Resensi  Film Dokumenter “This is What Winnings Looks Like”

Penang, 28 Maret 2014

 

Film ini adalah film journal dokumenter oleh Ben Anderson tentang sisa-sisa perang Afghanistan. Ben adalah salah satu journalis spesialis perang kontemporer. Ia mendapatkan pujian dari hasil beberapa karyanya. Terutama tentang Afghanistan.

Ben Anderson

Film “This is What Winnings Looks Like” – adalah hasil dokumentasinya mengikuti satuan marinir Amerika dikota Sangin. Seperti diketahui tahun 2014 adalah batas terakhir seluruh penarikan tentara Amerika dan Inggris dari Afghanistan. Tidak segan mereka mengatakan “It is our Victory over Taliban”. Dan kemudian Obama merencanakan bahwa semua ‘security action’ akan diambil alih oleh tentara dan polisi Afghanistan (ANA). Amerika mendeklarasikan bahwa keadaan aman dan Amerika hanya berfungsi sebagai pengawas dan penasihat tentara dan polisi Afghanistan.  Dan film ini menunjukan kenyataan sebaliknya. Sama seperti judulnya “This is what winnings look like” . Apakah memang seperti ini rupa kemenangan itu ?

Dengan diselingi interview antara Vice dan Ben, film ini mengalir. Mengartikan apa yang disebut sebagai kemenangan. Dan ternyata ppa yang disebut kemenangan memang amatlah absurd. Bahkan beberapa desa yang tak seberapa jauh dari pos militer US di Sangin, masih dikuasai Taliban. Membedakan Taliban dan bukan masih saja sulit. Ketidakstabilan kekuasaan terjadi. Polisi semakin dibenci oleh penduduk. Mereka sering melakukan pencurian, menembaki orang yang tak bersalah, mengambil atau menculik anak-anak kecil yang dijadikan ‘Bacha Boys’ – sex slave, ataupun korupsi. Nampak marinir US sangat tertekan dan kewalahan menghadapi rekan-rekan lokal mereka.

Yang terjadi bahwa marinir US atau Amerika tidak memahami sistem dan sejarah Afghanistan sendiri. Mereka mencoba mengenalkan dan menerapkan suatu sistem operasional standard minimal pasukan tentara dan polisi selayaknya. Namun standard internasional dan profesional tersebut  tidak dapat dipahami oleh polisi lokal Afghan sendiri. Para Afghan ini sudah hidup dengan sistem lokal sekian ratus tahun. Peperangan antar suku, sejarah perang melawan penjajahan, kemudian dominasi tetua suku menjadi warna yang kuat dalam kebudayaan mereka. Hal ini yang membentuk pandangan dan sikap yang berbeda. Sikap resiliance yang membuat mereka bertahan dari semua konflik yang dihadapi.

Tidak ke Taliban tapi tidak juga ke Pemerintah. Mereka menerima semuanya dengan baik.

Menarik misalnya ketika seorang tentara US, mempertanyakan praktek ‘Bacha Boys/Chai Boys” yang berlaku dikepolisian. Mereka menginginkan agar komandan yang melakukan ditangkap dan diadili. Namun komandan distrik sangat keberatan. Meskipun berkata iya, namuk esoknya dibatalkan karena tidak ada komandan ditempatnya tidak punya Chai Boys. Jadi bagaimana ia memecat dan menghukum semua komandannya. Padahal ia membutuhkannya untuk menghadapi Taliban.

Gap teknologi dan pengetahuan juga terjadi. Amerika memberikan senjata dan peralatan yang memadai. Dengan harapan mereka bisa meggunakannya dengan baik. Tetapi mereka tidak bisa menggunakan dan merawatnya. Jadilah terbengkalai.  Dan marinir US melihat ketidakmampuan mereka. Namun para polisi lokal melihat bahwa marinir US tidak cukup memberikan amunisi dan peralatan itu. Percuma jika hanya janji mendukung tanpa peralatan.

 

 

Yang terjadi sesungguhnya adalah perang tidak pernah usai di Afghanistan. Setelah Amerika dan Inggris pulang, sebenarnya mereka masih harus melawan Taliban. Seperti yang dikatakan oleh seoarang tetua “Mereka menemukan alasannya sendiri untuk pulang. Tidak bagi kami. Mereka menjanjikan akan mengusir musuh-musuh kami. Kenyataannya tidak demikian”.

Dan pada akhirnya mereka menemukan caranya sendiri. Seperti kata-kata seorang commander polisi, Gulif Khan kepada penduduk desa yang dianggap pro-Taliban, dan mereka meminta polisi melindungi mereka sebagaimana tugas polisi. Dan ia berkata, “We give you weapon. Defend yourself”.