(Faith to One God) (Editor: Parsudi Suparlan and Harisun Arsyad). Book. Jakarta , Dept. Agama , RI, Balitbang Agama, 2000

Ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dapat dilihat sebagai puncak atau inti dari keyakinan keagamaan yang dipunyai oleh para penganut agama-agama tradisi besar, yaitu Islam, Katolik, Kristen, Hindu dan Budha. Agama-agama tradisi besar dikenal sebagai mempunyai keyakinan akan adanya keesaan Tuhan.

Keyakinan keagamaan secara metodologi dibedakan dari agama itu sendiri. Agama-agama tradisi besar adalah agama universal atau agama yang ajarannya dapat dipeluk oleh umat manusia secara universal. Kitab suci Al Quran adalah teks suci bagi orang Islam yang menganut mazhab atau aliran apapun. Begitu juga kitab-kitab suci Injil, Taurat, Weda atau lainnya yang berlaku universal bagi masing-masing pemeluknya yang menganut mazhab atau aliran apapun. Tetapi ciri universal tersebut terbatas pada tingkat tekstual, atau agama sebagai teks suci. Pada tingkat ini agama sebagai teks suci berlaku secara seragam bagi umat penganutnya diseluruh penjuru dunia. Tetapi pada waktu agama tersebut harus menjadi operasional dalam kehidupan manusia, teks suci tersebut tidak dapat dengan begitu saja digunakan dalam kehidupan yang nyata. Untuk dapat operasional maka ajaran dalam teks suci tersebut harus diinterpretasi makna-maknanya dan dipahami oleh para pemeluk dan calon pemeluknya, untuk kemudian dijadikan pedoman bagi kehidupannya dalam menghadapi lingkungan tempatnya hidup.

Dalam menginterpretasi untuk memahami makna-makna yang terkandung dalam ajaran-ajaran yang ada dalam teks suci, para pemeluk agama yang bersangkutan menggunakan kebudayaan mereka sebagai acuan. Sadar atau tidak sadar, hasil interpretasi mereka itu menjadi bagian dari sistem-sistem pengetahuan dan keyakinan, atau kebudayaan, yang telah mereka punyai mengenai diri mereka dan dunia atau lingkungan tempat mereka hidup, dan sadar atau tidak sadar hasil interpretasi mereka itu menjadi bagian dari sistem-sistem pengetahuan dan keyakinan, atau kebudayaan yang telah mereka punyai mengenai diri mereka dan dunia atau lingkungan tempat mereka hidup, dan sadar atau tidak sadar hasil-hasil interpretasi mereka itu menjadi keyakinan keagamaan yang menjadi pedoman sakral atau suci dari kebudayaan atau bagi kehidupan mereka.

Dengan kata lain, hasil interpretasi mereka yang terwujud sebagai keyakinan keagamaan tersebut menjadi kebudayaan yang telah mereka punyai. Kita dapat mengatakan keyakinan keagamaan sebagai kebudayaan, pada waktu kebudayaan didefinisikan sebagai pedoman bagi kehidupan yang berisikan pengetahuan dan keyakinan-keyakinan, yang digunakan untuk menghadapi lingkungan dan segala isinya untuk dapat dimanfaatkan oleh para pelakunya dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya sebagai manusia (Suparlan, 1991/1992).

Kebudayaan, sebagai pedoman bagi kehidupan yang merupakan pengetahuan dan keyakinan-keyakinan berisikan konsep-konsep yang dihasilkan dari sistem-sistem penggolongan yang menjadi dasar dari keberadaan kebudayaan sebagai pedoman bagi kehidupan. Kebudayaan juga berisikan teori-teori, yang berisikan penjelasan mengenai hakikat hubungan di antara konsep-konsep atau gejala-gejala sebagai hasil penggolongan yang dibuat, sehingga berbagai peristiwa atau gejala dapat dipahami maknanya oleh dan masuk akal bagi pendukung kebudayaan tersebut. Kebudayaan juga berisikan metode-metode, dimana pendukung kebudayaan tersebut menggunakannya untuk memilah atau menggolongkan konsep-konsep atau gejala-gejala, menyeleksi hasil pilahan-pilahan tersebut, dan menggabungkan seleksi pilahan-pilahan yang telah dibuatnya untuk digabungkan menjadi sebuah makna atau pedoman dalam menghadapi sesuatu gejala dalam lingkungannya atau memecahkan sesuatu masalah dalam kehidupannya.

Kebudayaan sebagai pedoman bagi kehidupan juga berisikan pedoman dalam memberikan makna atas gejala-gejala yang ada dalam kehidupan manusia termasuk manusia itu sendiri, karena itu juga oleh Geertz (1973) kebudayaan itu dilihat sebagai sama dengan sistem-sistem makna. Melalui sistem-sistem makna ini gejala-gejala yang ada dalam kehidupan manusia diberi makna menurut kebudayaan yang bersangkutan sehingga menjadi simbol-simbol.

Jadi, sebuah simbol itu bermakna menurut pengertian yang berlaku dalam dan menurut sesuatu kebudayaan dan yang pengertian maknanya terbatas pada kebudayaan yang bersangkutan saja, sedangkan kebudayaan dari masyarakat yang lain akan memberi makna yang dapat berbeda atas gejala-gejala yang sama. Makna sesuatu simbol akan dilihat sebagai sama oleh dua masyarakat atau lebih bila kebudayaan dari masyarakat-masyarakat tersebut adalah sama sistem-sistem maknanya. Keyakinan keagamaan yang ada dalam kebudayaan yang dipunyai oleh sebuah masyarakat, juga berisikan sistem-sistem makna.

Bedanya dengan sistem-sistem makna yang ada dalam kebudayaan tersebut adalah bahwa sistem-sistem makna yang menjadi isi dari keyakinan keagamaan tersebut bersifat suci atau sakral. Kesucian atau kesakralan sistem-sistem makna tersebut barasal dari acuan dasarnya, yaitu agama yang diyakini kebenarannya yang telah didatangkan kepada manusia malalui wahyu sebagai perintah dan petunjuk suci, karena wahyu tersebut berasal dari Tuhan yang Mahasuci. Karena sistem-sistem maknanya bersifat suci atau sakral maka gejala-gejala yang diberi makna oleh sistem-sistem makan yang suci atau sakral juga menjadi simbol-simbol yang bersifat suci atau sakral.

Dalam kehidupan sehari-hari, warga masyarakat pendukung sesuatu kebudayaan dapat saling memahami dengan menggunakan simbol-simbol yang mereka gunakan dalam dan melalui komunikasi yang berlaku dalam kehidupan sosial mereka. Sedangkan simbol-simbol suci atau sakral, digunakan dalam kehidupan keagamaan dalam manusia berhubungan dengan Tuhannya atau dunia gaib yang menjadi bagian dari kepercayaan imannya.