Oleh Adi Prasetijo, Tulisan lama 2001, hasil pengamatan Ekspedisi Bahau (1994) WWF & Mapagama

 

 

Masyarakat Punan

Sebenarnya Suku Punan ini merupakan salah satu kelompok orang Dayak. Penamaan Punan atau Penan mengacu kepada kelompok orang dayak yang punya daya jelajah/mobilitas yang tinggi. Nama Punan sendiri berasal dari nama yang diberikan oleh pemerintah kolonial Belanda.[1] Masyarakat Punan di Taman Nasional Kayan Mentarang, pada zaman dulu merupakan kelompok suku pengembara yang berasal dari Sungai Malinau. Di S. Malinau ini, mereka mendiaminya bersama Suku Berusu’. Ketika terjadi perpindahan Suku Merap dari Sungai Bahau, mereka kemudian tersebar ke seluruh penjuru wilayah tengah Kalimantan hingga ke Sarawak.[2]. Penamaan mereka memang sangat bervariasi. Setidaknya kini tercatat ada 20.000 orang yang tersebar di Kalimantan dan di Serawak. Hingga kinipun mereka masih tetap berhubungan dan masih mengakui asal usul yang sedarah. Dan tercatat pula sekitar 3.500 orang yang telah diperkirakan telah menetap untuk melakukan perladangan. Masyarakat Penan yang ada di Kalimantan Timur (ujung S. Bahau) , sebenarnya adalah masih kerabat dengan masyarakat Penan yang dulunya berimigrasi ke wilayah Serawak, Malaysia. Dari aspek kebahasaan tidak terjadi perbedaan yang tajam diantara mereka, tetapi namun begitu masing-masing kelompok biasanya mengembangkan bahasa atau dialek sendiri.[3] Demikian pula dengan orang Dayak Kenyah yang ada di sekitar mereka. Tercatat 11 kelompok suku Punan yang ada di Kalimantan (Indonesia) ini, yaitu Punan Aput, Punan Ban, Punan Batu, Punan Benalui, Punan Busang, Punan Kelai, Punan Merah, Punan Oho’, Punan Pemping, Punan Segah, dan Punan Tubu.[4] Sedangkan orang Penan Benalui ini tercatat berjumlah 39 jiwa pada tahun 1993 saja.[5]

Lokasi orang Penan Benalui ini berada di dalam Taman Nasional Kayan Mentarang, Kalimantan Timur bagian ujung utara berbatasan dengan Malaysia. Barisan pegununungan vulkanik yang membentang di tengah Kalimantan menjadi kondisi ekologisnya. Dengan rata-rata ketinggian 200 hingga 2.500 mdpl. Kawasan berbukit-bukit ini diselubungi oleh vegetasi hutan hujan tropis menampakan spesies keanekaragam hayati yang tinggi. Terutama jenis palem yang dimanfaatkan oleh manusia dan binatang. Dataran-dataran yang lebih landai digunakan sebagai tempat bermukim dan berladang. Di wilayah ini terbelah oleh Sungai Bahau yang mempunyai anak-anak sungai yang berhulu dari pegunungan tengah Kalimantan.[6] Secara ekologis kondisi hutan di wilayah ini memang mendukung mereka untuk aktivitas perburuannya.

Aktivitas terpenting dalam ciri kultural Suku Penan ini adalah berburu, meskipun mereka tidak punya istilah khusus untuk ini.   Dengan tingkat mobilitas yang tinggi untuk berburu, maka mereka terbagi dalam kelompok-kelompok kecil yang biasanya terdiri dari keluarga inti.[7] Para lelaki setidaknya berburu paling tidak 2 kali dalam seminggu. Tetapi kini orang Punan juga telah mulai menetap dan bercocok tanam padi di ladang, baik secara perseorangan maupun kelompok. Secara ekonomi tradisional, selain kebutuhan hidup mereka terpenuhi dari berburu, kebutuhan hidup orang Punan terpenuhi dengan aktivitas pengumpulan buah-buahan dan bahan pangan lain yang diperoleh dari alam bebas, pengolahan sagu dan berdagang dari hasil hutan non kayu, seperti gaharu, damar dsb[8]. Meskipun begitu kegiatan berburu tetap menjadi kegiatan terpenting bagi kehidupan mereka, karena punya makna kultural bagi mereka. Perburuan juga menyajikan konteks sosial yang penting bagi penyampaian pengetahuan budaya bagi anak-anak mereka. Sistem kepercayaan tradisional orang Punanpun didasarkan pada kepercayaan mereka pada binatang-binatang.

Tehnik-tehnik Perburuan

Beberapa binatang yang buruan mereka adalah rusa, kijang, babi hutan, reptil, biawak, wau-wau, bekantan, dan beberapa jenis burung. Paling tidak ada sekitar 46 spesie binatang yang menjadi binatang buruan mereka. Antara lain: 28 spesies mamalia, 8 spesies reptil, dan 10 spesies burung.[9]

Salah satu karakteristik yang paling ,enarik dari orang Penan ini adalah ketrampilan dan kepintaran mereka untuk berimprovisiasi, ketika berjumpa dengan binatang buruan. Mereka selalu senantiasa siap dan sigap ketika berjalan didalam hutan. Setiap peristiwa perburuanpun, sebenarnya adalah kombinasi dari semua ketrampilan dan tehnik-tehnik yang mereka punyai untuk mencari, mengejar, dan membunuh. Alat-alat berburu yang digunakan oleh mereka adalah mandau, sumpit, tombak, perangkap, jaring, dan kini mulai menggunakan senapan. Setidaknya ada 6 tehnik utama berburu terpenting yang dilakukan oleh orang Penan. Antara lain adalah:

  1. Mene pelangui, yang artinya ‘menunggu-berenang. Tehnik biasanya digunakan untuk berburu babi hutan yang sedang berpindah bergerombalan ke suatu tempat. Ketika sekawanan babi hutan tersebut menyeberangi sungai, mereka telah menunggu di sungai, dengan menggunakan perahu. Mereka siap dengan tombak, senapan, dan mandau mereka. Bagi mereka mene pelangui, bukan merupakan kegiatan berburu biasa, tetapi ada pengetahuan dan konteks sosial yang melatarbelakangi dan mengikutinya. Seperti pengetahuan mereka tentang pola migrasi, serta petunjuk-petunjuk kapan dan dimana kawanan babi hutan tersebut akan menyeberang, arah mana yang dituju dan dimana kawanan babi hutan tersebut akan kembali. Para pemburu-pemburu tersebut berkumpul setiap hari untuk membicarakannya dan saling bertukar informasi. Disini terjadi proses dialog yang sejajar diantara sesama mereka. Semua orang berhak dan dapat memberikan sarannya. Demikian pula dengan tehnik perburuan yang mereka lakukan. Dengan berburu diatas perahu yang tidak stabil, dibutuhkan tehnik-tehnik yang tinggi dalam berburu. Sebagai konteks sosial, mene pelangui ini melibatkan seluruh anggota kelompok. Terjadi pembagian kerja yang jelas diantara mereka, bertugas mengmudikan perahu, berburu, menyiapkan pesta dll. Setelah babi hutan telah diperoleh, maka kemudian dibagi-bagikan ke seluruh peserta dan dimakan bersama-sama. Dalam peristiwa terjadi juga proses transfer pengetahuan kepada anak-anak mereka, dengan cara mereka mengikuti kegitan perburuan tersebut.[10]
  2. Ngaso, tehnik ini menggunakan anjing buruan untuk mengejar binatang buruan   hingga binatang buruan terpojok atau kelelahan, sehingga mudah untuk diserang oleh para pemburu. Tehnik berburu ini merupakan tehnik berburu yang biasa dan umum dilakukan oleh para pemburu, baik orang Penan dan Dayak Kenyah yang ada di daerah ini. Tehnik ini juga tergantung jumlah anjung dan pemburu yang melakukan pemburuan.[11]
  3. Nedok, tehnik ini digunakan oleh orang Penan ketika musim buah sedang jarang. Ketika musim buah-buah di hutan sedang langka, para binatang (beruk dan babi hutan) pergi mencari pohon-pohon yangberbuah ke lokasi-lokasi tertentu. Kemudian orang Penan, mgnikuti kemana binatang tersebut mencari pohon buah makannanya dan menunggu binatang-binatang tersebut datang. Dengan mengikuti strategi beruk dan babi hutan mencari makan ini, orang Penan dapat memburu binatang lebih banyak daripada memburu binatang yang langsung dijumpai.
  4. Ngeleput, yaitu tehnik berburu dengan menggunakan sumpitan. Sumpitan merupakan senjata tradisional kebudayaan dominan berburu peramu di pegunungan tengah Kalimantan. Penyumpitan dilakukan ketika dalam mengejar binatang buruan, mengintai binatang buruan, dan penyergapan dari dalm tempat yang tersembunyi. Sumpitan terbuat dari kayu jenis tertentu sepanjang 1 meter yang tengahnya dibuat lubang dengan menggunakan mata bor. Bagian ujung sumpit diberi mata tombak yang berfungsi ujung tombak ketika binatang yang terkena mata sumpit melawan. Anak panah/sumpit yang disebut tat, dibuat dari batang palem dan dilumuri tajem, racun yang terbuat dari getah pohon, akar dan racun ular. Sumpitan yang lebih kecil terbuat dari bambu. Biasanya digunakan oleh anak-anak untuk melatih ketrampilan mereka.
  5. Nyalapang, tehnik berburu ini relatif baru dikenal oleh orang Penan. Tehnik berburu ini menggunakan senapan lantak (buatan lokal) dan senapan angin. Jenis perburuan ini dikenal oleh mereka dari hasil pertemuan mereka dengan masyarakat Dayak baik yang ada di Kalimantan, maupun yang ada di Serawak. Cara yang khas dari tehnik ini adalah mengintai binatang buruan pada malam har , kemudian dengan menggunakan senter binatang terdiam sesaat lalu pemburu mempunyai kesempatan untuk menembak. Penggunaan senapan oleh orang Penan juga relatif sedikit, karena harganya yang mahal , sulit diperoleh senapan dan pelurunya. Apabila mereka ingin mendapatkannya, baik senapan maupun peluru bekas, mereka harus pergi menyeberang ke Serawak.[12]
  6. Nyaur, tehnik ini merupakan tehnik jebakan dan perangkap yang dilakukan oleh orang Penan. Terdiri dari banyak jenis sesuai dengan binatang yang akan dijerat.[13]

 

Pemilihan tehnik-tehnik berburu tersebut didasarkan atas berbagai faktor. Antara lain:

  1. Peralatan yang digunakan. Pemilihan peralatan mendasari tehnik apa yang digunakan. Seperti pemakaian sumpit untuk ngeleput, senapan untuk nyalapang, tombak untuk mene pelangui, dan perangkap untuk nyaur menentukan tehnik perburuan.
  2. Pengalaman dan kekuatan si pemburu. Bagi pemburu yang masi h muda mereka cenderung melakukan aktivitas pemburuan yang menguras tenaga dan kecepatan, seperti ngaso. Sedangkan bagi pemburu yang sudah berumur akan lebih senang melakukan kegiatan berburu dengan tehnik mene dan nyaur. Untuk para pemburu pemula dan anak-anak, mereka lebih senang menggunakan tehnik nyaur.
  3. Jumlah pemburu dan anjing burua juga menentukan pilihan tehnik berburu. Apabila dalam kelompok tersebut mempunyai cukup anjing dan pada saat bersamaan ada banyak pemburu mereka melakukan pemburuan ngaso. Demikian pula dengan tehnik mene pelangui yang membutuhkan banyak orang.
  4. Jenis satwa yang akan diburu. Jenis binatang yang diburu juga menentukan tehnik perburuan. Seperti perilaku binatang tersebut yang aktif di malam hari/siang hari dan bergerombol seperti babi hutan, menjadi pertimbangan mereka untuk memilih tehnik berburuan.
  5. Lokasi dan kuantitas makanan binatang. Ini terkait dengan tehnik nedok, yang mengikuti strategi binatang buruan untuk mencari makan ke lokasi tertentu. Pengetahuan akan lokasi dan jumlah buah-buahan yang menjadi makanan binatang buruan menjadi sangat berarti ketika menerapkan tehnik ini.
  6. Keadaan cuaca dan topografi wilayah. Pengetahuan mereka akan cuaca yang ada di wilayah tersebut juga mempengaruhi pilihan mereka akan tehnik berburu. Seperti ketika musim hujan, sungai menjadi banjir ikan-ikanpun berlimpah, ketika itulah mereka mulai memasang perangkap dan jebakan bagi ikan. Demikian pula yang terjadi ketika musim kemarau. Pengetahuan akan keadaan topografi wilayah tersebut yang dimiliki oleh orang Penan punya andil dalam menentukan strategi pemilihan tehnik berburu. Pengetahun ceruk-ceruk alam dan bukit-bukit yang menjadi pilihan hidup bagi binatang serta pengetahuan arah angin akan menentukan dimana mereka akan memburu/menyergap binatang buruan tesebut. [14]

 

Penutup

Orang Penan Penalui yang hidup di Taman Nasional Kayan Mentarang dapat dikatakan sebagai suku pemburu dan meramu. Meskipun mereka berladang dan berakativitas ekonomi lain, seperti melakukan pertukaran dan penjualan hasil hutan non kayu, kegiatan berburu menjadi ciri kultural mereka. Tehnik-tehnik berburu mereka, tidak dapat hanya dilihat sebagai kegiatan sehari-hari saja. Melainkan dilihat sebagai suatu proses aktualisasi pemaknaan jati diri identitas kesukuan mereka. Banyak pengetahuan dan konteks sosial yang melatarbelakanginya. Seperti berburu sebagai proses tranformasi pengetahuan kepada generasi berikut, proses pembagian nilai-nilai atau pengetahuan bersama yang dimiliki ketika akan berburu (mene pelangui dan ngaso), proses pengimplementasian pengetahuan yang mereka peroleh dari hasil adaptasi dengan alam (dalam tehnik nedok), dan proses berbagi/sharing dalam perburuan (tehnik mene pelangui).

 

Daftar Pustaka

Bahuat, Serge (ed), The Situasion of Indigenous People in Tropical Forest, APFT Pilot Project Report, Kent University, 1997.

Eghenter, Cristina dan Sellato, Bernard, “Kayan Mentarang: Pengantar Singkat Tentang Tanah dan Penduduknya”, dalam Kebudayaan dan Pelestarian Alam, Kerjasama WWF Indonesia, Ford Foundation, dan PHPA, Jakarta, 1999.

Melalatoa, Junus, Ensklopedia Suku Bangsa di Indonesia, Depdikbud, Jakarta,1995

Puri, Rajindra K. “Penan Benalui Knowledge and Use of Tree Palm”; dalam People and Plants of kayan Mentarang, K.W. Sfrensen & B. Morrisd (ed), WWF & Unesco, London, 1997

Puri, Rajindra K. “Tehnik tehnik Perburuan pada Masyarakat Penan dan Kenyah di Kawasan Sungai Lurah”, dalam Kebudayaan dan Pelestarian Alam, Kerjasama WWF Indonesia, Ford Foundation, dan PHPA, Jakarta, 1999.

 

Endnote:

[1] Melalatoa, Junus, Ensklopedia Suku Bangsa di Indonesia, Depdikbud, Jakarta, 1995, hal. 687.

[2] Eghenter, Cristina dan Sellato, Bernard, Kayan Mentarang: Pengantar Singkat Tentang Tanah dan Penduduknya, dalam Kebudayaan dan Pelestarian Alam, Kerjasama WWF Indonesia, Ford Foundation, dan PHPA, Jakarta, 1999, hal. 43-44.

[3] Melalatoa, Junus, ibid. 1995, hal. 687.

[4] Dikumpulkan oleh Bernard Sellato dalam berbagai sumber, dalam Serge Bahuat (ed), The Situasion of Indigenous People in Tropical Forest, APFT Pilot Project Report, Kent University, 1997.

[5] Puri, Rajindra K. Tehnik tehnik Perburuan pada Masyarakat Penan dan Kenyah di Kawasan Sungai Lurah, dalam Kebudayaan dan Pelestarian Alam, Kerjasama WWF Indonesia, Ford Foundation, dan PHPA, Jakarta, 1999, hal.79

[6] Eghenter, Cristina dan Sellato, Bernard, ibid. 1999, hal. 41-42.

[7] Melalatoa, Junus, op.cit. 1995, hal. 687.

[8] Puri, Rajindra K. “Penan Benalui Knowledge and Use of Tree Palm; dalam People and Plants of kayan Mentarang, K.W. Sfrensen & B. Morrisd (ed), WWF & Unesco, London, 1997, hal 195-226.

[9] Puri, Rajindra K, ibid. 1999, hal. 80.

[10] Puri, Rajindra K, ibid. 1999, hal. 83

[11] Puri, Rajindra K, ibid. 1999, hal. 84

[12] Puri, Rajindra K, ibid. 1999, hal. 85-86

[13] Puri, Rajindra K, ibid. 1999, hal. 86

[14] Puri, Rajindra K, ibid. 1999, hal. 86-88