Adi Prasetijo, peneliti ICSD dan Dewan Anggota KKI Warsi,

Media Indonesia, 11 Maret 2015

Beberapa hari terakhir ini kita disuguhkan berita tentang kematian 11 Orang Rimba akibat kelaparan. Tak hayal berita ini membuat pemerintah kebakaran jenggot. Berita inipun dibantah oleh pemerintah, dengan mengatakan bahwa sebab-sebab kematian Orang Rimba, atau biasanya dulu dikenal sebagai Suku Anak Dalam sebagai akibat penyakit dan tahan tubuh mereka yang lemah sehingga menyebabkan kematian.

Permasalahan atau fenomena ini bukanlah hal yang pertama dialami oleh Orang Rimba. Tahun 1998 misalnya, kejadian kelaparan ini pernah dilaporkan oleh media lokal dan mendapatkan perhatian dari publik Jambi.

Fenomena ini adalah puncak dari ‘simtom’ akar permasalahan sesungguhnya yaitu semakin menipisnya hutan sebagai sumber penghidupan mereka sebagai akibat proses deforestasi yang semakin tidak terkontrol. Terlebih kemampuan mereka untuk mengadaptasi modernitas yang berjalan tidak seimbang dengan perubahan alam yang berjalan cepat.

Hutan bagi Orang Rimba, atau kelompok suku asli, tidak hanya berfungsi sebagai sumber penghidupan subsisten semata tetapi juga sebagai sumber identitas budaya. Selain hutan sebagai sumber mencari makan, penghidupan dan pengobatan, hutan bagi mereka juga sebagai sumber ritual budaya. Kehilangan akan hutan akan merusak atau menipiskan identitas budaya mereka. Dalam konteks seperti ini, kehidupan Orang Rimba adalah sangat rentan. Tidak hanya rentan secara alam tetapi juga secara ekonomi dan budaya.

Sesat Pikir Negara

Selama ini, kelompok Orang Rimba atau kelompok suku-suku seperti ini tidak mempunyai posisi yang jelas dalam sistem politik modern Indonesia. Kementrian Sosial menyebut mereka sebagai KAT atau Kelompok Adat Terpencil, dimana Negara memposisikan mereka sebagai identitas pinggiran yang harus dirubah pola hidup dan orientasi hidupnya kedalam kebudayaan masyarakat dominan. Tidak mengherankan program Kemensos selama ini selalu mengarah kepada pemukiman kembali dan terintegrasinya budaya mereka ke budaya dominan.

Negara tidak melihat bahwa permasalahan utama yang dihadapi oleh kelompok suku asli semacam ini adalah semakin merosot dan hilangnya wilayah atau hutan, yang menjadi sumber penghidupan mereka. Negara bahkan melihat bahwa akar permasalahan utama kelompok suku asli adalah ketertinggalan budaya mereka yang dinilai tidak sesuai budaya normal seperti masyarakat normal. Mereka dilihat sebagai ‘penyakit sosial’ yang perlu disembuhkan dan diperadabkan.

Dengan pemahaman sesat pikir seperti ini maka yang terjadi adalah kepunahan identitas budaya kelompok suku-suku asli, seiring hilangnya sumber daya alam mereka. Identitas budaya mereka yang sangat kuat terikat pada wilayah dan teritori membuat identitas budaya rentan ‘hilang’ terabsorsi ke budaya mainstream.

Keunikan budaya tidak dipandang sebagai suatu kekayaan yang mesti dihormati dan dilindungi namun dilihat sesuatu yang tidak semestinya, dan perlu untuk diluruskan. Arah pembangunan yang ‘mainstream oriented’ tidak memberikan ruang bagi kelompok suku asli, atau kelompok masyarakat adat ini mengembangkan identitas budaya dan ruang hidupnya. Yang terjadi adalah mereka mengalami situasi ketidaksesuaian budaya dalam mengadapatasi perubahan ini.

Negara Yang Abai

Dalil negara terhadap kelompok macam ini adalah mereka menolak perubahan. Tapi apakah mereka menolak perubahan ? Tentu saja tidak. Perubahan adalah suatu keniscayaan yang tidak bisa ditolak. Mereka menyadari bahwa mereka tidak bisa menolak perubahan yang terjadi disekitar mereka. Lambat laun mereka harus menyesuaikan atau terimbas hilang.

Permasalahannya adalah apakah mereka mempunyai pilihan untuk hidup menjadi diri sendiri, sesuai dengan identitas budaya yang mereka miliki. Selama ini Negara hanya memfasilitasi kelompok-kelompok suku asli yang mau untuk berubah sesuai kehendak Negara. Bagaimana dengan kelompok suku asli lain, yang memilih untuk hidup berbeda ? akankah mereka punya hak untuk menentukan nasibnya sendiri ?

Jika kita merujuk kepada Deklarasi PBB untuk kelompok suku asli tahun 2007, atau UNDRIP (United Nation Declaration on The Rights of Indigenous People), Negara seharusnya mengenali, menghormati dan melindungi hak kelompok suku asli terutama adalah hak atas tanah, wilayah atau teritori beserta sumber daya alam yang dipunyai sebagai bagian dari pengakuan hak azasi manusia mereka.

Semestinya Negara menghormati dan melindungi hak-hak kelompok suku asli untuk menentukan nasib dan identitasnya. Terutama adalah hak-hak mereka untuk hidup sesuai dengan identitas budayanya. Dan hutan atau wilayah adat adalah titik utama pengakuan itu.

Pengabaian Negara untuk mengenali, menghormati dan melindungi hak-hak kelompok suku-suku asli ini maka bisa disebut Negara telah melakukan pelanggaran Hak Azasi Manusia. Dan bisa disebut bahwa dengan pengabaian tersebut maka Negara telah melakukan ‘pembunuhan’ identitas budaya bangsanya sendiri.

Masa Depan

Diterimanya gugatan AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) tahun 2013, Undang-Undang No 41 Tahun 1999, Kehutanan tentang Hutan Adat oleh MK, sesungguhnya adalah dimulailnya babak baru perjuangan hak dan gugatan masyarakat adat.

Namun perjalanan masih panjang. Perjalanan pengakuan Negara terhadap hak-hak masyarakat adat, dan kelompok suku asli masihlah jauh. Mereka harus berjuang demi hak-haknya. Jika Negara hanya ‘mengobati’ gejala-gejala yang ada dipermukaan maka jangan harap kebhinnekaan terwujud. Yang terjadi adalah kemudian kepunahan identitas-identitas budaya kelompok suku asli.

Tidak lain, Negara harus mengakui eksistensi dan memastikan mereka mendapatkan hak dan kewajiban yang sama dengan warga yang lain. Dan perlindungan wilayah, teritori serta hutan sebagai sumber penghidupan mereka adalah suatu yang mutlak untuk dilakukan oleh negara. Sebab melindungi hutan adalah melindungi identitas budaya mereka. Dan itu berarti melindungi kebhinnekaan kita.