Oleh : Adi Prasetijo/prasetijo@gmail.com
Daripada nggak kepakai,tersimpan dilaptop tanpa guna.. silahkan saja kalau mau ada yang mau mengunduh tanpa izin…

Orang Rimba, hutan dan dunianya

Perubahan lingkungan di Propinsi Jambi telah mulai terjadi sejak pertengahan tahun 1970. Pembukaan lahan untuk menjadi hutan produksi (HTI), pemukiman transmigrasi, pengembangan pertanian perkebunan, peningkatan infrastruktur jalan, kebakaran hutan, dan pembukaan lahan hutan yang dilakukan terus-menerus telah menyebabkan penurunan kualitas lingkungan yang ada di dataran rendah Jambi. Seperti misalnya data pada akhir tahun 1997 ditemukan bahwa lahan perkebunan kelapa sawit telah mencapai 24 % dari luas lahan di Prop. Jambi atau sekitar 40% dari areal yang bukan kawasan hutan. Adalah proyek transmigrasi berikut proyek-proyek lain yang mengikutinya (seperti proyek perkebunan sawit, pemukiman, jalan, dll), menurut Bohmer yang secara luas mempengaruhi perubahan lingkungan di daerah dataran rendah Jambi. Proyek-proyek tersebut menurut Bohmer telah mengubah fungsi hutan dari hutan primer ke kawasan perkebunan dan pemukiman. (Kevin Bohmer, 1998).

Sementara itu, Orang Rimba yang hidup dibeberapa wilayah, dihadapan kepada 2 pilihan hidup yaitu tinggal dalam suatu keadaan termarginalisasi in situ secara ekstrim atau sepenuhnya tergusur karena mereka telah kehilangan sumber daya hutan dan lahannya. Beberapa kelompok Orang Rimba telah mengalami perubahan aktivitas subsistensi yang dulunya mendasarkannya kepada aktivitas meramu-berburu, berladang, dan usaha pengumpulan sumber daya alam ke usaha pertanian karet dan jasa. Usaha pertanian karet adalah usaha pertanian yang sudah lama dilakukan oleh Orang Melayu di daerah Jambi. Usaha pertanian karet ini menjadi pilihan utama Orang Rimba, dibandingkan dengan perkebunan sawit. Meskipun usaha dari pihak pemerintah untuk mengajak mereka dalam PIR. Usaha pertanian karet ini telah membuat Orang Rimba telah melakukan intensifikasi sumber daya yang cukup nyata dan meningkatkan produktivitas tenaga kerja mereka (Sandbukt & Warsi,1998,24). Permasalahan utama yang kemudian muncul kepada Orang Rimba yang bertanam karet ini adalah kualitas mutu getah karet mereka yang rendah dan jumlah produksi karet yang terbatas bila dibandingkan dengan karet orang Melayu.

Beberapa kelompok Orang Rimba lain, diantaranya yang sudah tidak mempunyai lahan, mendasarkan kehidupan kepada usaha-usaha jasa, seperti usaha perburuan babi hutan (oleh petani sawit & perusahaan, babi hutan dianggap sebagai hama), mengambil anakan karet untuk kemudian dijual, buruh sadap karet, buruh angkut karet, malahan ada yang mengemis. Disamping itu ada yang bekerja di usaha perkayuan sebagai buruh ongkak, surveyor, operator chainsaw, penjaga log-pond dsb. Usaha perkayuan, baik yang legal maupun yang illegal, bagi mereka cukup memberikan keuntungan yang menggiurkan. Karena mereka akan menerima penghargaan dalam bentuk uang yang dapat mereka gunakan untuk membeli kebutuhan mereka (Sandbukt & Warsi, 1998, 4).

Perubahan aktivitas bentuk produksi mereka ini, memang tidak terjadi pada semua kelompok dan secara permanen membuat mereka meninggalkan sepenuhnya aktivitas subsisten mereka. Seperti Orang Rimba di TN Bukit 12 misalnya, selain berburu-meramu dan berladang, mereka juga bekerja pada beberapa toke kayu. Atau bahkan ada Orang Rimba yang bekerja sepenuhnya di perusahaan tanpa ada kegiatan subsistennya. Usaha pengumpulan hasil hutan sesekali juga mereka lakukan apabila ada permintaan pasar. Contoh lainnya adalah kehidupan Orang Rimba di TNBT yang mendasarkan hampir sepenuhnya kepada usaha pengumpulan hasil hutan, karena kondisi hutannya yang masih relatif baik (Sandbukt & Warsi,1998).

Meskipun begitu, kondisi tanpa sumber daya hutan dan lahan seperti diatas menyebabkan beberapa kelompok Orang Rimba di kawasan barat Prop. Jambi memiliki pandangan masa depan dan peluang untuk mengamankan sumber daya pertanian dengan mengembangkan hal milik atas karetnya. Disamping mereka memandang karet sebagai kunci utama untuk kesejahteraan ekonomi masa depan, kebun karet bagi mereka juga merupakan jaminan kemanan lahan yang mereka miliki. Bagi Orang Rimba yang memiliki kebun karet diantara kelapa sawit dan terjepit diantara lahan-lahan masyarakat transmigran atau kebun-kebun orang Melayu, cenderung untuk memeliharanya secara relatif intensif dan bahkan memelihara tanaman sekunder diantara pohon karet yang ada. Suatu aktivitas yang jarang dilakukan oleh beberapa kelompok Orang Rimba yang ada didaerah lainnya (TNBT & TN Bukit 12) (Sandbukt & Warsi, 1998).

Secara ekologis, Orang Rimba hidup tersebar di 3 wilayah yang berbeda di dataran rendah propinsi Jambi. Yaitu di daerah bagian barat Propinsi Jambi (sekitar jalan lintas timur Sumatra), Taman Nasional Bukit 12, dan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (berada di perbatasan antara Riau – Jambi). Memang dibandingkan dua daerah lainnya, yaitu sekitar jalan lintas timur Sumatra dan Taman Nasional Bukit Tigapuluh, Taman Nasional Bukit 12 dapat dikatakan sebagai pusat “kebudayaan” Orang Rimba. Tidak kurang terdapat 1046 jiwa yang berdiam di Bukit 12 dari 2.670 jiwa Orang rimba yang ada di Jambi. Selebihnya 1.524 jiwa atau 60 % berada di sekitar Bukit 30 dan kebun-kebun karet serta sawit transmigrasi sekitar jalan lintas timur Sumatra, Padang – Lampung. Tercatat terdapat 1259 orang yang berdiam di kawasan barat propinsi Jambi ini. (Sandbukt & Warsi, 1998). Dari kedua lokasi tersebut diatas, yaitu TNBT & Taman Nasional Bukit 12, kawasan barat Prop. Jambi merupakan kawasan yang paling besar mengalami perubahan, karena peruntukan lahan dikawasan ini dipergunakan bagi lokasi transmigrasi dan perkebunan sawit.

Kehidupan Orang Rimba memang mempunyai kerterkaitan yang erat dengan lingkungan alam. Misalnya nampak dalam aktivitas subsistensi mereka, yaitu remayow (berburu-meramu) dan behuma (berladang). Kedua aktivitas subsisten ini memang menempatkan hutan dan lingkungan sebagai basis pengelolaanya. Selain kedua aktivitas subsistensi tersebut, Orang Rimba sebagai masyarakat yang mempunyai tingkat mobilitas residensial yang tinggi, oleh Oyvind Sandbukt dikatakan sebagai ujung tombak perdagangan kesultanan Melayu Jambi di Selat Malaka beberapa abad yang lalu. Orang Rimba yang tinggal dihulu sungai-sungai kecil yang merupakan induk S. Batanghari di Jambi dan S. Musi di Palembang, adalah pencari sumber daya hutan (jenang, rotan, damar, gaharu, & balam) yang tangguh (Sandbukt,1991). Sebagai pengumpul sumber daya hutan, mereka merupakan bagian dari suatu sistem yang terintegrasi dengan struktur birokrasi kesultanan Melayu Jambi pada waktu itu. Sistem birokrasi diperkenalkan kepada mereka. Dalam struktur birokrasi itu, mereka dikenalkan dengan sistem jenang. Fungsi utama jenang (orang Melayu yang menjadi penghubung antara Orang Rimba dan dunia luar) sebenarnya adalah mengumpulkan pajak (jajah) hasil bumi, dan menyelesaikan berbagai permasalahan konflik ditingkat lokal. Jenang dan waris seakan-akan telah menjadi pintu masuk ke dunia mereka. Cara mendapatkan jajah/pajak dengan menjalankan serah atau mempertukaran barang hasil bumi dengan barang dagangan dari luar, seperti kain, rokok, dan gula. Hubungan Orang Rimba dan orang luar ini (dalam hal ini dulunya diwakili oleh waris & jenang) memang tidak menguntungkan bagi mereka. Oleh Sandbukt kemudian dikatakan bahwa aktivitas mengumpulkan hasil sumber daya hutan Orang Rimba ini dilihat sebagai bentuk mode subsistensi mereka karena berpengaruh luas terhadap kehidupan (Sandbukt, 1991, 110)(Sandbukt, 2001). Tetapi menurut Person tujuan utama Orang Rimba untuk mengumpulkan sumber hasil hutan, sebenarnya tidaklah didasarkan pada pemenuhan kebutuhan subsisten, tetapi lebih mengacu kepada eksploitasi sumber daya alam demi kepentingan perdagangan atau pertukaran eksternal. (Person, 1989, 508). Gaya hidup Orang Rimba yang mendasarkan kepada aktivitas ekonomi ini, mempunyai kemiripan dengan gaya hidup Orang Punan. Seperti apa yang diungkapkan oleh Carl F. Hoffman, bahwa orang Punan mendasarkan kehidupannya pada pengumpulan hasil hutan, bukan pada aktivitas berburu (Carl Hoffman, 1985).

Disamping lingkungan alam (hutan) berfungsi sebagai basis subsisten dan ekonomi, lingkungan alam sekitar juga mempunyai makna budaya bagi mereka. Makna budaya tersebut misalnya tercermin dalam sisi identitas atau jati diri mereka sebagai Orang Rimba. Dalam melihat dunia manusianya, Orang Rimba membaginya dalam dikotomi antara orang Kubu dan orang Melayu. Definisi Orang Melayu mereka kaitakan dengan konsep dasar layu. Layu diassosiasikan dengan binatang natong-layu atau landak, yaitu binatang yang berbahaya, serba tidak pasti datangnya, dan menakjubkan. Binatang ini bagi Orang Rimba dianggap menakjubkan karena sifatnya yang serba tiba-tiba datangnya dan membuat tumbuhan yang dilewatinya mati atau layu. Ada kesamaan konotasi antara natong layu dan orang Melayu. Orang Melayu, bisa dilihat dari Me-Layu, yang artinya orang yang membawa kerusakan dan bencana. Ini dibuktikan dengan bentuk-bentuk pantangan bagi orang luar yang diassosiasikan sebagai orang Melayu dan beragama Islam. Orang Melayu diartikan sebagai orang yang berdiam di luar hutan, tinggal didesa dan beragama Islam. Bagi Orang Rimba daerah luar hutan ini dianggap wilayah yang selalu terang benderang, bermandi cahaya matahari, jauh dari kegelapan hutan. Sehingga kemudian mereka menyebut orang Melayu dengan sebutan orang terang, atau orang yang selalu hidup ditempat terbuka. Berbeda dengan mereka, Orang Rimba yang tinggal di dalam hutan. Hutan kemudian telah menjadi wilayah otoritas penuh mereka. Desa atau dunia luar, bagi Orang Rimba adalah wilayah otoritas penuh orang Melayu. Pembedaan wilayah otoritas ini kemudian terefleksi ke dalam jati diri dan bentuk-bentuk pengelolaan sumber daya hutan yang dilakukan oleh Orang Rimba secara mandiri, sebagai orang yang tinggal dalam hutan dan Orang Melayu sebagai orang terang atau orang yang tinggal didunia luar (Sandbukt, 1984, 85-87).

Contoh lain makna budaya hutan bagi Orang Rimba terlihat dalam dunia kosmologi mereka. Orang Rimba membagi dunia semestanya, dalam halom nio (dunia sekarang ini tempat mereka berada, yaitu hutan tempat dimana mereka tinggal) dan halom dewo ( dunia tempat dewa-dewa berada). Orang Rimba menerima dunia dewo sebagai dunia yang nyata ada, bahkan lebih nyata dari hutan sebagai dunia yang mereka huni saat ini, yaitu halom nio. Mereka melihat hutan sebagai dunia atau halom nio sebagai tempat mereka bertempat tinggal dan hidup ini merupakan dunia tiruon atau dunia imitasi dari dunia nyata yang sesungguhnya, yaitu halom dewo. Dua dunia ini juga mereka lambangkan dengan konsep dunia kasar (hutan) vs dunia aluy (dunia dewa), yang secara nyata berlawanan tetapi tidak perlu dipertentangkan, karena 2 dunia tersebut menurut mereka dapat berjalan secara harmonis. Pengetahuan-pengetahuan ini telah menjadi nilai-nilai budaya yang berfungsi sebagai pedoman dan pola Orang Rimba dalam memperlakukan lingkungan alam sekitarnya yang terwujud kemudian dalam aturan-aturan adat yang mereka punyai guna tetap menciptakan keseimbangan antara alam tiruan dan alam dewa (Sandbukt, 1984, 89).

Antara Bentuk Produksi dan Practice Orang Rimba

Asumsi dasar budaya sebagai sistem adaptif berkembang dari pemahaman yang bersifat evolusi, yang senantiasa melihat manusia selalu berupaya untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan alam sekitarnya, baik secara biologis/genetik maupun secara budaya. Proses adaptasi dalam evolusi melibatkan seleksi genetik dan varian budaya yang dianggap sebagai jalan terbaik untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan lingkungan yang dihadapi. Adaptasi merupakan suatu proses yang dinamik karena baik organisme maupun lingkungan sendiri tidak ada yang bersifat konstan (Hardestry,1977,45-46). Roy Ellen membagi tahapan adaptasi dalam 4 tipe tahapan yaitu phylogenetic yang bekerja melalui adaptasi genetik individu lewat seleksi alam, modifikasi fisik dari phenotype/ciri-ciri fisik, proses belajar, dan modifikasi kultural. Modifikasi kultural bagi Ellen menjadi supreme bagi homo sapiens, dimana adaptasi budaya dan transmisi informasi dikatakannya sebagai pemberi karakter spesifik yang dominan, sehingga kemudian fokus perhatian adaptasi dipusatkan pada proses belajar, dan modifikasi budayanya (Roy Ellen, 1982, 236-237).

Konsep adaptasi merupakan kunci mekanisme dalam proses evolusi yang mengacu pada keberhasilan, pengukuran kemampuan manusia untuk bereproduksi dan bertahan hidup. Populasi dari organisme diharapkan mampu mencapai hubungan yang efektif dengan habitatnya atau menjadi adaptif terhadap habitatnya yang dapat menjadi pengekalan bentuk kehidupan. Adaptasi baru dilakukakan oleh manusia jika hubungan dengan kondisi habitatnya dirasakan sudah tidak lagi efektif. Adaptasi kultural manusia memang telah membawa peningkatan kebebasan pada diri manusia dari batasan habitat-nya. Konsep dari tingkat pengembangan teknologi dan adaptasi mengacu pada tidak saja pada tehnologi tetapi juga pada konfigurasi institusi dan hubungan sosial yang sesuai dengan efektifitas pemakaian masing-masing sistem energi khusus (Cohen, ).

Adaptasi selain memfokuskan diri kepada kelompok sosial, juga memfokuskannya kepada individual. Menurut Roy Ellen, kelompok (institusi/organisasi) tidak dapat secara langsung teramati karena mereka merupakan abstraksi dari perilaku individual yang diamati. Adaptasi secara kelompok merupakan produk dari adaptasi kumulatif individu atau manipulatif adaptasi dari individu yang powerful atau kolektif dalam group. Adaptasi terjadi melewati praktek kumulatif dari individu. Respon adaptif individu yang dipelajari dapat ditransmisikan kepada yang lain secara independen membawa sifat (Roy Ellen, 1982: 237-238). Respon perilaku dianggap mempunyai respon kecepatan yang tinggi dan secara khusus menyesuaikan diri dengan fluktuasi perubahan lingkungan. Dibandingkan proses adaptif yang bersifat genetik dan fisik, perilaku adalah respon yang dianggap paling cepat dari apa yang organisme dapat lakukan. Apabila mengacu pada proses belajar, respon perilaku tersebut dianggap pula merupakan tingkatan adaptasi yang paling fleksibel. Konsep kunci adaptasi pada tingkat sosial individu kemudian berkembang menjadi perilaku adaptif, tindakan strategik dan sistensis dari keduanya yang disebut strategi adaptif. Perilaku adaptif merupakan term yang lebih umum dan mengacu pada bentuk perilaku yang menyesuaikan pada tujuan, pencapaian kepuasan, dan putusan. Tindakan strategik, dianggap lebih spesifik dan mengacu pada kepentingan khusus yang dipunyai sang aktor. Dalam tindakan stratejik sendiri terdapat konsep yang meliputinya seperti rasionalitas, maksimalisasi, orientasi pencapaian, dll. Strategi adaptif merupakan juga komponen dari tindakan strategi atau tindakan spesifik dengan tingkatan prediksi keberhasilan, dimana diseleksi oleh individu dalam menentukan keputusannya (Ellen, 1982, 271-272).

Peralihan mode/bentuk produksi (mode of production), seperti kasus Orang Rimba dari dari berburu-meramu, berladang dan mengumpulkan hasil hutan ke usaha pertanian karet dan jasa, bagi Tim Inglod terjadi ketika tujuan semula yang berusaha untuk memenuhi kebutuhan subsisten, kini telah berubah untuk tujuan yang sifatnya kapitalistik yaitu akumulasi modal. Bagi masyarakat berburu-meramu, Orang Rimba misalnya, menurut Tim Inglod modal yang diakumulasikannya adalah modal tenaga kerja manusia itu sendiri, sehingga peralihan bentuk produksi juga tidak lepas dari usaha manusia untuk memaksimalkan dan mengefisiensikan produktivitas kerjanya untuk mendapatkan hasil yang maksimal (Inglod, 1991, 269). Fokus utama kajian bentuk produksi ini memang diarahkan kepada proses pengelolaan tenaga yang dimiliki oleh masyarakat. Sebab tenaga (labour) adalah aktivitas kreatif dimana manusia berinteraksi dengan alam, yang secara historik menggunakan akumulasi pengetahuan, tehnik, dan tehnologi dalam rangka untuk memproduksi sesuatu yang dianggap berguna. Secara khusus bentuk produksi didefinisikan sebagai pengaturan alat, tehnik, material, dan obyek yang digunakan dalam proses tenaga kerja, atau obyek yang memediasikan hubungan antara manusia dan alam dalam suatu aktivitas produksi (Thomas Barfield, 1997,325). Sistem produksi yang dilakukan oleh manusia, juga didesain untuk mengalokasikan sumber daya yang dimilikinya. Dalam kasus ini, sumber daya yang dipertaruhkan oleh Orang Rimba adalah tenaga, sumber daya alam mereka (hutan & lahan) modal. Pengalokasian sumber daya ini mengacu kepada aturan kultural yang digunakan oleh manusia untuk mengatur kepemilikannya dan penggunaan sumbernya. Aspek-aspek sistem produksi adalah teknologi yang digunakan (technology), pembagian tenaga kerja (division of labour), dan unit produksinya (unit of production) yaitu personal dan kelompok. Teknologi selain mengacu kepada alat atau mesin, juga mengacu kepada pengetahuan budaya untuk membuat dan menggunakan alat, menambah serta mengimprovisiasi bahan mentah dalam rangka produksi (Spradley & McCurdy, 1987, 277-228). Dengan memfokuskan strategi adaptasi kepada analisis bentuk produksi, maka dengan sendiri membawa pemahaman ekologi dan ekonomi akan berjalan bersama, daripada mempertentangkannya (Roy Ellen, 1982, 278).

Pada awalnya konsep kultur yang bekerja melalui adaptasi kultural dianggap dapat memberikan beberapa alat analitik untuk studi perilaku adaptif, yang mengacu pada seperangkat nilai, precedent (sesuatu yang menjadi teladan), model, atau gaya (peta kognitif), dimana individu dapat memilih dalam rangka sebagai petunjuk keputusannya dan tindakannya, baik sebagai basis kesadaran ataupun yang tidak sadar dalam sosialisasinya. Kultur juga dapat diartikan sebagai pendukung aturan moral, dimana berfungsi sebagai penjaga dalam kebebasan memilih keputusannya sendiri dalam basis prediksi, gratifikasi, atau kebutuhan situasional, tetapi harus memahami norma dari kebaikan, kebenaran, dan resiprositas. Ruang bagi manipulasi dan gerakan yang didalamnya dijaga oleh pola dari keputusan yang ada dalam setiap sistem sosial, dan studi perilaku adaptif seharusnya memperhatikan pola manipulatif sebagai konformitas respon, atau semacam blueprint (Bennet,1976, 275). Tetapi dilain sisi, konsep kultur tersebut telah membuat individu tidak bebas untuk bergerak, karena selalu terpantau oleh struktur dan sistem sosial yang ada. Berbeda dengan apa yang dikemukakan diatas, Bourdieu mengemukakan konsep practise (praktek) yang menekankan adanya hubungan timbal balik antara si pelaku dan konstruksi budaya yang dibangun oleh masyarakat (oleh Bourdieu disebut struktur obyektif). Dalam hubungan timbal balik tersebut, keterlibatan manusia sebagai subyek dalam proses pengkonstruksian budaya lebih ditekankan. Menurut Bachtiar Alam, Bourdieu mencoba menjelaskan bahwa diantara peran manusia sebagai subyek dan kebudayaan sebagai struktur obyektif terdapat hubungan interaksi terus menerus, dimana manusia mencoba mengolah dan mengskontruksi simbol-simbol demi kepentingannya dalam kondisi sosial, ekonomi, dan politik tertentu, tetapi sebaliknya simbol budaya tersebut juga mempunyai kecenderungan menjadi struktur yang baku. Usaha manusia untuk mengkonstruksikan simbol budaya inilah yang disebut Bourdieu sebagai praktek (Bachtiar Alam, 1998). Atau dapat dikatakan mendasarkan pada sebuah hubungan yang bersifat dialektika antara struktur dan agensi (Mahar, Richard Harker, Cris Wilkes,1990,1). Dalam pendekatan practise ini, individu diberikan ruang dan tempat untuk bergerak dan bebas menentukan pilihannya, yaitu dengan melihat praktek yang dilakukan oleh individu/agen tersebut. Dalam pendekatan practise ini mencoba untuk menjelaskan sistem sebagai suatu kesatuan yang integral dengan mengacu kepada praktek yang dilakukan oleh agen tersebut. Pendekatan practise juga tidak perlu mengatakan bahwa akan menjadi suatu integrasi yang harmoni atau seimbang, seperti tujuan adaptasi dalam konsep adaptasi sebelumya yang melihat bahwa arah adaptasi akan menuju pada suatu titik keseimbangan ekosistem. Sistem kemudian tidak lagi dipandang sebagai hegemoni yang mendominasi setiap tindakan sosial dari para agennya. Practise/praktek diartikan sebagai tindakan dalam term pilihan pragmatis dan pemilihan keputusan atau aktif mengkalkulasikan dan menstrategikan tindakan si aktor. Dan tindakan agen tersebut juga tidak terlepas dari kepentingan dan kekuasaan yang dipunyai, perannya sebagai individu dalam masyarakat, dan tergantung pula pada kontekstualisasi practise-nya (Ortner, 1984).

Implikasi lain dari pendekatan ini adalah pola tidak lagi dilihat sebagai suatu hal mutlak ada dalam kultur, bahkan dianggap tidak ada lagi. Nilai-nilai yang dibagi rata kepada semua anggota dianggap sebagai pembatas pada peran individu. Juga nilai-nilai itu tidak memberikan kesempatan untuk invidu beroposisi. Nilai-nilai yang dibagirata/share ini, juga dipertanyakan kembali karena tidak ada nilai-nilai yang benar-benar sama dapat dipedomani, haruslah sesuai dengan konteks waktu dan situasional yang ada. Kalangan anti-esensialis bahkan lebih cenderung untuk menggunakan istilah pengetahuan daripada nilai. Kemudian menjadi penting untuk mengetahui darimana dan proses seperti apakah pengetahuan itu didapat oleh individu. Lalu bagaimana individu tersebut mempertahankannya, karena ia berhadapan dengan permasalahan yang aktual dan haruslah sesuai dengan tujuan/kepentingannya. Lebih lanjut, bagaimana pengetahuan tersebut ditransmisikan kepada individu lain atau direpresentasikan dalam berbagai aktivitas (Vayda, 1994).

Barth menjelaskan lebih jauh bahwa budaya selalu dalam proses pembuatan, sehingga sifatnya selalu dinamis, tidak tetap, dan selalu berubah. Oleh Barth dijelaskan pula bahwa pembedaan sifat budaya sebagai merupakan representasi kolektif dan individual adalah juga suatu pembedaan yang kabur. Persepsi yang melihat bahwa budaya sebagai suatu yang permanen dan merupakan representasi kelompok didasarkan pada kenyataan melihat budaya sebagai suatu yang isolated dan milik grup sosial, bukan pada individu. Padahal dalam kenyataan yang dilihat Barth dalam mendapatkan, penyimpanan dan pengembangan pengetahuan, individu selalu diliputi oleh kelompok sosial sebagai situasi dan konteks sosial, sehingga menyebabkan pengetahuan yang didapat, dipraktekkan dan direproduksi bisa relatif sama atau berbeda. Tetapi dalam prosesnya, pengetahuan yang didapatkan oleh individu bersifat sangat divergen dan mengandung tingkat kreativitas yang tinggi, tergantung dari praksis yang terliputi oleh konteksnya (Barth, 1990).

References:

  1. Alam, Bachtiar , “Konsep Kebudayaan Dewasa Ini: Seputar Pertanyaan mengenai Konstruksi Budaya, Esensialisme dan kekuasaan”, dalam Pokok-pokok Presentasi pada Acara Diskusi Terbatas AAI, Depok, tgl 20 Juni, 1998.
  2. Aritonang, R., “ Verifikasi Berbagai Sebutan Terhadap Etnis Orang Rimba”, dalam artikel Alam Sumatra dan Pembangunan, Vol. II No: 6/Sept. 1999, Warsi dan WWF TNBT, Jambi,1999.
  3. Aritonang, R., “ Verifikasi Berbagai Sebutan Terhadap Etnis Orang Rimba”, dalam artikel Alam Sumatra dan Pembangunan, Vol. II No: 6/Sept. 1999, Warsi dan WWF TNBT, Jambi,1999.
  4. Barth, Fredrik, Cosmologies in The Making, Cambridge University, Pr Reprint edition, February 1990.
  5. Bennet, John, The Ecological Transition, Cultural Anthropology & Human Adaptation, Pergamon Press, New York, 1976.
  6. Borofsky, Robert,The Culture in Motion (Introduction), dalam Assessing Cultural Anthropology, Mc Graw-Hill, 1994.
  7. Bourdieu, The Outline of Practise, Cambridge University Press, London, 1977.
  8. Hardestry, Ecological Anthropology, John Wiley & Suns, New York, 1977.
  9. Hoffman, Carl, The Wild Punan of Borneo; A Matter Economic dalam M. Dove (ed.), The Real and Imagined Role of Culture in Development, Honululu Hawai University Press, 1988.
  10. Inglod, Tim, Foraging mode of production dalam Hunter and Gatherers, Volume 1. History, Evolution and Social Change, St. Martin’s Press, New York, 1991.
  11. J. N. Leonard, The Early Farmers, New York: Times Books, 1970.
  12. Mahar, Cheleen, Harker, Richard, dan Wilkes, Crhris, The Basic Theoretical Position, dalam An Introduction to The Work of Pierre Bourdieu, Macmllan Press, London, 1990.
  13. Ortner, Sherry , “Theory in Anthropology since the Sixties”, dalam Comparative Studies in Society and History, An International Quaterly, Vol 26, 1984..
  14. Person, Gerard, “The Kubu and the Outside World (South Sumatra, Indonesia), The Modification of Hunting and Gathering” dalam Anthropos 84, 1989.
  15. Roy Ellen, Environment, Subsistence, & System, Cambridge University Press, New York, 1982.
  16. Sandbukt, Oyvind. dan Warsi, Orang Rimba: Penilaian Kebutuhan Bagi pembangunan dan Keselamatan Sumberdaya, Laporan untuk Bank Dunia, disampaikan pada Lokakarya JRDP, Jambi, 17-30 Oktober 1998.
  17. Sandbukt, Oyvind., “Tributary tradition and Relation of affinity and gender among the Sumatran Kubu” dalam Hunter and Gatherers, Volume 1. History, Evolution and Social Change, St. Martin’s Press, New York, 1991.
  18. Sandbukt, Oyvind.,”Kubu Conception of Reality” dalam Asian Foklore Studies, Kenkyusha Printing Tokyo, 1984.
  19. Spradley, James & McCurdy, System Economic dalam Conformity & Conflict, Little Brown & Company, Boston, 1987.
  20. Vayda, Andrew, Actions, variations, and Change: The Emerging Anti-Essentialist View in Anthropology dalam Assessing Cultural Anthropology, Mc Graw-Hill, 1994