Berita dikompas tanggal 12 April 2011, tentang pembangunan musem kerinci di Malaysia memang cukup mengundang pertanyaan dan pro-kontra. Dengan judul artikel, Duh! Museum Krinci Dibangun di Malaysia, Kompas mewartakan bahwa ini adalah museum yang dibangun atas permintaan warga negara Malaysia yang berasal Kerinci. Mereka ingin mengenang tentang kebudayaan asalnya. Pro-kontra tetap muncul. Budayawan Jambi banyak menyesalkan hal itu. Saya yang pernah bermukim di Jambipun, dan sekarang saya tinggal di Malaysia, rasanyapun menjadi merasa aneh. Kenapa kita mesti belajar budaya kerinci ke Malaysia ?. Buat saya ini tamparan keras buat orang Jambi. Ibaratnya begini, jangankan museum kerinci – museum negeri Jambi saja, saya kira pasti tak banyak pengunjungnya dari orang lokal Jambi sendiri. Terlepas pro-kontra dan isu Malaysia yang “jahil” suka klaim sana sini. Saya mencoba merefleksikan kepada kita sendiri. Mari kita lihat apa yang terjadi pada kita, sebelum kita lihat orang lain.
Kemudian terlontar gagasan, mengapa tidak membangun museum Kerinci di Kerinci saja. Sudah seharusnya kita menghargai budaya kita. Eits nanti dulu. Ada prasyarat dan dukungan yang harus dikembangkan oleh masyarakat dan pemerintahnya pak.
Saya jadi teringat pada tahun 2002, ketika saya (warsi) punya gawe dengan Museum Negeri Jambi untuk mengupayakan panel pamer tentang Orang Rimba dan permasalahan yang dihadapinya berkaitan dengan lingkungan. Mengenaskan memang nasib museum negeri Jambi ketika itu. Banyak koleksi yang tidak terawat, anggaran yang minim, SDM yang kurang dan tidak tepat sasaran (banyak staf yang bukan background museologi atau sejenisnya), kurator spesialis tidak ada, ibaratnya museum adalah tempat buangan yang tak basah. Namun meskipun begitu, saya salut melihat dedikasi beberapa staf di Museum Negeri Jambi untuk tetap bekerja dengan maksimal dengan kondisi kalang-kabut ketika itu. Permasalahan lain adalah minat orang jambi sendiri ketika itu yang menurut saya cukup rendah untuk paham mengenai budayanya sendiri melalui media museum. Jika tidak event khusus yang memaksa mereka (anak sekolah) ke museum, dijamin deh museum pasti sepi. Coba simak saja museum dihari biasa, bukan hari libur. Wassalam deh. Memang kondisi ini kondisi yang umum diseluruh Indonesia, namun semestinya membuat pihak museum dan dinas kebudayaan harus bekerja keras. Semoga hal itu tidak terjadi sekarang.
Bisa jadi gambaran pengalaman saya dengan museum (2002) sudah banyak berubah sekarang. Semoga saja. Namun saya melihat budaya mengunjungi museum dan menjadikannya tempat tujuan utama belajar budaya Jambi masih sangat kurang. Buat turis asing, atau orang yang berasal dari luar, seperti saya, tujuan saya utama untuk belajar budaya daerah setempat adalah museum. Oleh karena itu fungsi museum jadi penting untuk pembuka awal mata luar, seperti apakah budaya kita. Jadi bisa dibayangkan jika kita ke suatu museum, kemudian ternyata isi koleksi atau panel pamernya tidak banyak memberikan kehidupan bagi pengunjungnya. Alias Kering !. Ya setidaknya itu gambaran budaya setempat.
Kalau begini kemudian apa yang salah ketika kemudian, orang asing (Malaysia) lebih terdorong untuk melestarikan budaya kerinci daripada orang jambi sendiri. Toh mereka lebih menghargai budaya kerinci. Klaim mengklaim itu sudah biasa. Jadi, terus terang, saya melihat budaya museum masyarakat Jambi (semoga saya sekali lagi salah) dan bagaimana dukungan pemerintah daerah Jambi ke museum, serta mendorong warganya untuk cinta museum, mustahil museum kerinci bisa “hidup”. Oklah, gedung museum berapa lantai terbangun. Stafnyapun ada. Anggaran disediakan, Tapi kalau passion dan idealisme untuk mengembangkan budaya, dan tanpa mengajak masyarakatnya cinta dan menghiduokan museum tidak dilakukan, sepertinya layu sebelum berkembang.
Saya jadi teringat pepatah entah kuno atau bukan, orang tidak akan sadar akan miliknya yang berharga ketika kehilangan, semoga ini juga berlaku buat masyarakat Jambi untuk selalu mengingat miliknya yang berharga, budaya !!
Thanks ffor the post