Oleh Adi Prasetijo

Pendahuluan

Fungsi rumah sebenarnya lebih mempunyai makna yang lebih dalam daripada hanya sekedar tempat tinggal semata. Selain berfungsi sebagai tempat tinggal dan berlindung (shelter), rumah juga berfungsi sebagai tempat manusia untuk berkeluarga atau bereproduksi, bersosialisasi, membersihkan diri, storage atau sebagai tempat penyimpanan, dan sebagai wahana manusia untuk mengekspresikan dirinya. Ada beberapa hal yang menarik untuk diamati. Di dalam rumah misalnya, menjadi sangat penting untuk melihat bagaimana pola penataan ruangnya untuk mengetahui pola pikir manusia penghuninya. Dan menjadi sangat penting pula mengetahui dilingkungan seperti apa rumah tersebut berdiri.  Rumah juga bisa dikatakan sebagai bentuk respon manusia terhadap lingkungan yang mendukung keberadaanya. Ini dapat dilihat dari pemakaian bahan baku rumah yang tersedia dari alam. Rumah dapat dilihat pula sebagai produk adaptasi psikosomatis manusia yang bersifat biologis (contohnya homeostatis).

Rumah ORBerpijak pada pengertian diatas, suatu shelter dapat dikatakan berubah menjadi suatu rumah apabila mempunyai fungsi sebagai tempat bereproduksi, bersosialisasi, membersihkan diri, storage, dan bentuk pengekspresian diri. Orang Rimba selama ratusan tahun hidup di dalam hutan belantara Sumatra. Mereka hidup berkelompok kecil dan menyebar pada daerah – daerah yang dianggap strategis. Strategis dalam artian bahwa di daerah tersebut ditemukan banyak sumber daya alam yang sesuai dengan ketubuhan mereka saat itu. Seperti ketika mereka melangun  (meninggalkan lokasi pemukiman mereka, detik itu juga karena ada yang meninggal) tanpa membawa bekal makanan sedikitpun. Ketika akan melangun, mereka merencanakan untuk pergi ke suatu lokasi yang benar-benar mereka ketahui bahwa di daerah itu terdapat banyak sumber makanan, baik secara nabati maupun hewani. Begitu juga ketika mereka akan merayau-rayau atau bepergian mencari kehidupan yang lebih baik dibandingkan lokasi mereka sebelumnya. Mereka tentunya akan mencoba mencari lokasi yang sekiranya dianggap mempunyai banyak sumber makanan. Selanjutnya mereka mengenal 4 jenis tempat tinggal yaitu Bolalapion, Susudung-on, Rumah ditano, dan Rumah godong. Apakah semua jenis tempat tinggal ini dapat dikatakan sebagai   rumah ?.

Secara konseptual, mereka beranggapan bahwa alamlah adalah tempat tinggal mereka sesungguhnya. Tidak ada masalah mereka akan tinggal dimana, sejauh mentaati aturan-aturan yang telah dikemukakan oleh nenek moyang mereka. Mereka hidup berombongan secara komunal dan egaliter dalam satu ikatan keluarga yang cukup erat.  Biasanya dalam satu rombongan ada seseorang yang dituakan, yang berfungsi sebagai pimpinan rombongan.  Biasanya pimpinan rombongan yang memutuskan kapan harus pindah dan pindah ke daerah mana. Dengan tingkat mobilitas yang cukup tinggi, tempat tinggal menjadi hal yang penting untuk dibicarakan.

Tempat Tinggal Orang Rimba

Ada 4 jenis tempat tinggal Orang Rimba, dari  bentuk yang sederhana hingga yang paling kompleks. Antara lain adalah :

Bolalapion. Berasal dari kata “lapik” yang berarti alas. Mempunyai bentuk yang paling sederhana. Terdiri dari atap plastik atau daun-daunan dan lapik (tikar) sebagai alas diatas tanah. Terdapat 2 tiang utama yang menyangga atap tersebut. Shelter seperti ini, biasanya digunakan oleh Orang Rimba ketika bermalam disuatu tempat dalam keadaan mendesak. Seperti misalnya berburu atau bermalam ketika melakukan perjalanan ke suatu tempat yang membutuhkan waktu yang cepat untuk berpindah ke lokasi yang lain. Biasanya bolalapion ini hanya sanggup memuat 1 hingga 2 orang saja. Panjang dan lebarnya sekiranya 2 meter.

Susudung-on. Berasal dari kata “susudung” yang berarti tempat tinggal atau kemah. Mempunyai bentuk dan fungsi yang sama seperti bolalapion, tetapi mempunyai perbedaan pada alas lantainya. Lantai bolalapion terbuat dari 2 kayu utama yang direbahkan di atas tanah di sebelah kiri – kanannya. Kemudian diatasnya diletakkan bilahan kayu – kayu yang telah dibentuk sedemikian rupa yang berfungsi sebagai lantai. Dibandingkan dengan bolalapion, susudung-on ini dinggap lebih nyaman karena mempunyai lantai yang rata terbuat dari bilah kayu.

Rumah ditano. Tempat tinggal ini mempunyai fungsi yang sama seperti bolalapion dan susudungon, tetapi biasanya Orang Rimba menggunakan rumah ditano ketika berdiam di suatu lokasi dengan suatu tujuan tertentu dengan perhitungan waktu yang agak panjang. Tetapi ini juga berkaitan erat dengan jumlah anggota keluarga yang diajak ikut serta. Mempunyai atap plastik hitam dan lantai yang ditinggikan. Atap biasanya terbuat dari plastik hitam atau dedaunan. Daun yang biasanya digunakan adalah daun banal dan daun serdang . Dua jenis daun ini merupakan daun pilihan yang khusus digunakan sebagai atap, tetapi kini mereka mempunyai alternatif pilihan lain yaitu dengan menggunakan atap yang terbuat dari terpal plastik hitam. Selain mudah didapat di pasar dan murah, lebih tahan lama dibandingkan dengan atap daun, serta mudah untuk dibawa-bawa. Ada 4 tonggak kayu yang berfungsi sebagai tiang penyangga atap. Kemudian lantai ditinggikan sekiranya setinggi setengah meter. Sama seperti lantai susudungon, ada 2 kayu utama yang diikat di tiang penyangga atap atau kadang dibuat silangan kayu yang berfungsi sebagai tonggak lantai. Setelah itu diatas 2 kayu utama tersebut diberi bilahan-bilahan kayu yang disusun memanjang. Rumah ditano ini, sudah mengenal pembagian ruang antara ruang laki-laki dan wanita. Pembagian ruang untuk laki-laki ditandai dengan
naiknya lantai beberapa centimeter dari lantai yang dikhususkan untuk perempuan. Rumah ditano ini merupakan bentuk tempat tinggal yang paling sering digunakan oleh Orang Rimba. Kemudian ada 2 jenis atap yang berlaku untuk bolalapion, susudungon, dan rumah ditano. Antara lain yaitu atap yang terbelah dua dan atap yang dimiringkan. Biasanya atap yang terbelah dua digunakan pada atap yang terbuat

dari plastik hitam. Kemudian biasanya atap yang dimiringkan digunakan pada atap yang berbahan dari daun serdang dan banal. Rumah ditano ini juga sudah mengenal pembagian ruang antara laki-laki (jenton) dan wanita (betino). Ruang

genah

laki-laki ditandai dengan dinaikannya lantai beberapa centimeter diatas lantai untuk ruang wanita. Rumah ditano seperti ini, banyak digunakan oleh Orang Rimba yang telah berkeluarga. Ruang laki-laki untuk sang ayah dan anak laki-laki yang masih kecil dan ruang wanita untuk ibu dan anak-anak perempuan. Untuk rumah ditano, bolalapion, dan susudung-on, para remaja putra dan perempuan dibuatkan tempat tinggal khusus bagi mereka. Yang dikenal dengan istilah pondok kekulup-on untuk para remaja putra dan keupik-on untuk para remaja putri. Setelah para anak-anak beranjak remaja mereka diharuskan untuk tinggal bersama saudara-saudara lainnya yang sebaya dalam 1 pondok.

Rumah godong. Bentuk tempat tinggal rumah godong ini sangat jauh berbeda bila dibandingkan dengan Bolalapion, Susudongan, dan Rumah ditano. Rumah godong ini sudah berbentuk layaknya rumah ladang yang mempunyai tingkat, atap, dan berdinding. Biasanya atap terbuat dari daun banal dan daun serdang. Kemudian dinding rumah biasanya terbuat dari kulit kayu, dan lantainya terbuat dari bambu yang dijalin dengan rotan. Pada rumah godong ini tidak memakai paku, tetapi menggunakan rotan sebagai pengikat kayu dan dinding. Rumah godong ini biasanya didirikan di ladang yang akan dibuka. Sama seperti rumah di tano, pembagian ruang di dalamnya juga dibagi atas ruang laki-laki (jenton) dan wanita (betino). Ruang laki-laki ditandai dengan dinaikannya lantai beberapa centimeter diatas lantai untuk ruang wanita. Biasanya bila mereka membangun rumah ditano ini, mereka tidak lagi membangun pondok kekulup-on dan keupik-on. Semuanya tinggal dalam 1 rumah godong ini. Kemudian untuk memisahkannya, dipasang kain yang dibentangkan sebagai tanda batas ruang laki-laki dan wanita. Tetapi kalau ruang tersebut tidak mencukupi untuk menampung semuanya, biasanya mereka mendirikan tempat tinggal sementara di sekitar ladang. Mereka juga tidak mengenal ruang tamu dan dapur di dalam rumah. Mereka biasanya menerima tamu di luar rumah atau di sekitar ladang. Tamu diterima di lokasi di dalam ladang yang dianggap teduh. Bila tamu atau tuan rumah mempunyai penyakit, maka tuan rumah akan menerima tamunya di luar ladang dengan dibatasi semak yang menghalangi langsung pandangannya. Mereka juga biasanya memasak diluar rumah. Kebiasaan ini juga berlaku dengan bentuk-bentuk tempat tinggal mereka lainnya (bolalapion, susudungon, dan rumah ditano). Untuk rumah godong ini, biasanya mereka membuat tempat berteduh dipinggir rumah sebagai tempat memasak dan menyimpan peralatan memasak mereka. Tinggi rumah godong ini bisa mencapai 1,5 – 2 meter dan luas kira-kira 3×4 meter.

 

Konsep Rumah 

Sebenarnya tidak ada aturan baku secara ketat dalam hukum adat mereka yang mengatur penempatan tempat tinggal ini. Tetapi ada aturan yang mesti diikuti oleh si pembuatnya. Seperti harus ada pembagian ruang antara laki-laki dan wanita untuk rumah ditano dan rumah godong. Berbeda dengan rumah godong, untuk rumah di tano, bolalapion, dan susudungon, biasanya untuk para remaja putra dan wanita dibuatkan tempat tinggal khusus bagi mereka.  Rumah  dikenal dengan istilah pondok kekulup-on untuk para remaja putra dan keupik-on untuk para remaja putri. Aturan pembagian ruang ini sangat ketat diberlakukan oleh Orang Rimba. Juga aturan penempatan lokasi tempat tinggal yang sebaiknya menjauhi daerah yang dipantangi. Seperti daerah suban atau rawa. Daerah yang menurut mereka dihuni oleh dewa jahat. Karena takut akan kutukannya, maka harus mereka jauhi.

Aturan ketat mulai berlaku bila mereka membangun suatu panggung yang digunakan untuk tempat upacara yang dikenal sebagai bale behatop. Banyak aturan dan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam membangun bale behatop ini, karena sifatnya yang sakral. Diatas panggung ini mereka akan menari, diiringi bunyi-bunyian dan nyanyi-nyanyian. Aturan ketat lainnya terjadi ketika mereka harus mendirikan pondok beranak. Yaitu pondok tempat bagi para ibu hamil akan melahirkan anaknya. Pendirian pondok beranak harus ditempat yang telah dinilai oleh dukun sebagai tempat yang bersih, jauh dari dewa jahat dan silumon. Daerah ini mereka sebut sebagai tano peranok-on. Dengan dibantu dukun beranak, sang ibu ditemani suami dan keluarganya akan melahirkan anaknya di tano peranok-on yang dipilihnya. Pondok beranak Orang Rimba ini sama dengan seperti rumah ditano mereka. Hanya letaknya yang khusus yaitu di daerah tano peranok-on.

Seks sebagai suatu kebutuhan reproduksi dan biologis mempunyai nilai yang cukup penting bagi mereka. Tatanan nilai perkawinan dalam hukum adat mereka telah diatur  dengan baik bagaimana tata cara dan sangsi-sangsinya. Hubungan seksual oleh pasangan suami istri, biasanya mereka lakukan di dalam tempat tinggal dan shelter. Biasanya mereka menutupi hubungan seks itu dengan kelambu besar yang mereka buat dari kain sarung yang disambung-sambung hingga membuat suatu  sarung yang besar. Dan mereka punya kebiasaan untuk melakukan hubungan seks pada malam hari setelah anak-anak mereka tidur.  Kadang mereka (suami istri) juga pergi ke dalam hutan, menggelar tikar dan  melakukan hubungan seks. Jadi sebenarnya dalam kondisi tempat tinggal apapun, hubungan seksual tetap dapat mereka lakukan.

DSC03539[edtHubungan keluargapun sebenarnya punya nilai yang kuat dalam masyarakat Orang Rimba ini. Anak perempuan akan selalu ikut rombongan ayah-ibunya, kemanapun mereka pergi (matrilineal). Laki-laki yang ingin mengawini anak gadisnya harus bekerja selama waktu yang ditentukan, demi kepentingan keluarga si gadis (semendo). Setelah itu keluarga si anak (setelah menikah) akan rombongan ayah-ibunya. Ketika anak perempuan atau laki-lakinya beranjak remaja, mereka akan berpisah tempat tinggal.  Tetapi masih dalam satu lokasi pemukiman.

Bagi Orang Rimba, sejak kecil anak-anak mereka harus diberi pengetahuan tentang hukum-hukum adat dan pengetahuan kehidupan yang ada di dunia. Pelajaran akan kehidupan itu mereka peroleh dari keikutsertaan mereka dalam kegiatan sehari-hari orang tua mereka. Sambil bekerja, mereka mulai dikenalkan dengan hukum-hukum adat.  Setelah remaja dan tinggal dalam tempat tinggal sendiri, mereka wajib mencari makan demi orang tua dan keluarganya. Jadi sebenarnya konsep pendidikan anak-anak mereka tidak terbatas pada lingkungan tempat tinggal saja, tetapi pada aplikasi kehidupan nyata. Kontrol orang tuapun tetap ada, meskipun mereka tinggal di tempat tinggal yang berlainan. Jadi, sebenarnya tempat tinggal Orang Rimba dapat menunjukan respon keluarga terhadap jaringan kekerabatan diantara mereka. Arsitektur tradisional mereka  berespon terhadap proses perubahan keluarga yang selalu berubah secara kontinyu, bertambah atau berkurang anggota keluarga. Bila ada yang mati/berkurang, maka mereka harus melangun yang berarti harus mencari lokasi tempat tinggal baru dan mendirikan tempat tinggal yang baru pula. Bila ada yang menambah karena perkawinan, maka akan bertambah tempat tinggal dan semakin luas ruang gerak  pemukiman itu.

Dengan tingkat mobilitas yang tinggi, barang bawaan merekapun juga sederhana dan fungsional. Alat-alat rumah tangga, alat-alat berburu, dan baju-bajupun juga terbatas. Tetapi ada hal yang cukup menarik, yaitu koleksi kain mereka yang begitu banyaknya. Kadang hingga 2 – 4 buntalan kain. Kain ini mereka perlukan untuk membayar “denda” adat. Dalam hukum adat mereka, apabila mereka hendak menikah atau melakukan kesalahan akan didenda dengan membayar sejumlah kain. Jumlah kain yang dibayar tergantung dari tingkat kesalahan, dari puluhan hingga ribuan lembar kain yang mesti dibayar. Kain juga melambangkan tingkat status kekuasaan adat seseorang. Semakin banyak  kain yang dipunyainya, maka semakin kuasalah ia untuk melakukan banyak hal tanpa dibatasi adat. Dengan konsekuensi seperti itu, maka ia akan selalu membawa buntalan kainnya kemana ia pergi. Tetapi kadang pula, kain-kain tersebut dititipkan pada saudara yang mempunyai rumah godong.

Tempat tinggal Orang Rimba juga menjadi bentuk simbol identitas. Karena mereka beranggapan bahwa rumah yang berpijak ditanah, yang dibangun dengan semen adalah rumah orang terang. Rumah orang yang secara cultural sangat berbeda dengan mereka. Menurut Sandbukt, dalam melihat dunia manusia, Orang Rimba membuat dikotomi antara dirinya disatu sisi dengan Orang Melayu di sisi yang lain. Orang Melayu diartikan sebagai orang yang tinggal didesa dan beragama Islam. Secara kontras  Orang Rimba beranggapan bahwa mereka adalah orang yang tinggal di hutan dan beragama sesuai dengan agama nenek moyang mereka.  Berkaitan dengan Orang Melayu, mereka  mengenal konsep dasar layu. Layu diassosiasikan dengan binatang natong-layu atau landak, yaitu binatang yang berbahaya, serba tidak pasti datangnya, dan  menakjubkan. Binatang ini bagi Orang Rimba dianggap menakjubkan karena sifatnya yang serba tiba-tiba datangnya dan membuat tumbuhan yang dilewatinya mati atau layu.

Sandbukt melihat ada kesamaan konotasi antara natong layu dan orang Melayu. Orang Melayu, ungkap Sandbukt bisa dilihat dari Me-Layu, yang artinya orang yang membawa kerusakan dan bencana. Ini dibuktikan dengan bentuk-bentuk pantangan bagi orang luar yang diassosiasikan sebagai orang Melayu dan beragama Islam (Sandbukt, 1984: 85-87). Selain itu dengan tingkat mobilitas gerak yang tinggi, tempat tinggal menjadi sangat fungsional, adaptis, dan kontekstual. Itu tercermin juga dari desain tempat tinggal yang sederhana, alami, bahan mudah didapat, dan minim bahkan tidak dekorasi yang mendukung. Aspek adaptis selain dapat dilihat dari bahan baku yang mudah di dapat dari alam, kemudian bentuknya, lokasinya,  kemudian juga dapat dilihat dari adaptis terhadap tujuan dan kepentingan mereka akan tempat tinggal. Dan terbukti comfortable bagi mereka.

Penutup

Menurut saya, konsep Orang Rimba yang berkaitan dengan tempat tinggal mereka dapat dilihat dalam 2 kondisi,  yaitu kondisi ketika mereka memilih untuk menggunakan shelter/tempat perlindungan (bolalapion, susudung-on, dan rumah ditano) dan kondisi ketika mereka harus menggunakan rumah godong.  Ketika mereka mendirikan shelter, mereka lebih cenderung kepada tujuan yang bersifat praktis dan cepat. Seperti berburu, melangun, merayau, dan pergi ke suatu tempat dengan tujuan tertentu. Sehingga tidak menutup kemungkinan, mereka mempunyai 2 tempat tinggal. Yaitu rumah godong di ladang mereka dan shelter-shelter seperti ini ketika mereka berburu atau melangun. Tetapi tidak menutup kemungkinan juga, mereka akan tinggal berbulan-bulan hingga bertahun-tahun tinggal di rumah ditano tanpa mempunyai rumah godong. Bolalapion dan susudongan cenderung pada tingkat mobilitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan rumah ditano. Memang dari sisi kenyamanan, rumah ditano dianggap lebih nyaman dan aman dibandingkan bolalapion dan susudongan karena lantainya yang dijalin lebih rapi dan ditinggikan setengan meter ke atas.

Sikap mereka dalam penentuan pendirian tempat tinggal sebenarnya sangat kontekstual dan practical. Seperti sewaktu mereka mengamati suatu areal baru yang cocok untuk dibuka ladang, maka mereka akan memutuskan tinggal didaerah itu dalam jangka waktu yang lama. Sebagai konsekuensinya, mereka akan mendirikan rumah godong  sebagai tempat berteduh yang dinilai lebih permanen, kuat dan secara fisik mampu melindungi mereka di daerah yang cukup terbuka (ladang). Karena rumah godong mempunyai dinding, berpanggung, dan atap yang  kuat dan tahan lama dibandingkan dengan rumah ditano. Sebaliknya ketika mereka merasakan bahwa daerah itu tidak layak untuk dibuat ladang atau mereka punya alasan tertentu untuk meninggalkannya, maka mereka akan membuat rumah ditano saja.

Memang rumah godong lebih  identik dengan ladang, karena bentuk dan fungsinya yang secara ekologi sesuai dengan keadaan di ladang yang terbuka. Konsekuensi keadaan yang terbuka di ladang membawa dampak fisik bagi desain dan bentuk tempat tinggal Orang Rimba.  Selain itu rumah godong kadang mempunyai tempat untuk menyimpan yang lebih luas dan aman dibandingkan rumah ditano.  Biasanya mereka meninggalkan rumah godong ketika ladang dirasakan sudah tidak dapat menghasilkan padi lagi (2 kali masa panen atau kurang lebih 2 tahun). Ladang, selain ditanam padi juga ditanam pohon karet. Setelah 7 tahun, mereka kembali ke lokasi yang sama untuk menyadap getah karetnya.  Jadi alternatif pilihan tempat tinggal juga adaptif dengan lokasi yang akan didirikan.

Kalau melihat bahwa sesungguhnya rumah godong mempunyai fungsi tidak hanya sebagai tempat berlindung saja, tetapi berfungsi untuk reproduksi, berkeluarga, storage/menyimpan, dan ekspresi “kekubuan” mereka, maka rumah godongpun dapat dikatakan sebagai bentuk konsep rumah. Konsep rumah godong ini banyak dipengaruhi oleh konsep rumah ladang Orang Melayu, karena punya fungsi dan bentuk yang sama.  Sesuai dengan konsep rumah ladang Orang Melayu yang bersifat tidak permanen/menetap dan mengikuti kemana ladang dibuka, konsep rumah godongpun juga punya kesamaan.  Yaitu hanya didirikan ketika mereka akan  membuka ladang.  Sebenarnya rumah godong sama-sama tidak permanennya dengan rumah ditano, tetapi ia mempunyai tingkat durasi dihuni yang lebih lama dibandingkan rumah ditano .

Apabila rumah ditano tingkat durasi dihuninya dalam hitungan bulan, maka rumah godong dalam hitungan tahunan. Kalau  melihat fungsi rumah sebagai tempat tinggal dan berlindung, berkeluarga atau bereproduksi, bersosialisasi, membersihkan diri, storage atau sebagai tempat menyimpan, dan sebagai wahana manusia untuk mengekspresikan dirinya, maka rumah ditano secara konsep dapat dikatakan sebagai suatu rumah. Jika kita lihat karakter tempat tinggal Orang Rimba yang lebih bersifat terbuka dan komunal. Terbuka artinya ia tidak melihat ruang di dalam tempat tinggal menjadi terbatasi dengan adanya dinding dan tempat tinggal itu sendiri. Karena mereka melihat bahwa sebenarnya rumah adalah alam ini atau “halom nioh”. Mereka bisa  tinggal bisa dimana saja, asal sesuai dengan lokasi-lokasi yang tidak dipantangkan oleh hukum adat mereka dan secara ekologis menguntungkan. Komunal berarti sebenarnya mereka egaliter dan tidak mengenal  konsep ruang privasi khusus. Ini dapat dilihat dari tidak adanya konsep ruang tamu, keluarga, dan privasi di dalam tempat tinggal mereka. Tempat tinggal khusus untuk pemimpin dan dukunpun tidak mereka tidak mengenal. Alam menjadi ruang tamu, keluarga, dan ruang berkumpul.

Rumah ditano dan rumah godong bagi mereka hanya berfungsi sebagai tempat tinggal sementara saja, untuk kemudian berpindah ke daerah yang lain. Apabila kita menghubungkan konsep tempat tinggal Orang Rimba dengan konsep rumah yang bersifat permanen/menetap, maka nampak tidak ada kesesuaiannya. Tetapi apabila kita menghubungkannya dengan konsep rumah secara fungsional, practical, dan kontekstual, maka akan nampak kesesuaian konsep diantaranya keduanya. Dengan mendirikan bolalapion, susudongan, rumah ditano dan rumah godong, secara fungsional kebutuhan mereka akan tempat berlindung, berasosialisasi, bereproduksi, membersihkan diri, storage, dan sebagai wahana ekspresi atau simbol “kubu” mereka.

 

Daftar Pustaka

Amos Rapoport, Australian Aboriginnes and The definition of Place,

Colin Duly, The House of Mankind

Sandbukt, Oyvind.,”Kubu Conception of Reality” dalam Asian Foklore Studies, Kenkyusha Printing Tokyo, 1984.

Sandbukt, O. dan Warsi, Orang Rimba: Penilaian Kebutuhan Bagi pembangunan dan Keselamatan Sumberdaya, Laporan untuk Bank Dunia, disampaikan pada Lokakarya JRDP, Jambi, 17-30 Oktober 1998.

Sandbukt, O., “Tributary tradition and Relation of affinity and gender among the Sumatran Kubu” dalam Hunter and Gatherers, Volume 1. History, Evolution and Social Change, St. Martin’s Press, New York, 1991.