Adi Prasetijo (8 Agustus 2012)
Polemik tentang dana CSR (Corporate Social Responsibility) atau Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (TJSP) masuk cost recovery dipicu awalnya oleh pernyataan Menteri ESDM, Jero Wacik dalam ulang tahun BP Migas senin 16 Juli 2012 di Hotel Ritz Carlton. Jero wacik menyatakan bahwa pemerintah mempertimbangkan untuk memasukan kegiatan CSR sebagai cost recovery dengan menarik kembali Permen No 24 Tahun 2008 . Pernyataan ini kemudian dipertegas oleh BP Migas, yang akan mempertimbangkan untuk mengusulkan bahwa dana CSR akan dibebankan kepada cost recovery seperti yang termaktub dalam Permen No 24 Tahun 2008, dimana disebutkan bahwa akar permalasahan yang timbul sebagai akibat dikeluarkannya permen tersebut adalah gejolak dan tuntutan masyarakat wilayah daerah penghasil migas terhadap perusahaan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) menjadi tidak terkendali kemudian melakukan gangguan karena minimnya dana pembangunan yang dikucurkan ke daerah tersebut. Dijelaskan oleh BP Migas terjadi penurunan dana CSR, yang tadinya dari 1 triliun menjadi 450 Milyar. sehingga banyak konflik yang tidak terselesaikan. Dengan memasukan dana CSR ke cost recovery harapannya investasi semakin meningkat dan target penerimaan Negara untuk migas dapat terpenuhi (Kompas,17 Juli 2012).
Perlu dikaji secara seksama apakah memang benar dengan dana CSR dimasukan ke cost recovery maka permasalahan ketidakpuasan dan konflik yang dihadapi oleh industry hulu migas akan terselesaikan ?. Apakah dengan masuknya dana CSR dalam cost recovery akan secara otomatis gangguan tidak terjadi dan proses operasi perusahaan KKKS akan berjalan dengan lancar, sehingga penerimaan Negara untuk migas bisa tercapai ?. Argumen-argumen ini yang seharusnya diwacanakan dan dikaji secara mendalam oleh BP MIgas ketika akan memutuskan dana CSR akan kembali ke cost recovery. Tulisan ini mencoba untuk memahami bacaan situasi tentang polemik ini.
Antara CSR dan Cost Recovery
Jika kita merujuk kepada Permen ESDM No 22 Tahun 2008 tentang Jenis-jenis Biaya Kegiatan Usaha Hulu Migas yang Tidak Dikembalikan Kepada KKKS, disebutkan ada 17 kegiatan yang tidak boleh dibebankan, diantaranya adalah No 8 yaitu Pembebanan dana pengembangan Iingkungan dan masyarakat setempat atau lazim disebut sebagai Community Developmentpada masa Eksploitasi. Kemudian item ini banyak disebut kemudian sebagai kegiatan CSR.
Latar belakang munculnya Permen ESDM No 22 Tahun 2008 adalah BPK dan BPKP yang menemukan bahwa dana CSR atau Comdev ini sangatlah sulit untuk dipertanggungjawabkan dan kemungkinan untuk diselewengkan sangatlah besar. Jika kita merujuk kepada konsep production cost sharing, biaya produksi ditanggung bersama antara perusahaan dan pemerintah, sehingga kemudian keuntungan menjadi milik bersama maka sebaiknya resiko social dibagi bersama antara pemerintah dan perusahaan. Jika biaya Comdev dimasukan dalam cost recovery sepenuhnya maka resiko social akan ditanggung oleh pemerintah.
Sudah tepat pemerintah menerbitkan peraturan dimana kegiatan Comdev yang bisa masuk dalam cost recovery atau disebut dengan Program Sosial Penunjang Operasi (PSPO) dan ada program Community Development yang non cost recovery. Dengan skema seperti ini maka sebenarnya KKKS diperbolehkan untuk membebankan sebagian biaya comdev’nya ke cost recovery. Beberapa KKKS bahkan sudah melakukan terobosan dengan tidak membebankan sepenuhnya biaya comdev’nya ke cost recovery karena disadari atau tidak, dibantu oleh pemerintah, mereka membutuhkan program comdev sebagai garda depan penyelesaian permasalahan yang timbul dilapangan.
CSR atau Corporate Social Responsibility dalam konteks ini berbeda dengan Community Development. Pemahaman CSR banyak disalahkaprahkan dengan Community Development atau pengembangan masyarakat. Jika kita merujuk definisi CSR menurut World Business Council (1995) dikatakan bahwa CSR adalah komitmen perusahaan untuk berkontribusi pada kesejahteraan social masyarakat sekitaranya. Kemudian ISO 26000 sendiri tentang Social Responsibility juga menyebutkan bahwa CSR adalah kewajiban perusahaan untuk berusaha sesuai dengan etika dan hukum yang berlaku dengan melakukan kegiatan yang mendukung kesejahteraan social, pembangunan dan kesehatan bagi masyarakat setempat dan internal perusahaan.
Dalam UU No 40 Tahun 2007, dijelaskan bahwa yang namanya tanggung jawab social perusahaan adalah kewajiban perusahaan dalam berusaha. CSR disebutkan bahwa telah menjadi kewajiban bagi perseroan yang menjalankan kegiatan usaha di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam, baik secara internal atau dalam lingkungan perusahaan maupun diluar perseroan. Jadi memang jelas bahwa CSR atau tanggungjawab social perusahaan adalah kewajiban yang harus diemban oleh suatu perusahaan yang bekerja berkaitan dengan sumber daya alam. Memang KKKS bukanlah perseroan seperti dalam UU PT No 40 Tahun 2007, namun substansi CSR dalam UU tersebut cukup jelas, sesuai dengan standard internasional lainnya, bahwa kegiatan CSR adalah tanggungjawab atau kewajiban yang menjadi beban perusahaan. Bukan pemerintah.
Berbeda dengan CSR, konsep pengembangan masyarakat atau Community Development sudah jauh berkembang sebelumnya. Program pengembangan masyarakat sesungguhnya adalah suatu tindakan untuk memperbesar akses suatu komunitas terhadap perubahan dirinya ke arah yang lebih baik, baik secara social maupun ekonomi. Dalam konteks ini maka pengembangan masyarakat adalah suatu kegiatan penguatan kapasita warga masyarakat sehingga mereka mempunyai kekuatan untuk pengambilan keputusan. Dalam konteks CSR, Community Development adalah program bagi masyarakat dan stakeholder diluar perusahaan. Jadi hendaknya pemahaman CSR dan Comdev memang harus dipisahkan.
Comdev dan resolusi konflik
Pemahaman bahwa gejolak akan muncul sebagai diakibatkan dana CSR KKKS yang terserap semakin berkurang karena tidak masuk dalam cost recovery lagi sehingga program ke masyarakat juga berkurang ini juga kurang tepat. Kasus-kasus konflik di industry hulu migas sebagian besar adalah permasalahan lain yang kadang tidak ada hubungannya dengan program comdev. Misalnya permasalahan tumpang tindih lahan yang tidak terselesaikan. Kemudian permasalahan otonomi daerah, dimana kapasitas dan kepala daerah yang banyak tidak paham bagaiamana tata kelola perminyakan dan gas yang nyatanya berbeda dengan tata kelola pertmbangan. Dalam tata kelola perminyakan, daerah tidak mendapatkan secara langsung hasil sumber daya alamnya. Hasil sharing keuntungan dihasilkan dari nilai pajak yang diterima dan penghasilan migas melalui anggaran pemerintah daerah. Gap atau kesenjangan biasanya terjadi disini karena masyarakat sekitar daerah penghasil minyak tidak mendapatkan dampak langsung pembangunan yang semestinya didapat dari pemerinrah daerah. Sebagai contoh jika kita lihat daerah-daerah penghasil migas ternyata misalnya propinsi Sumatra Selatan yang dikenal dengan daerah penghasil migas, semestinya kemakmuran dapat tercapai dan pemerataan kesejahteraan dapat terpenuhi namun fenomena ini tidak terjadi sepenuhnya. Daerah kantong-kantong kemiskinan dan menjadi kerawanan social tersendiri. Kapasitas pemerintah dalam memerintah wilayahnya sendiri, kemudian dinamika politik local juga menambah panjang permasalahan tekanan terhadap industry hulu migas. Dalam konteks ini industry hulu migas sering dipandang sebagai mesin uang politik local dan bargain politik yang harus dimainkan oleh actor-aktor didaerah.
Permasalahan lain yang berkaitan dengan konflik yang bagaimana sesungguhnya industry migas melihat masyarakat sekitar sebagai pengganggu atau ancaman yang harus diamankan. Cara pandang seperti memang sebaiknya ditubah dimana melihat bahwa masyarakat sekitar adalah asset dan mitra kerjasama secara bersama. Program pengembangan masyarakat atau comdev dari KKKS disini mempunyai peran besar dalam mengurangai gap atau kesenjangan pembangunan itu. Ketidaktepatan sasaran program, kebocoran program comdev untuk hal-hal lain yang tidak sesuai dengan peruntukan comdev kemudian memicu ketidakpuasan warga akan ketimpangan social yang diterima.
Ketimpangan atau gap ini kemudian ditambah dengan perbedaan interpretasi atau kurangnya sosialisasi atas tahapan industry yang sering membuat masyarakat mempunyai pemahaman yang berbeda atas industry ini, sehingga mudah atau gampang terprovokasi oleh kelompok-kelompok yang tidak bertanggungjawab. Kasus Tiaka di Luwuk, Sulawesi tengah misalnya. Kasus konflik ini menunjukan adanya ketidaksamaan pemahamaan dalam memandang seberapa pentingkah industry hulu migas bagi masyarakat. Sebagai industry yang merupakan Objek Vital Nasional, yang harus dilindungi maka tindakan-tindakan pengawasan dan penjagaan sangat perlu dilakukan. Gangguan-gangguan dan ancaman masyarakat semestinya tidak hanya dilihat dalam konteks kriminalitas semata tetapi juga sebagai resistensi social yang berlapis-lapis atau lazim disebut sebagai everyday resistance atas ketidakdilan yang mereka terima.
Industry yang bersifat eksplorasi dan eksploitasi alam sesungguhnya adalah suatu kegiatan yang rawan terhadap konflik. Rawan dalam artian banyak operasional industry yang mempunyai potensi-potensi konflik jika tidak segera diselesaikan akan memunculkan konflik terbuka yang bersifat massif. Banyak sumber konflik yang sebenarnya bermuara pada kondisi ketidakadilan, baik secara ekonomi, social dan politik. Kondisi daerah yang kebanyakan adalah daerah yang remote area dimana mayoritas penduduknya masih bertumpu kepada sumber daya alam, kemjdian secara tiba-tiba muncul industry besar menyebabkan muncul ketimpangan yang cukup besar. Ketimpangan ini yang kemudian menyebabkan jurang ketidakadilan, yang mungkin sudah terjadi menjadi lebih besar dan menjadi lebih tajam.
Harus dipahami bagi daerah-daerah tertentu, keberadaan industry hulu migas memunculkan suatu pemahaman atau interpretasi baru yang berbeda dengan sebelumnya. Industry membawa kebiasaan dan pandangan baru tentang cara berpikir memandang hidup. Jadi tidak salah juga masyarakat mempunyai ekspetasi yang kadang menurut perusahaan dianggap berlebihan karena perusahaan telah merubah cara hidup masyarakat setempat, bahkan lebih dalam ikut berkontribusi untuk merubah nilai-nilai kebudayaan setempat. Tidak mengherankan jika kita saksikan bahwa biasanya kehidupan sekitar daerah industry berubah menjadi kehidupan yang bersifat fungsional daripada kehidupan yang lebih menitikberatkan kepada nilai-nilai kebersamaan social.
Dalam konteks ini program CSR atau Community Development berfungsi sebagai lisensi social atau social license bagi perusahaan untuk mendapatkan izinnya atau penerimaan social bagi usahanya oleh masyarakat. Program CSR atau comdev berfungsi sebagai program untuk menyelesaikan berbagai masalah potensi konflik yang berkembang sebelum menjadi konflik yang terbuka. Sayangnya program Community Development tidak banyak dikembangkan sedemikian rupa untuk menyelesaikan permasalahan potensi konflik yang mungkin timbul. Kebanyakan program Community Development yang digagas adalah program yang berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan dimana tak jarang tidak sesuai dengan benar-benar kebutuhan masyarakat namun berorientasi kepada pemenuhan harapan masyarakat. Yang terjadi adalah kemudian program CSR atau comdev yang dibangun oleh perusahaan tidak sepenuhnya menyelesaikan masalah yang sesungguhnya harus diselesaikan namun malah focus ke program-program yang tidak semestinya, menjadi menara gading.
Pembenahan
Ada beberapa hal yang perlu dibenahi ke depan. Terkait dengan antara comdev dan cost recovery, bisa dipahami jika pada masa eksplorasi resiko yang dihadapi oleh KKKS adalah sangat tinggi karena tingkat penemuaan migas belum tentu untuk itu adalah sangat wajar jika biaya comdev adalah dibebankan ke cost recovery sepenuhnya. Dan ketika masa eksploitasi dimana KKKS mulai melakukan produksi, maka resiko social sudah menjadi resiko yang harus ditanggung oleh perusahaan.
Sebagai perwakilan pemerintah BP Migas sudah seharusnya lebih perduli ke masalah-masalah real lapangan berkaitan dengan pengembangan masyarakat yang ada didaerah penghasil migas. Salah satunya misalnya dengan membentuk kelembagaan Community Development yang kuat ditingkat BP Migas sehingga semua kegiatan yang berkaitan dengan industry hulu migas bisa terawasi dan dijaga benar keberhasilannya dalam menyelesaikan permasalahan social yang berkaitan dengan keberadaan industry hulu migas didaerah tersebut. Dengan kelembagaan yang kuat maka program-program comdev industry hulu migas semakin terarah kepada penyelesaian masalah dan pengurangan potensi konflik yang ditimbulkan. Harus ada ukuran-ukuran yang jelas berkaitan dengan social. Tidak hanya indicator atau target pemasukan Negara dari migas, tetapi bagaimana industry hulu migas dapat berkontribusi secara langsung terhadap capaian-capaian pembangunan. Misalnya bagaimana capaian program dengan penurunan indeks kemiskinan daerah setempat. Jika tidak ada ukuran dan standard yang jelas maka dipastikan kebocoran dana CSR akan tetap terjadi karena tidak ada kontrol.
Demikian pula sebaiknya dibentuk suatu badan atau lembaga koordinasi penyelesaian konflik atau semacam task force dibawah langsung koordinasi kementrian ESDM & BP Migas berkaitan dengan permasalahan-permasalahan konflik yang melibatkan industry hulu migas, sehingga permasalahan segera cepat terselesaikan dan investasi KKKS bisa dilakukan dengan baik. Selama ini masalah yang dihadapi lebih banyak berkutat dengan masalah otonomi daerah yang diyakini tidak diikuti oleh kapasitas pemerintah daerah dalam mengelola kepemerintahannya, sehingga menyebabkan banyak ketimpangan penggunaan anggaran yang tidak jelas dan berakibat kepada ketimpangan kehdupan ekonomi serta social masyarakat didaerah tersebut. Dengan dibentuknya task force ini maka penyelesaian-penyelesaian konflik bisa dilakukan secara cepat dan lugas.
Menurut mas Tijok gimana skrg kelembagaan Comdev SKKMIGAS?
Dan sudah ada task force dr kementerian dan SKKMIGAS yg berkaitan penanganan masalah konflik yg lebih mendasar (bukan isu Comdev saja)?
Salam