaya kelompok etnik tersebut. (2) Bentuk-bentuk budaya yang tampak menunjukan adanya pengaruh ekologi, tetapi bukan berarti ini menunjukan bahwa semua itu hanya merupakan bentuk penyesuaian diri tehadap lingkungan semata-mata. Namun lebih tepat dikatakan bahwa bentuk budaya ini merupakan hasil penyesuaian para anggota kelompok etnik ketika berhadapan berbagai faktor luar. Seperti ketika suatu kelompok etnik yang tinggal tersebar di daerah yang mempunyai lingkungan ekologi bervariasi, akan memperlihatkan perilaku yang berbeda sesuai dengan daerah tinggalnya, tetapi tidak mencerminkan orientasi nilai budaya yang berbeda. Hal ini juga dapat memperlihatkan bahwa menentukan sifat budaya suatu kelompok jangan hanya dilihat dari bentuk tatanan budaya yang nampak saja, sebab yang nampak tersebut ditentukan juga oleh ekologi selain oleh budaya yang dibawanya. Sehingga tidak tepat pula untuk mengatakan bahwa setiap diversifikasi dalam kelompok etnik merupakan awal terjadinya perpecahan dari kelompok etnik yang ada.
Kelompok Etnik Sebagai suatu Tatanan
Barth melihat kelompok etnik lebih sebagai suatu tatanan sosial. Diungkapkannya bahwa selain ke 4 ciri yang diungkapkan oleh Narroll diatas yaitu: (1) secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan, (2) mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya, (3) membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri, (4) dan menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain, ada ciri khas lain yang sifatnya lebih mendasar yaitu ciri asal yang sifatnya kategoris (categorical ascription) ciri khas askriptif atau ciri asal yang didapatkan sejak lahir. Kelompok suku bangsa sebagai tatanan sosial akan terbentuk apabila seseorang menggunakan identitas suku bangsa dalam mengkategorikan dirinya dan orang lain demi tujuan interaksi.
Dalam kategorisasi etnik yang mempertimbangkan perbedaan budaya, kita tidak dapat membuat suatu asumsi interaksi antar kelompok etnik dengan membuat kesamaan dan perbedaan yang ada dalam kebudayaan masing kelompok-kelompok etnik tersebut secara sederhana. Sebenarnya titik perhatiannya bukanlah pada seberapa besar perbedaan kebudayaan kelompok etnik yang dinilai obyektif, tetapi lebih kepada perbedaan mana yang dinilai penting oleh si pelaku. Sehingga kadang dalam menandai perbedaan kelompok etnik tersebut, ada bentuk budaya yang ditonjolkan oleh si pelaku tetapi tak jarang pula ada bentuk budaya yang diabaikan oleh si pelaku secara radikal. Kadar (bentuk) budaya dari dikotomi etnik dapat dibedakan atas 2 macam, yaitu; tanda atau gejala yang nampak, seperti pakaian, bahasa, bentuk rumah, gaya hidup dll dan nilai-nilai dasar yang mengacu kepada standart moral dalam menilai dirinya sendiri dan kelompok lain.
Menurut Barth, kategorisasi kelompok etnik merupakan sarana pengelompokan yang mungkin mengandung kadar atau bentuk yang berbeda untuk berbagai sistem sosial-budaya yang berbeda.
Batas Sosial Kelompok Etnik
Perhatian utama dari penelitian dari sudut pandang batas kelompok etnik ini, merujuk kepada batas etnik yang mengacu kepada suatu batas kelompok, bukan pada sifat-sifat budaya yang ada di dalamnya. Batas-batas itu adalah batas-batas kelompok etnik yang ditekankan kepada batas-batas yang sifatnya sosial, walaupun tidak menutup pula untuk mengkaitkannya dengan batas wilayah. Batas sosial muncul ketika dalam interaksi sebuah kelompok etnik ingin mempertahankan identitasnya, sehingga memerlukan batas-batas dimana batas-batas tersebut berfungsi untuk membuat kriteria bagi penentuan keanggotaan seseorang atau kelompok dalam kelompok etniknya. Jadi kelompok etnik bukan semata-mata ditentukan oleh wilayah yang menjadi posisinya, tetapi oleh berbagai macam cara yang digunakan untuk mempertahankannya, dan dilakukan dengan cara pengungkapan dan pengukuhan yang sifatnya terus-menerus, dan dapat dipelajari. Atau semacam nilai yang menjadi aturan kesepakatan permainan yang diakui dan dilaksanakan bersama anggota kelompok etnik tersebut.
Usaha pelestarian batas etnik ada dalam situasi kontak sosial diantara orang-orang yang mempunyai budaya yang berbeda karena kelompok etnik yang dikenal sebagai unit kebudayaan memperlihatkan perilaku yang berbeda sehingga menimbulkan suatu perbedaan budaya. Dalam situasi kontak sosial tersebut, diharapkan perbedaan-perbedaan budaya itu dapat dikurangi karena interaksi memerlukan kesatuan tanda dan nilai, atau budaya umum yang menjadi kesepakatan bersama diantara mereka. Sehingga kemudian selain kelompok-kelompok etnik tersebut menetapkan kriteria untuk mengidentifikasikan batas-batas etnik, dalam interaksi terbentuk suatu struktur yang juga menetapkan perbedaan-perbedaan budaya. Menurut Barth, sifat tatanan struktur ini haruslah bersifat umum bagi semua hubungan etnik, dan merupakan seperangkat aturan yang sistematis untuk mengatur kontak sosial antar etnik. Pada akhirnya struktur interaksi yang ada dalam hubungan etnik akan menghasilkan suatu pola hubungan antar etnik yang bersifat mapan atau stabil. Struktur interaksi diartikan Barth sebagai perangkat ketentuan yang mengatur cara berhubungan dan memungkinkan adanya hubungan di beberapa bidang kegiatan, serta perangkat ketentuan tentang situasi sosial yang melarang adanya interaksi antar etnik di sektor lain. Dan semua kondisi ini akan mencegah terjadinya konfrontasi dan modifikasi budaya yang telah ada.
Sistem Sosial Masyarakat Plural
Sistem sosial masyarakat Plural atau disebut oleh Barth sebagai Polietnik adalah suatu konsep yang dikemukakan oleh Furnivall (1944) tentang masyarakat dari berbagai etnik yang terintegrasi dalam suatu tempat dan diatur oleh suatu sistem pemerintahan yang didominasi oleh satu kelompok etnik saja. Walaupun demikian, nampak adanya keragaman budaya dalam berbagai kegiatan keagamaan dan kegiatan rumah. Para antropolog tidak begitu dapat menerima pendefinisian ini dalam hal kemungkinan adanya berbagai macam hubungan, pemisahan, dan adanya sistem polietnik di dalamnya. Ternyata sistem polietnik seperti ini berpengaruh pula dalam bidang ekonomi (contohnya di Melanesia), terintegrasi dalam lingkungan perdagangan dan struktur politik feodal (contohnya di Asia Tenggara), atau menjadi sistem ekonomi pasar yang berciri politik integrasi yang polisentris (Asia Barat Daya), dan berpengaruh dalam bentuk ritual dan kerja sama produktif serta terintegrasi dalam sistem politik kasta yang pada akhirnya membentuk suatu keseragaman budaya (Misal di India). Ketika kita memasukan semua kondisi sosial yang diatas tersebut dalam suatu masyarakat yang majemuk, maka kita tidak akan dapat menemukan banyak hal. Sebab artikulasi dan pemisahan etnik dalam tingkat makro akan selalu berhubungan dengan hambatan/kendala yang ada dalam tingkat mikro. Dalam sistem polietnik seperti ini, terdapat prinsip bahwa seperangkat kendala dalam setiap peran akan dapat dipertimbangkan dan seseorang berhak memilih mitranya sendiri sesuai dengan kepentingannya dalam suatu transaksi.
Dalam sistem polietnik seperti ini, seseorang dapat memilih sendiri mitranya dalam setiap transaksi yang dibuatnya, tetapi dalam melakukan transaksi itu ia selalu terliputi oleh kondisi pemisahan dan artikulasi etnik dimana akan selalu dikaitkan dengan peran seseorang dalam masyarakat. Sehingga dengan demikian status, sebagai posisi atau kedudukan seseorang berdasarkan perannya dalam suatu struktur sosial, dianggap sebagai ciri etnik yang bernilai. Dengan demikian pula, status sesorang sebagai ciri etnik ini mampu mengatur konstelasi status yang dapat diakui sebagai kepribadian sosial yang ditemukan dalam diri seseorang dengan identitasnya. Identitas etnik seperti ini mirip dengan identitas seks dan kepangkatan, yang mempunyai pembatasan dalam setiap kegiatan yang dilakukan. Pembatasan ini bersifat imperatif atau penting, maksudnya adalah pembatasan yang ada tidak boleh dilanggar. Hambatan pada perilaku seseorang yang timbul dari identitas etnik seperti ini akan bersifat absolut, dan dalam masyarakat poetnik yang kompleks, hambatan ini lebih bersifat menyeluruh.
Hubungan Antara Identitas dan Standart Nilai
Barth melihat ada 2 syarat utama yang diperlukan agar perbedaan etnik dalam suatu daerah dapat terjadi, yaitu kategorisasi sektor populasi dalam kondisi yang eksklusif dan imperatif, dan adanya pemahaman bahwa ada standart nilai dari suatu kategori yang mungkin berbeda dengan standart nilai kategori yang lain. Makin besar perbedaan antara nilai standar ini, maka tingkat pembatasan hubungan antar kelompok etnik akan semakin tegas. Dengan demikian seseorang akan ditandai identitas etniknya berdasarkan perilaku yang mencirikan kategori yang menjadi nilai standar seseorang dalam menilai anggota kelompok etniknya dan kelompok etnik lain. Seorang anggota kelompok etnik akan selalu berusaha berperilaku sesuai dengan nilai standart yang menjadi identitas kelompok etniknya. Ia akan selalu berusaha untuk menghindari berperilaku menyimpang, sebab kuatir perilakunya akan merusak citra identitas yang dibangun bersama. Apabila seseorang melakukan penyimpangan atau melanggar nilai-nilai yang dipedomani bersama oleh anggota etnik, maka ia akan mendapatkan hukuman yang diterimanya tidak saja dari anggota kelompok etniknya tetapi juga dari kelompok etnik lain.
Ketergantungan Antar Kelompok-kelompok Etnik
Hubungan antar kelompok etnik diatur oleh sistem sosial yang luas dan tergantung pada sifat budaya masing-masing kelompok etnik yang saling melengkapi sehingga terwujud suatu ikatan yang positif diantara mereka. Kondisi sifat budaya yang saling melengkapi tersebut kemudian akan memunculkan suatu hubungan yang saling ketergantungan atau membentuk suatu kondisi yang simbiosis. Dalam kondisi saling ketergantungan ini, batas etnik kemudian diatur oleh kelompok etnik yang bersangkutan. Apabila nilai-nilai yang berhubungan dengan identitas etnik tidak begitu sesuai dengan kegiatannya, maka tatanan sosial yang terbentuk juga menjadi terbatas. Dalam sistem polietnik yang kompleks selalu mengikuti perbedaan nilai yang ada dan relevan, ditambah lagi dengan adanya batasan-batasan akibat kombinasi status dan partisipasi sosialnya. Dalam sistem yang demikian, mekanisme dalam mempertahankan batas etnik menjadi sangat efisien, sebab; (1) kompleksitas timbul berdasarkan adanya perbedaan budaya yang penting dan saling melengkapi, (2) perbedaan ini harus dibakukan secara umum dalam kelompok etnik yang bersangkutan, yaitu status sosial setiap anggota kelompok umumnya sama, sehingga interaksi antar etnik berlangsung atas dasar identitas masing-masing etnik, (3) ciri budaya tiap kelompok harus benar-benar stabil, sehingga perbedaan yang saling melengkapi yang menjadi dasar sistem itu dapat bertahan selama berlangsungnya kontak antar etnik. Apabila kondisi-kondisi ini dapat dipenuhi, maka kelompok-kelompok etnik dapat melakukan adaptasi yang stabil dan bersifat simbiosis.
Hubungan saling ketergantungan dapat pula dianalisis dari 2 sudut pandang, yaitu sudut pandang ekologi budaya (prespektif ekologi) dan prespektif demografi. Dari sudut pandang ekologi budaya, ada ketergantungan ekologi dalam suatu hubungan antar etnik yang pada umumnya mengikuti bentuk-bentuk: (a) masing-masing kelompok etnik menempati daerah dengan lingkungan alam yang tertentu, sehingga persaingan memperebutkan sumber daya terjadi secara minimal. Ketergantungan antara mereka tidak maksimal dan hubungan mereka biasanya berbentuk hubungan dagang, ritual dll, (b) masing-masing etnik menguasai daerah yang terpisah, dengan persaiangan dalam mendapatkan sumber daya, dan (c) masing-masing kelompok etnik tersebut saling menyediakan barang atau jasa serta tinggal di daerah yang berbeda dan saling menunjang. Ketiga bentuk kemungkinan tersebut diatas hanya berlaku pada kondisi dan suasana yang stabil. Ada kemungkinan bentuk ke 4, yaitu: dua kelompok atau berselang-seling bersaing dalam suatu daerah.
Dalam variabel prespektif demografi, bagi Barth merupakan sebagian dari cara memerikan adaptasi kelompok etnik. Selain memperhatikan pada struktur kualitatif dari daerah yang dihuni oleh suatu kelompok, kita juga memperhatikan jumlah dan keseimbangan dalam tingkat adaptasi. Karena suatu populasi sangat tergantung pada caranya memanfaatkan alam yang mereka tempati, maka tingkat adaptasinya dibatasi oleh kemampuan alam dimana populasi itu hidup (daya tampung), sehingga adaptasi yang stabil akan mengendalikan jumlah besarnya populasi. Ketika kemudian ada 2 etnik yang hidup secara simbiosis tergantung secara ekologi, maka variasi dari besarnya populasi salah satu kelompok etnik akan mempengaruhi populasi etnik yang lain. Oleh sebab itu dalam menganalisa sistem polietnik , kita harus dapat menjelasakan proses apakah yang mengakibatkan besar populasi masing-masing menjadi seimbang. Disebutkan olehnya bahwa selain ada faktor fertilitas dan moralitas, ternyata ada faktor perpindahan invidu atau kelompok ke kelompok lain, yang mempengaruhi keseimbangan jumlah populasi. Sehingga ketika dalam berbicara perpindahan individu atau kelompok ke kelompok lain, kita kan berbicara tentang serangkaian proses yang menyebabkan seseorang mengubah identitasnya dari kelompok yang satu ke kelompok yang lain.
Faktor-faktor yang berpengaruh dalam perubahan Identitas
Barth dalam contonya mengemukakan bahwa perubahan identitas dari masyarakat non-Yao menjadi yao terjadi karena adanya pembauran yang berhasil mulus. Dalam contohnya, sebenarnya ingin diperlihatkannya bahwa pembauran kelompok etnik ke kelompok etnik lainnya akan berhasil apabila adanya mekanisme budaya yang memungkinkan, dan adanya keuntungan-keuntungan yang diperoleh bagi orang-orang yang melakukan pembauran. Dalam kasus yang terjadi di masyarakat Darfur, Haaland memperlihatkan bahwa mereka, orang Fur mengubah identitasnya, dari kelompok etnik petani menjadi kelompok kelana peternak sapi seperti orang Arab, karena mereka melihat ada kesempatan ekonomi yang terbuka jika mereka menjadi kelompok kelana peternak sapi dibandingkan jikalau mereka tetap menjadi petani. Proses-proses yang ini mengakibatkan berpindahnya populasi melewati batas etnik ini akhirnya akan mempengaruhi pula keseimbangan demografi antara berbagai kelompok etnik. Untuk mempertahankan stabilitas demografi, maka kelompok-kelompok ini harus peka terhadap perubahan yang terjadi sebagai reaksi atas tekanan ekologi. Analisa berbagai faktor yang mempengaruhi keseimbangan ini merupakan bagian yang penting dalam analisis tentang hubungan antar etnik di suatu wilayah.
Bertahannya batas-batas budaya
Telah dijelaskan dalam bab-bab sebelumnya bahwa seseorang dapat berpindah identitas etniknya karena alasan-alasan yang bersifat ekonomi dan politik, tetapi tetap saja ia tidak dapat menjelaskan mengapa perubahan-perubahan yang mengarah ke perubahan identitas etnik tetap saja menyebabkan adanya kelompok-kelompok etnik yang terdikotomi. Dari contoh yang diberikan oleh Barth tentang suku Pathan, ia menjelaskan bahwa ada dasar identifikasi diri (self-identification) sebagai kriteria identitas etnik yang menyebabkan seseorang dapat menjadi anggota kelompok etnik lain, sesuai dengan tuntutan perubahan lingkungan. Lingkungan yang berbeda tentunya akan menuntut penampilan identitas yang berbeda pula. Seseorang akan menggunakan atau mempertahankan identitas etniknya apabila diarasakannya mampu untuk menanggapi berbagai hambatan yang ditemuinya di lingkungan yang berbeda. Tetapi sebaliknya ia akan meninggalakan identitas etniknya, dan beralih ke identitas etnik yang lain yang dianggapnya mampu. Atau ia melihat bahwa dalam lingkungan hidupnya, ada tuntutan nilai yang berbeda dengan nilai-nilai yang menjadi ciri identitas etniknya, sehingga ia membuat kriteria nilai-nilai baru atau menyesuaikan dengan nilai-nilai yang ada. Jadi sebenaranya penilaian terhadap keberhasilan seseorang dalam mempertahankan identitas etniknya, ditentukan oleh penampilan atau kemampuan masing-masing individu, dan kemungkinan-kemungkinan yang dihadapi seseorang.
Identitas Etnik dan Asset Nyata
Identitas etnik dihubungkan dengan sumber daya produktif dan pola nafkah. Seperti suatu kelompok etnik diidentikan dengan kelompok kelana, petani, atau pedagang. Pembedaan pola nafkah ini, digunakan sebagai identitas etnik karena dianggap dapat menampilkan ciri etnik tertentu dimana dapat membentuk gaya hidup suatu kelompok etnik tertentu. Persaingan akan timbul ketika kelompok etnik yang berhubungan mempunyai sumber produksi yang sama. Persaingan atau pertentangan dalam sumber produksi muncul juga ketika dihadapkan dengan struktur sosial yang menjadi wujud interaksi mereka. Seperti ketika suatu etnik diidentifisikan dengan suatu strata atau status sosial tertentu.
Kelompok Etnik dan penggolongannya
Apabila suatu kelompok etnik mampu menguasaai suatu sarana produksi dari suatu kelompok tertentu, maka yang akan terjadi adalah suatu hubungan yang tidak berimbang dan menjadi sistem penggolongan (stratifikasi) masyarakat. Sistem polietnik/masyarakat majemuk dengan penggolongan stratifikasi masyarakat ini timbul apabila suatu kelompok menguasai suatu modal yang diperlukan juga oleh kelompok lain. Budaya dari berbagai kelompok lain ini akan terintegrasi dengan cara yang khusus; mereka sama-sama memegang suatu orientasi nilai umum sehingga mereka dapat mencapai kesepakatan yang hirarkis.
Leach mencoba untuk melihat bahwa kelas-kelas sosial dapat dibedakan atas sub kulturnya, bukan pada urutan hirarkisnya tetapi pada kenyataannya dalam sistem stratifikasi kita tidak melihat suatu tingkatan yang ketat. Pengelompokan seperti ini berdasarkan atas derajat seseorang dan pengenalan yang bersifat egosentris. Dalam sistem sosial yang seperti ini, perbedaan kultural akan lebih menonjol dan tidak terbentuk tatanan sosial dari kelompok-kelompok tertsebut. Timbulnya identitas etnik juga harus didasarkan atas kriteria yang tegas. seperti dalam kasus sistem sosial masyarakat Ethiopia, yang memperlihatkan bahwa semua kelompok etnik terbagi dalam kelas-kelas berdasarkan posisi mereka dalam tanggung jawanya dan ketidakmampuannya dalam pemerintahan. Dalam prespektif yang lain, sistem kasta di India dapat menunjukan suatu sistem stratifikasi polietnik yang khas. Batas kasta ditentukan berdasarkan atas kriteria etnik, sehingga orang-orang yang gagal dalam menerapkan kaidah-kaidah kasta akan dikeluarkan dari kasta, bukan diturunkan kastanya.
Dari pembahasan itu tampak ada keganjilan dalam hal identitas etnik sebagai status: asal-usul menentukan kriteria keturunan dan komitmen seseorang, tetapi tidak berperan dalam pengendalian modal. Sementara itu penampilan seseorang, yaitu kegiatan yang diperlukan untuk menunjukan identitasnya, pada sistem manapun memerlukan modal. Bertahannya sistem polietnik disebabkan oleh adanya faktor-faktor yang menyebabkan modal terdistribusi tidak merata, tergantung dari kelas seseorang. Faktor itu antara lain, (a) pengaruh pemerintahan, (b) adanya perbedaan yang besar dalam penilaian yang menyebabkan perbedaan yang besar dalam penilaian yang menyebabkan perbedaan dalam sikap dan tindakan para pelaku, dan (c) adanya perbedaan budaya yang mengakibatkan timbulnya perbedaan dalam tatanan politik dan ekonomi, atau perbedaan kemampuan seseorang.
Masalah Variasi
Variasi terjadi ketika si pelaku membentuk perilaku kelompok yang berbeda dengan kategori kelompok yang ada, sehingga akhirnya ia membuat kategori yang sesuai dengan sasaran hidupnya. Memang keanggotaan seseorang dalam kelompok etnik sangat tergantung pada asal usulnya dan identitasnya yang kini tampak. Tapi orang dapat juga memanfaatkan ciri etnik, ketika menemui kegagalan dalam tipologi kategorialnya.
Barth mencoba untuk melakukan analisa mulai dari dasar hubungan antar status dan perilaku. Ia yakin bahwa orang dikelompokan sesuai dengan perbuatannya, dan sangat dipengaruhi oleh interaksi, bukan pemikiran. Untuk memperlihatkan hubungan antara ciri etnik dan keragaman budaya, ia terutama akan memoperlihatakan bagaimana dalam berbagai kondisi, berbagai pengelompokan dan orientasi nilai ini membentuk karakternya sendiri, dan bagaimana pengelompokan lain berubah akibat pengalaman, dan yang lainnya tidak mampu membentuk interaksi. Jadi sebenarnya varisi ada dalam proses interaksi.
Minoritas, paria, dan ciri tatanan di daerah pinggiran
Dalam beberapa sistem sosial, tiap kelompok etnik dapat hidup bersama meskipun struktur umum tidak didasarkan atas hubungan antar etnik. Seperti contohnya seperti kelompok etnik minoritas. Dalam mebahas kelompok etnik minoritas ini dibutuhkan suatu pendekatan khusus dari hubungan antar etnik itu. Dalam berbagai kasus situasi pendekatan ini harus melihat sejarah terjadinya. Perbedaan budaya tidak timbul begitu saja di suatu daerah, tetapi terjadi karena masuknya budaya lain yang mapan ke suatu sistem sosial yang juga telah mapan. Sehingga tercipta suatu kelompok minoritas yang kalah bersaing.
Kelompok paria adalah salah satu contoh bentuk ekstrem dari kelompok minoritas. Kelompok paria ini selalu ditolak oleh masyarakat karena perilaku mereka yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat luas, meskipunmereka tahu perilaku paria ini berguna bagi mereka. Batas kelompok paria dipertahankan dengan kuat oleh masyarakat setempat dan mereka sering memanfaatkan diakritika yang mudah terlihat untuk identitasnya. Budaya masyarakt paria ini biasanya sudah kuat, sehingga permasalahannyadalah pada bagaimana caranya menyembunyikan asa-usulnya yang asli agar dapat masuk ke kelompok yang nilai budayanya dianggap tinggi. Meskipun kadang mereka mendapatkan perlakuakan penolakan, tetapi keadaanya tergantung pada tatanan kegiatan dan interaksinya dengan kelompok mayoritas. Hubungan antar etnik disini didasarkan atas dasar status yang sesuai dengan kelompok mayoritas, sedangkan sistem minoritas hanya berlaku pada kelompok itu saja. Sehingga hal ini menimbulkan kesenjangan antara nilai dan kemudahan yang ada. interaksi antar ertnik bukan didasarkan atas dasar saling melengkapi, tapi dalam suatu kerangka kerja yng ditentukan oleh kelompok yang dominan, yaitu kelompok mayoritas dan institusi. Identitas kelompok minoritas tidak dapat dipakai sebagai dasar kegitan.
Kontak Budaya dan perubahannya
Kontak budaya dari waktu ke waktu mengalami perubahan seiring meyebarnya masyarakat industri ke seluruh dunia. Ada perubahan kontak budaya yang didasarkan atas pengurangan drastis dalam perbedaan budaya antar kelompok etnik tidak berhubungan dengan berkurangnya relevansi tatanan identitas etnik, maupun putusnya proses pelestarian batas etnik. Dalam mengamati perubahan hubungan tersebut kita perlu untuk melihat pelaksanaan perubahaan yang ada: strategi apa yang terbuka dan menarik bagi mereka dan apa dampak organisasi dari berbagai pilihan mereka ?. Pelaksana perubahan ini adalah seseorang yang secara etnosentris disebut sebgai kaum elit baru, yaitu seseorang dari kelompok masyarakat non industri yang mempunyai kontak luas dan lebih tergantung pada barang-barang dan tatanan masyarakat industri. Agar dapat berpartisipasi dalam sistem sosial yang luas dan untuk mendapatkan bentuk dan nilai baru, mereka biasanya memilih strategi dasar sebagai berikut, (1) bergabung dan masuk ke dalam kelompok dan budaya industri, sehingga kelompok etnik ini akan berkembang menjadi kelompok yang konservatif dan menempati status sosial yang rendah, (2) menerima status minioritas dan berusaha mengatasi dan mengurangi minoritasnya dengan cara membatasi budayanya hanya untuk sektor kegiatan yang tiak dikerjkan bersama, sehingga demikian muncul tatanan masyarakat polietnik yang terdikotomi akan dapat dihindari sehingga mungkin terjadi pembauran dari kelompok minoritas, dan (3) menonjolkan identitas etnik dan menggunakan untuk mengembangkan posisi dan kegiatan yang selama ini belum terjamah dalam masyarakat, sehingga nantinya muncul gerakan nativisme baru.
Bentuk tatanan kelompok-kelompok ertnik ini sangat bervariasi, begitu juga hubungan antar etnik. Kegiatan politik merupakan cara baru untuk menonjolkan perbedaan budaya dan untuk mengartikulasikan kelompok-kelomok etnik yang terdikotomi.
Variasi dalam hubungan antar etnik
Perkembangan dunia birokrasi administrasi dan urbanisasi yang meningkat, khususnya dalam masyarakat di negara-negara yang terjajah, memunculkan bentuk baru tatanan polietnik. Dalam lingkungan baru san berbeda, faktor penting yang menjadi penentu dan bertahannya sutua batas etnik juga berubah. Seperti kondisi kolonial yang memberikan nilai-nilai baru kepada masyarakat yang dijajahnya yang sama sekali berbeda dan terpisah dengan kebudayaan setempat. Dalam masa kolonial ini, yang biasanya didominasi oleh negara-negara barat, hak-hak individu mempunyai kedudukan yang baik. Dalam kedaan seperti ini, mereka membuka kesempatan untuk berhubungan antar individu dengan berbagai latar belakang yang berbeda. Dalam konteks ini, hambatan-hambatan yang ditemui dalam hubungan antar etnis dapat diatasi, karena penekanan pada hak-hak individu yang diutamakan. Dalam kondisi seperti pula, batas etnik merupakan suatu organisasi hubungan sosial yang sifatnya positif.
Kesimpulan
Barth melihat kelompok etnik sebagai suatu tatanan sosial dimana batas-batas kesukubangsaannya ditekankan kepada batas-batas yang sifatnya sosial, yaitu lebih kepada bagaimana kelompok tersebut menentukan “aturan main” yang dipahami bersama oleh kelompok itu sendiri. Lebih kepada bagaimana kemampuan untuk berbagi sifat budaya yang sama, sehingga membuat suatu ciri khusus tersendiri. Namun lebih lanjut ia menerangkan sebagai suatu tatanan sosial, sukubangsa mempunyai ciri khas yang mendasar dan secara umum menentukan seseorang termasuk kelompok etnik yang mana, yaitu ciri khasnya yang sifatnya kategoris askripsi (categorical ascription) atau ciri khas yang mendasarkan seseorang termasuk ke dalam kelompok etnik tertentu berdasarkan dari latar belakang asal-usulnya. Ciri-ciri atau atribut tersebut diberikan, baik oleh sesama anggota kelompok maupun oleh kelompok lain. Menjadi penting kemudian untuk mengetahui tujuan pelaku berinteraksi dengan sukubangsa lainnya. Ciri etnik befungsi sebagai kategori untuk menentukan pengelompokan dan untuk berinteraksi sehingga bisa saja identitas dipertahankan apabila berhasil dipakai/dipelihara dengan mudah, kalau tidak anggota etnik yang bersangkutan akan mengantikan dengan memilih identitas lain, atau mengubahnya. Dalam lingkungan yang berbeda tentunya akan menuntut penampilan yang berbeda pula karena identitas etnik berkaitan dengan nilai budaya standar yang ada, sehingga pada keadaan tertentu seseorang dapat tampil dengan identitasnya tetapi dilain lingkungan atau keadaan dibutuhkan nilai standart yang berbeda pula.
Batas-batas unit itu dipelihara dalam unit-unit etnik, sehingga memungkinkan kita untuk menentukan keterlanjutannya dan bertahannya unit etnik tersebut. Batasan etnik itu dipelihara dalam setiap kasus oleh seperangkat faktor budaya yang terbatas. Menetapnya suatu unit tergantung dari ketegaran perbedaan budayanya, sedangkan keterlanjutannya dapat ditentukan melalui perubahan-perubahan unit yang disebabkan oleh perubahan dalam penentuan batas perbedaan budaya.
Thanks for shharing