Sesungguhnya film trilogy Samurai ini adalah film lawas yang dibesut oleh sutradara Yoji Yamada. Ada tiga film adalah, The Twilight Samurai (2002), The Hidden Blade (2004), dan Love and Honor (2006). The Twilight Samurai mendapatkan beberapa penghargaan, baik di dalam negeri Jepang maupun diluar negeri. Beberapa yang didapat untuk Twilight Samurai (2002), seperti Academy Award for Best Foreign Language Film di Academy Awards, namun kalah di French Canadian (Québec) film Les Invasions Barbares. Tapi ia menang untuk 12 penghargaan Academy Awards-nya Jepang untuk Best Picture, Best Director, Best Actor, Best Actress, dan Best Screenplay. Kemudian untuk The Hidden Blade (2004) untuk “Best Art Direction” dan Best Actress, serta Best Supporting Actress.
Ketiga film mengambil latar belakang alih awal-awal masa Restorasi Meiji, masa Edo, abad pertengahan 19 yang diikuti kemudian dengan perubahan social bagi masyarakat. Samurai sebagai kelas social tersendiri, dimana ia mempunyai tempat yang baik dan dipercaya kelas penguasa, juga terkena imbasnya. Peran mereka semakin diabaikan karena teknologi persentajaan yang berkembang, yang otomatis pula memotong perannan mereka dalam kekuasaan. Ide gagasan situasi juga diambil oleh Tom Cruise dalam film-nya The Last Samurai (2003) dalam konteks Hollywood tentunya.
Berbeda jika kita melihat film-film Samurai yang lain dimana digambarkan kalangan Samurai sebagai kalangan yang solid dan elit, dalam film Yoji Yamada ini Samurai digambarkan sebagai orang yang terbuang dari kelasnya. Genre ini saya lihat dimulai ketika Akira Kurosawa membuat film Seven Samurai (1954) yang terkenal itu. Ia gambarkan seorang hero yang juga bajingan sesungguhnya. Samurai ya tindak hanya sekedar sebutan kelas social tetapi juga personafikasi seseorang dimana tabiatnyapun juga bisa buruk tidak seperti kaum kelas Samurai umumnya. Meskipun tabiat buruk tapi samurai tetap samurai yang tetap ganas dalam duel.
Kemudian pada masa berikutnya, ia bisa digambarkan sebagai seorang kere yang meminta belas kasihan orang lain namun punya kedigdayaan juga. Sebagai ilustrasi, gambaran Samurai yang terlempar dari kelasnya juga ada dalam film Shogun Assassin (1980) yang dibesut oleh Shintaro Katsu dan Robert Houston. Bagi saya film ini sangat menarik karena memberikan insight yang lain tentang penggambaran seorang Samurai yang terlempar dari kelasnya karena dikhianati oleh majikannya. Dan akhirnya ia berkelana sambil membawa anaknya yang berumur lima tahunan. Dan dalam perjalanannya ia harus melawan para pembunuh-pembunuh bayaran yang disuruh membunuhnya. Samurai yang biasanya digambarkan memakai kimono perang dan siap dengan katana-nya difilm ini jadi seorang Samurai yang kumal dan tak perduli dengan penampilannnya. Tapi toh gambaran kedigjayaan samurai dengan sabetan katana yang tajam dan puncratan darah yang keluar dari leher korbanya adalah tetap menonjol.
Dalam The Twilight Samurai , Samurai yang tergambar dalam diri Iguchi Seibei adalah Samurai kelas rendahan. Iguchi dihidupkan sebagai seorang Samurai yang miskin, berada dalam kasta terendah Samurai (mungkin diatas ronin – Samurai tanpa majikan), ditinggal mati oleh istrinya karena kemiskinannya yang tanpa mampu untuk menghidupi keluarganya. Belum lagi dibebani oleh hutang yang menumpuk sebagai akibat, biaya pemakaman istrinya yang mahal, serta menghidupi kedua anak perempuannya dan ibunya yang sakit ingatan. Terpaksanya ia menyambi bekerja sebagai pembuat sangkar burung atau bekerja bertani yang saat itu dianggap tabu. Samurai dianggap sebagai kelas social yang lebih tinggi ketika itu jika dibandingkan petani dan pedagang. Dan dalam menghadapi situasi demikian, ia dipaksa mentaati untuk membunuh seorang Samurai oleh majikannya. Perang batin berkecamuk dalam hatinya. Insting membunuhnya telah hilang dan ia merasa telah berubah menjadi family man yang berat meninggalkan keluarganya. Tapi tugas tetap tugas.
Demikian juga dengan The Hidden Blade (2004), Yoji Yamada juga menggambarkan Samurai (Katagiri) sebagai orang yang tak berdaya, yang akhirnya harus melawan kawannya sendiri. Meskipun ia tahu bahwa majikannya adalah orang yang tak benar karena telah meniduri istri kawannya. Dan akhirnya ia membunuh majikannya dengan menggunakan tehnik hidden blade yang tersembunyi. Yoji Yamada memang menggambarkan konflik tidak sehebat di Twilight Samurai namun cukup memberikan konteks situasi Jepang ketika itu. Katagiri juga tidak digambarkan semlarat Iguchi dalam Twilight Samurai, tetapi background majikan yang korup dan amoral cukup memberikan makna tentang pergulatan bati
Dan yang terakhir adalah Love and Honor (2006). Berbeda dengan dua film terdahulunya dimana masing-masing lebih banyak tekanan dari situasi yang tak terkendali sehingga mereka memutuskan untuk melawan dengan caranya sendiri, maka dalam Love Honor konflik sebagai puncak film digambarkan lebih personal. Shinnojo, juga digambarkan sebagai low level Samurai sebagaimana Iguchi atau Katagiri. Dengan keluarga yang sederhana, ia juga mengabdi kepada tuan tanah yang korup. Puncaknya ketika ia mengalami kebutaan. Dan merasa dirinya menjadi Samurai yang tak berguna. Ia kemudian ingin melakukan seppuku tetapi ditahan oleh kecintaan istrinya yang demikian mencintainya. Hingga suatu saat muncul ketidakpercayaan dirinya terhadap kesetiaan istrinya. Disisi yang lain muncul permasalahan pelik yang harus dihadapinya berkaitan degan situasi perubahan social yang mempengaruhi tuan tanah yang diabdinya. Disitulah kemudian beradu antara cinta dan kehormatan yang harus dipertahankan.
Kekuatan trilogy film Samurai Yoji Yamada adalah penggambaran Samurai yang low level, kalah, dan penuh cinta atau cinta keluarga. Gambaran Samurai yang family man seperti Iguchi di Twilight Samurai memang agak menganehkan. Masak samurai cinta keluarga. Pun demikian dengan Katagiri yang jatuh cinta dengan maid keluarganya (Kie) yang terhalang oleh sekatan kelas social. Ataupun kehidupan cinta Shinojo yang mempertanyakan kesetiaan cinta istrinya. Di tangan Yoji Yamada, Samurai bukan menjadi sosok yang menegangkan dan kaku siap tebas lawannya. Samurai di tangan Yoji Yamada menjadi sangat manusiawi. Perang batin. Kegalauan dan ketakutan untuk berduel juga dirasakan oleh mereka. Bagaimana misalnya Iguchi malamnya memandangi wajah anak-anaknya sambil kemudian mengasah katana miliknya. Atau kesangsian kemampuan yang dimilikinya untuk berduel karena kehilangan sense of kill yang harus dimiliki seorang samurai. Terpancar dari mata Katagiri ketika ia harus bertanya lagi kepada mantan gurunya. So samurai juga manusia..