Oleh Parsudi Suparlan (alm.), Hubungan Antar Sukubangsa, YKIK 2004

 

Pendahuluan: Masyarakat Majemuk Indonesia dan Permasalahannya 

Dalam berbagai tulisan, antara lain Suparlan (2001a, 2001b), telah saya tunjukan bahwa corak masyarakat majemuk, atau bhineka tunggal ika, Indonesia di tandai oleh penekanannya pada kesukubangsaan yang mengacu pada kelompok-kelompok atau masyarakat-masyarakat sukubangsa dengan masing-masing kebudayaanya yang dipersatukan dan diatur secara administratif oleh sistem nasional Indonesia yang berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945. di bawah pemerintahan presiden Suharto sistem nasional tersebut didominasi oleh coraknya yang sentralistik, otoriter-militeristik, korup, pemanipulasian SARA dan juga pemanipulasian hukum legal, hukum adat dan berbagai konvesi sosial untuk kepentingan penguasa/pejabat dan kekuasaan rezim. Hak warga dan komuniti (masyarakat lokal atau kolektiva sosial) diabaikan atau tidak dihargai, dan hak hidup sukubangsa dan kebudayaannya serta pranata-pranatanya ditekan selama tidak mendukung keberadaan dan kemantapan penguasa dalam rezim Suharto, yang dalam kegiatan rezim ini melakukan eksploitasi secara maksimal atas semua sumber-sumber daya yang ada di Indonesia.

Melemahnya sistem nasional yang otoriter-militeristik, tetapi masih diaktifkannya pemanipulasian SARA dan hukum, dan ditambah dengan kebijakan-kebijakan sosial, ekonomi, dan piltik (yang ditambah lagi dengan krisis ekonomi yang melanda Indonesia sebagai kelanjutan dari krisis moneter) yang hanya bikin bingung dari pemerintahan presiden Habibie yang melanjutkan masa pemerintahan presiden Suharto yang dijatuhkan oleh mahasiswa, telah memunculkan kesadaran politik kesukubangsaan dan penggunaannya, dan hasilnya adalah memunculkan berbagai konflik primordial yang bersumber pada kesukubangsaan dan keagamaan (Suparlan 2001b, 2001c). Dalam zaman pemerintahan Habibie yang pemerintahannya lemah karena kendornya kekuatan otoriter-militeristiknya tersebut, konflik antar sukubangsa dan keyakinan keagamaan adalah justru yang muncul dan bukannya konflik antar masyarakat sukubangsa melawan pemerintah atau sistem nasional. Konflik antar sukubangsa yang terwujud juga bukan didasari oleh semangat nativisme dari masyarakat sukubangsa yang asli setempat (Suparlan 2001d, 2001e), tetapi didasari oleh perlawanan atau pembalasan dari masyarakat sukubangsa yang asli setempat melawan sekelompok sukubangsa pendatang yang diperlakukan sebagai musuh, karena kesewenangan mereka dalam mengekpoitasi sumber-sumber daya yang ada setempat yaitu dengan tindakan-tindakan kekerasan dan premanisme yang mereka lakukan sebagai “pendatang” terhadap warga masyarakat setempat, dilihat oleh warga setempat karena mereka si “pendatang” itu merasa terlindungi oleh oknum-oknum tertentu dalam memenangkan persaingan. Oknum-oknum yang dilihat oleh warga masyarakat sukubangsa setempat sebagai mewakili kekuasaan pemerintah di wilayah mereka.

Ketidak-berdayaaan warga masyarakat sukubangsa setempat dalam melawan pemerintah atau sistem nasional, kecuali di Aceh, mungkin dikarenakan bahwa: (1) selama ini tokoh-tokoh dari masyarakat-masyarakat sukubangsa di Indonesia telah berada dalam bayang-bayang ketakuatan akan kemutlakan kekuasaan penghancur dari sistem nasional; dan (2) juga karena sebagian dari tokoh-tokoh masyarakat tersebut telah ikut menikmati berbagai fasilitas dan keistimewaan dari sistem nasional karena secara politik mendukung dan memperkuat posisi rezim orde baru, ini membenarkan hipotesa yang pernah saya buat (1982), bahwa dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia, keseimbangan hubungan kekuatan antara masyarakat-masyarakat sukubangsa dengan sistem nasional adalah sebuah prasarat bagi kestabilan sosial dan nasional, karena dalam masyarakat majemuk hubungan kekuatan antara masyarakat-masyarakat sukubangsa dengan sistem nasional adalah bercorak ekuililibrium. Bila sistem nasional diperkuat sehingga menjadi kekuatan absolut maka masyarakat-masyarakat sukubangsa akan secara formal menjadi lemah, karena itu kekuatan sosial politik masyarakat sukubangsa akan tersembunyi dalam berbagai bentuk sakit hati yang sekali-sekali terungkap sebagai satire atau lelucon, akan memunculkan diri dalam berbagai bentuk pemberontakan terselubung, dan akan meledak sebagai sebuah pemberontakan terbuka pada waktu sistem nasional itu menjadi lemah. Dalam keadaan dimana sistem nasional itu lemah maka masyarakat-masyarakat sukubangsa yang merasa tertekan itu akan mencoba membebaskan dirinya dari kungkungan sistem nasional untuk menjadi sebuah satuan tatanan politik atau negara-sukubangsa, dengan cara menghancurkan berbagai kelompok sukubangsa pendatang yang selama ini dianggap merugikan dan merupakan kepanjangan kekuasaan sistem nasional, dan baru kemudian mengkonsolidasi diri umtuk melawan sistem nasional, seperti yang terjadi di Aceh (menghancurkan dan mengusir semua pendatang asal pulau Jawa dan dari daerah lain di Indonesia, dan para pendatang yang bukan Islam; semacam gerakan nativistik untuk pemurnian Aceh dari unsur-unsur ‘asing’). Atau menghancurkan kelompok-kelompok sukubangsa pendatang yang selama ini mereka lihat sebagai representasi sistem nasional, karena tindakan-tindakan mereka di bawah lindungan para oknum (seperti yang terjadi di Ambon pada tahap permulaan, di Sambas, dan di Sampit).

Secara singkat inti permasalahan yang mempunyai potensi disintegrasi bangsa Indonesia adalah:

  • Corak bhineka tunggal ika sebagai lambang negara yang menekankan komposisinya pada keanekaragaman sukubangsa dan kesukubangsaan, dan bukannya pada kebudayaan sebagai fokus keanekaragamannya dan keanekaragaman sukubangsa sebagai produk dari acuan keanekaragaman kebudayaan tersebut.
  • Sistem nasional yang otoriter-militeristik dan yang korup dalam segala aspek, sehingga berbagai bentuk pemanipulasian hukum dan SARA bagi berbagai kepentingan dan keuntungan oknum telah terjadi, yang menyebabkan rasa ketidak adilan hanya dapat diatasi dengan dalam perlindungan sukubangsa dan kesukubangsaan.
  • Corak masyarakat yang tidak demokratis walaupun mengaku sebagai demokratis. Dalam pemerintahan Suharto konsep demokrasi diberi embel-embel, seperti demokrasi Pancasila, yang hanya menjadi angan-angan karena tidak operasional, dan yang karena itu tidak menjadi ideologi dalam pengertian yang sebenarnya karena hanya lip-service atau buah bibir saja. Demokrasi Pancasila dalam konteks filsafat dan ideologi menjadi absolute (Suparlan 1992), karena tidak universal dan tidak didukung oleh berbagai filsafat dan ideologi lainnya, serta tidak menjadi bagian dari kebudayaan dan pranata-pranata demokrasi tetapi menjadi inti dari kebudayaan otoriter yang militeristik yang pada waktu itu berlaku. Produk dari penerapan demokrasi Pancasila selama tiga puluh tahun, yang mementingkan lip-service tersebut adalah kepura-puraan, penipuan secara tersembunyi maupun tertutup, dan ketidak setaraan dalam derajat dalam segala segi kehidupan. Produk lip-service ini tidak hilang begitu saja dengan kejatuhan pemerintah Suharto, karena produk lip-service ini adalah kebudayaan aktual yang nyata-nyata ada dalam kehidupan orang Indonesia untuk keselamatan jiwa-raga dan harta benda, dan untuk keuntungan sosial, ekonomi dan politik.

Dalam tulisaan saya yang terdahulu (Suparlan 2000, 2001a) telah saya usulkan untuk merubah penekanan dari keanekaragaman sukubangsa yang tercakup di dalam bhineka tunggal ika menjadi keanekaragaman kebudayaan. Sehingga masyarakat Indonesia berubah coraknya dari masyarakat majemuk (plural society) menjadi masyarakat beranekaragam kebudayaan (multicultural society, yang secara literal diterjemahkan sebagai masyarakat bangsa yang bercorak banyak kebudayaan kata cultural dan bukannya culture atau kata benda karena makna cultural adalah berfungsi sebagai kata sifat atau adjektif, yaitu yang mensifati corak masyarakatnya).

Tulisan ini akan secara singkat menyajikan pokok-pokok pemikiran mengenai keanekaragaman kebudayaan yang akan menjadi isu utama dari lambang negara dan bangsa kita bhineka tunggal ika. Tulisan akan mencakup pembahasan mengenai potensi-potensi kebudayaan dan keagamaan dalam solidaritas sosial dan konflik yang primordial dibandingkan dengan potensi-potensi kebudayaan untuk hal yang sama, model demokrasi dan multikulturalisme sebagai sebuah satuan ideologi yang saling mendukung dan merupakan sebuah satuan yang bulat dan menyeluruh, dan penegakan hukum yang adil dan beradab berdasarkan prinsip demokrasi dan multikulturalisme untuk menjamin terwujudnya kesetaraan dan kesejahteraan bagi semua warga dan kehidupan komuniti, dan bagi keutuhan bangsa.

Sukubangsa dan Kebudayaan Dalam Masyarakat Majemuk

Dari berbagi macam perang dan konflik, maka konflik yang paling mengerikan dan merugikan adalah konflik antar-sukubangsa. Konflik antar sukubangsa lebih banyak terjadi dan lebih mengerikan dari pada berbagai perang antar negara dalam perang antar negara ada Konvensi Jenewa yang melindungi hak-hak kemanusiaan dari prajurit, sedangkan dalam konflik antar sukubangsa intinya adalah penghancuran sukubangsa pihak lawan dan segala atribut-atributnya. Konflik antar sukubangsa yang terjadi di Uni Soviet setelah kejatuhan rezim komunis adalah hasil dari buyarnya kekuasaan yang otoriter-militeristik dan tidak berlakunya penegakan hukum yang adil yang disebabkan oleh korupsi yang merajalela. Hal yang sama juga dialami oleh Indonesia dengan sebab-sebab yang kira-kira sama. Barangkali apa yang dialami oleh Indonesia yang dilanda oleh berbagai kerusuhan dan konflik antar-sukubangsa lebih dahsyat dan mengerikan dari pada yang dialami oleh Uni Soviet, mengingat banyaknya sukubangsa di Indonesia yang kira-kira lima kali banyaknya sukubangsa di Uni Soviet, dan mengingat lebih besarnya ketertekanan dari warga masyarakat-masyarakat sukubangsa di Indonesia dibandingkan dengan warga masyarakat-masyarakat sukubangsa di Uni Soviet, yang tertampung dalam tatanan kehidupan negara-negara bagian.

Apakah ada cara-cara yang terbaik dan manjur atau ces-pleng sebagai resep umum dalam meniadakan konflik antar-sukubangsa yang dapat berlaku umum? Jawabannya tidak ada. Karena konflik antar sukubangsa adalah produk dari hubungan antar sukubangsa dengan sebab-sebab yang berada dalam konteks-konteks lokal dari hubungan antar sukubangsa itu sendiri. Jadi cara-cara penyelesaiannya tidak dapat diberlakukan secara pukul rata. Mungkin cara terbaik menyelesaikan konflik ini bukan meredam dengan kekerasan (penggunaan satuan tentara), karena potensi konflik akan tetap hidup seperti api dalam sekam yang sewaktu-waktu meledak bila ada kesempatan, tetapi memahaminya untuk menemukan penyebab-penyebabnya lalu memikirkan strategi negosiasi agar kedua masyarakat sukubangsa yang bermusuhan tersebut dapat hidup berdampingan secara damai. Upaya-upaya negosiasi untuk mendamaikan hanya mungkin dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak memihak, yang dianggap mempunyai kekuatan dan kewenangan oleh pihak-pihak yang konflik, untuk menggunakan kekuatan tersebut dalam menindak sesuatu pihak dalam hal terjadinya kekerasan secara sepihak. Pihak ketiga yang mempunyai kewenangan untuk itu adalah polisi, yang fungsinya dalam masyarakat adalah sebagai pengayom masyarakat dan penegak hukum. Pertanyaannya adalah, apakah ada penegak hukum yang dapat berlaku adil dan beradab dan mempunyai visi dan misi untuk itu?

Pertanyaan tersebut di atas saya ajukan mengingat bahwa tingkat perbuatan KKN sudah merasuk kesegala penjuru dan bidang kehidupan, termasuk kehidupan dari para penegak hukum, dan mengingat bahwa para penegak hukum itu sendiri tidak atau belum dilengkapi dengan pengetahuan multikultural dan tidak atau belum dapat menyimpan kesukubangsaan masing-masing dalam berbagai penanganan konflik yang terjadi di Indonesia. Pertanyaan berikutnya adalah, berapa lamakah hidup berdampingan secara damai tersebut dapat dipertahankan, mengingat bahwa segala sesuatu dalam kehidupan manusia itu berubah, termasuk prinsip-prinsip hidup berdampingan secara damai yang merupakan variabel tergantung dari berbagai variabel yang ada dalam konteks-konteks kehidupan bersama tersebut? Jawabannya tergantung pada banyak faktor yang sangat kontekstual. Salah satu yang paling penting adalah adanya hukum yang adil dan operasional dalam konteks-konteks lokal, yang mencakup hukum adat dan konvensi-konvesi sosial yang berlaku, dddan yang dijalani oleh penegak hukum yang memahami konteks-konteks permasalahan wilayah kewenangannya masing-masing, dan yang lebih menekankan pentingnya tindakan preventif dengan cara arif dan bijaksana dari pada tindakan represif. Pertanyaan-pertanyaan tersebut diatas juga saya ajukan mengingat bahwa kesukubangsaan, termasuk keyakinan keagamaan, adalah satuan primordial bagi jati diri.

Sukubangsa adalah golongan sosial yang askriptif berdasarkan atas keturunan dan tempat asalnya. Jati diri sukubangsa atau kesukubangsaan, dengan demikian adalah, jatidiri yang askriptif yang didapat bersamaan dengan kelahirannya atau tempat asalnya. Kesukubangsaan berbeda dari berbagai jatidiri lainnya yang dipunyai oleh seseorang, karena kesukubangsaan bersifat primordial (yang pertama didapat dan menempel pada dirinya sejak masa kanak-kanak dan utama dalam kehidupannya karena merupakan acuan bagi jatidiri dan kehormatannya), sedangkan berbagai jatidiri lain yang dipunyai oleh seseorang adalah berdasarkan pada perolehan status dalam kehidupan sosialnya. Berbagai jatidiri yang lainnya tersebut dapat hilang karena tidak berfungsinya status-status yang dipunyainya, sedangkan jatidiri sukubangsa atau kesukubangsaannya tidak dapat hilang. Bila jatidiri sukubangsa tidak digunakan dalam interaksi maka jatidiri sukubangsa atau kesukubangsaan tersebut disimpannya dan bukannya dibuang atau hilang.

Sebagai golongan sosial, sukubangsa mewujudkan jatidirinya dalam kolektiva-kolektiva atau masyarakat-masyarakat sukubangsa yang hidup dalam wilayah-wilayah yang diakui sebagai wilayah tempat hidupnya dan merupakan sumber-sumber pemenuhan kebutuhan hidupnya. Wilayah masing-masing sukubangsa ini di Indonesia, biasanya dinamakan hak ulayat atau wilayah adat masyarakat sukubangsa tertentu. Sebuah sukubangsa dapat terdiri dari hanya satu kolektiva atau masyarakat sukubangsa yang menempati sebuah wilayah, tetapi biasanya mempunyai dua atau lebih masyarakat yang mendiami dua atau lebih wilayah yang berbeda. secara umum masing-masing masyarakat sukubangsa yang sama tersebut mempunyai kebudayaan yang ciri-ciri utamanya sama, terutama dalam bahasanya, tetapi secara lebih khusus masing-masing masyarakat dari sukubangsa yang sama tersebut mempunyai corak kebudayaan yang berbeda. perbedaan tersebut disebabkan oleh adaptasi budaya terhadap lingkungan atau wilayah tempat mereka hidup serta cara-cara atau teknologi dalam memanfaatkan sumber-sumber daya yang terkandung didalamnya untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup.

Kebudayaan dapat dilihat sebagai pedoman bagi kehidupan yang diyakini kebenarannya oleh para pemiliknya dalam menghadapi dan memanfaatkan lingkungan beserta isinya bagi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup, kebudayaan dimiliki secara bersama oleh sebuah kolektiva atau masyarakat. Karena, kebutuhan-kebutuhan hidup manusia tidak dapat dipenuhi semata-mata secara individual. Kebudayaan berisikan konsep-konsep sebagai hasil dari sistem-sistem penggolongan yang menjadi hakekat dari kebudayaan, berisikan metode-metode untuk memilah-milah konsep-konsep dan memilih konsep-konsep hasil pilahan serta mengkombinasikan konsep-konsep yang terpilih sebagai acuan atau pedoman bertindak dalam menghadapi dan memanfaatkan lingkungan, dan berisikan teori-teori yang dapat diseleksi untuk dijadikan pedoman atau untuk menjelaskan sesuatu model atau pola bertindak dalam menghadapi dan memanfaatkan lingkungan.

Kebudayaan diacu oleh para pemeluknya untuk pemenuhan-pemenuhan kebutuhan biologi, sosial dan adab. Nilai-nilai budaya adalah acuan bagi pemenuhan kebutuhan adab, yaitu kebutuhan-kebutuhan untuk mengetahui yang benar sebagai lawan dari yang salah, yang suci dari yang kotor, yang indah dari yang buruk, dsb. Satu atau sejumlah nilai budaya yang terseleksi dijadikan inti dari dan yang mengintegrasikan sesuatu pemenuhan kebutuhan biologi, sosial, adab atau sesuatu kombinasi dari ketiganya. Penggunaan kebudayaan dalam pemenuhan sesuatu kebutuhan dilakukan secara sistemik dengan nilai-nilai budaya sebagai inti atau pusatnya yang diacu untuk mengintegrasikan pemenuhan kebutuhan tersebut dan untuk pembenaran dan keabsahannya (lihat Suparlan 1986). Sehingga misalnya, kebutuhan untuk makan bukan hanya asal makan, tetapi apa yang dimakan, dengan siapa makan, bagaimana memakannya, yang disesuaikan dengan waktu, tempat, dan konteks makna dari makan. Secara keseluruhan, kegiatan makan tersebut dari pelakunya dipedomani oleh nilai budaya yang biasanya kita kenal dengan nama etika makan.

Nilai-nilai budaya berisikan keyakinan-keyakinan yang digunakan untuk menilai berbagai gejala yang dihadapi menurut kebudayaan yang dipunyai oleh pemilik kebudayaan yang bersangkutan. Dalam kehidupan manusia, nilai-nilai budaya ini diperkuat fungsinya oleh keyakinan keagamaan yang dipunyai oleh pemiliknya; artinya dipertegas batas-batas antara yang baik dari yang tidak baik, antara yang halal dari yang haram, antara yang sah dari yang tidak sah, dsb. Agama sebagai petunjuk Tuhan mengenai kebenaran dan jalan menuju kebenaran menurut perintah Tuhan, yang tertulis dikitab suci atau yang ada dalam teks-teks suci yang tertulis maupun lisan, hanya akan menjadi dokumen-dokumen tertulis atau teks-teks lisan bila tidak menjadi keyakinan keagamaan dari manusia yang meyakini kebenaran ajaran Tuhan tersebut. Untuk dapat menjadi keyakinan keagamaan dari pemeluknya, maka agama harus sesuai dengan kebudayaan dari pemeluknya. Penyesuaian bisa terjadi dalam bentuk penyesuaian kebudayaan pemeluknya (seperti misalnya pada sukubangsa Minangkabau dan Aceh yang menganut prinsip matrinileal, yang harus membuat penyesuaian dalam sistem matrilineal mereka, sehingga mereka dapat mengatakan bahwa “adat bersendi sara’ dan sara bersendi kitabullah”) atau pada penyesuaian dalam sebagian dari ajaran agama yang dipeluk, seperti adanya tradisi abangan , priyayi, dan santri dalam kehidupan keagamaan orang Jawa Islam (Geertz, 1980).

Pada waktu telah tercapainya proses penyesuaian antara agama dengan kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan, maka agama tersebut menjadi bagian dari kebudayaan sehingga berada dalam hubungan fungsional dengan berbagai unsur kebudayaan dalam memproses masukan untuk menjadi keluaran yang terwujud sebagai tindakan-tindakan. Dalam beberapa masyarakat, agama bukan hanya menjadi bagian dari kebudayaan tetapi bahkan menjadi inti dari kebudayaan karena agama telah menjadi nilai-nilai budaya atau setidak-tidaknya mewarnai nilai-nilai budaya dari kebudayaan tersebut. Nilai-nilai budaya yang pada hakekatnya adalah keyakinan-keyakinan dan pedoman penilaian menurut kebudayaan yang bersangkutan adalah penuh dengan muatan perasaan dan terwujud dalam bentuk luapan-luapan emosi yang tidak dapat ditawar. Nilai-nilai budaya yang diperkuat oleh keyakinan keagamaan ataupun keyakinan keagamaan yang merupakan dirinya sebagai nilai-nilai budaya, merupakan corak yang primordial, karena manusia belajar agama sejak dari masa kanak-kanak. Pelajaran agama adalah pelajaran mengenai keyakinan tentang kebenaran yang hakiki, yaitu kebenaran dari agama yang diyakininya yang dibedakan dari keyakinan keagamaan lain yang tidak benar. Sehingga keyakinan keagamaan menciptakan suatu aura subyektivitas dalam diri pelakunya berkenaan dengan kebenaran dan kehormatan jatidiri yang berbeda atau bertentangan dengan jatidiri lainnya. Primordialitas keyakinan keagamaan dan kesukubangsaan adalah sama, dan saling menunjang atau memperkuat keyakinan-keyakinan kebenaran yang hakiki yang diacu untuk jati diri dan digunakan dalam interaksi.

Kebudayaan dipunyai oleh seseorang dengan melalui proses belajar mengenai kebudayaan orang tua dan komunitinya atau “enkulturisasi” dan melalui “sosialisasi” atau proses belajar dalam kehidupan sosial dengan cara memerankan status-status sosial di dalam kehidupan sosial yang nyata. Karena kebudayaan yang dipunyai oleh seseorang atau sebuah kolektiva itu melalui proses-proses belajar dan bukannya melalui proses pewarisan yang askriptif, maka hakekat kebudayaan berbeda dari hakekat kesukubangsaan. Bila hakekat kesukubangsaan adalah konstan maka hakekat kebudayaan adalah akumulatif dan dapat berubah sesuai dengan perubahan lingkungan yang dihadapi dan sesuai dengan motivasi-motivasi yang dipunyai untuk mengadopsi sesuatu unsur kebudayaan lain atau membuang unsur-unsur kebudayaan yang tidak fungsional lagi kegunaannya atau juga mellakukan inovasi dan penciptaan sesuatu unsur kebudayaan untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidupnya yang baru. Dengan demikian seseorang sebagai anggota kolektiva sukubangsa tertentu dapat mempunyai kebudayaan yang mencakup berbagai unsur dari satu atau sejumlah kebudayaan lainnya, atau dapat juga seseorang itu hanya mempunyai kebudayaan sukubangsa setempat dimana dia menjadi warganya.

Karena itu pada waktu para pakar ilmu-ilmu sosial Indonesia mengatakan bahwa konflik antar sukubangsa disebabkan oleh perbedaan kebudayaan, sebagaimana dikemukakan, antara lain, oleh Nitibaskara (2001), saya mengatakan bahwa hal itu tidak benar (Suparlan 2001b). Karena dalam sejarah kemanusian manusia tidak pernah ada bukti bahwa sesama manusia itu konflik atau saling berbunuhan karena perbedaan kebudayaan. Yang terjadi adalah, mereka itu dapat saling bermusuhan karena memperebutkan sumber-sumber daya, termasuk harga diri dan kehormatan, dalam struktur-struktur sosial yang ada dalam konteks kehidupan mereka, dengan menggunakan kebudayaan yang mereka punyai masing-masing sebagai acuan stereotip dan prasangka untuk landasan penciptaan batas-batas sosial dan budaya diantara mereka dan dalam mengorganisasi diri umtuk bermusuhan. Penghancuran terhadap masing-masing harta benda yang bercirikan kebudayaan sukubangsa pihak lawannya tidaklah dapat diartikan sebagai konflik sukubangsa disebabkan oleh adanya perbedaan kebudayaan. Karena, hakekat konflik antar sukubangsa adalah konflik penghancuran kategori sukubangsa. Sehingga segala sesuatu yang mempunyai ciri-ciri yang tergolong sebagai sukubangsa pihak lawan akan dihancurkan.

Dalam masyarkat majemuk yang bercorak otoriter dan berperintahan sentralistik, ada kecenderungan untuk menerapkan kebijakan asimilasi terhadap sukubangsa-sukubangsa minoritas agar menjadi bagian dari masyarakat luas yang mayoritas dan dominan. Di bawah pemerintahan presiden Suharto misalnya, telah dilakukan kampanye pembauran, sebuah kata halus untuk asimilasi, untuk orang-orang Cina menjadi orang Indonesia. Orang-orang Cina mentaatinya agar terhindar dari berbagai bentuk diskriminasi dan pengkambing hitaman. Walaupun demikaian mereka itu masih juga ditandai sebagai orang Cina, melalui kode tertentu di KTP mereka, untuk dapat didiskriminasi dan dipalak, sampai pengkodean di KTP tersebut dihapuskan dimasa pemerintahan Habibie.

Dalam masyarakat multi etnik atau banyak sukubangsa, seperti Amerika, yang pada dasarnya masyarakat rasis, yang telah menghasilkan hirearki sosial dengan berbagai bentuk diskriminasi atas dasar ras dan asal sukubangsa telah secara bertahap diubah melalui perjuangan persamaan hak dalam masyarakat yang demokratis sesuai dengan landasan dasar dari negara itu. Masyarakat Amerika yang sejak didirikannya bercorak monokultural dengan golongan WASP (White Anglo Saxon Protestan) sebagai golongan mayoritas dan dominan telah secara bertahap menjadi bercorak multikultural sebagaimana keadaannya sekarang ini (Suparlan 1999). Perjuangan persamaan hak, terutama bagi mereka yang kulit hitam atau berwarna dengan kulitputih dimulai secara luas ditahun enampuluhan oleh Martin Luther King, presiden Kennedy dan yang kemudian dilanjutkan secara lebih efektif oleh presiden Johnson, telah menyemangati keberhasilan perjuangan tersebut melalui berbagai kegiatan affirmative actions.

Secara hukum tidak ada lagi diskriminasi, sejak diundangkannya Civil Right Act pada tahun 1964, artinya bila terjadi diskriminasi terhadap orang bukan WASP di tempat-tempat umum dan di tempat kerja maka yang melakukan diskriminasi tersebut dapat dituntut di pengadilan untuk di hukum, walaupun demikian, tanpa dukungan dan perjuangan dari berbagai kelompok, kolektiva, dan komuniti untuk menerapkan diberlakukannya Civil Act tersebut, maka persamaan hak tidak akan mungkin terwujud secara sempurna dan cepat sebagaimana yang telah terjadi di Amerika Serikat sekarang ini. Perjuangan persamaan hak tersebut yang meluas secara nasional telah dilakukan kelompok-kelompok sosial dan organisasi-organisasi gereja melalui apa yang dinamakan affirmative action, yaitu perjuangan yang bukan hanya untuk membebaskan orang kulit hitam dan minoritas untuk memperoleh pekerjaan dan jabatan yang tersedia, guna mengejar ketertinggalan status sosial mereka, dengan cara mendiskriminasikan mereka yang kulit putih dan dominan untuk tidak memperoleh jabatan atau pekerjaan tersebut dalam keadaan dimana kemampuan profesional yang kulit hitam atau minoritas itu sama dengan yang kulit putih atau dominan.

Persamaan hak berdasarkan prinsip demokrasi ini juga diberlakukan bagi berbagai golongan minoritas yang sebelumnya didiskriminasi. Sehingga pada masa sekarang ini, Amerika Serikat adalah satu-satunya masyarakat yang mempunyai kebudayaan bersama yang unsur-unsurnya mencakup hampir semua kebudayaan yang ada dan hidup di Amerika. Dan, Amerika Serikat juga merupakan satu-satunya masyarakat dimana warganya menikmati berbagai kebebasan mengekspresikan ungkapan-ungkapan budaya mereka masing-masing sepanjang hal itu tidak mengganggu yang lainnya atau mengganggu ketertiban umum.

Multikulturalisme

Dengan mengacu pada Bennet (1995), David Jary dan Julia Jary (1991:319), Fay (1996), Nieto (1992), dan Reed, ed (1997), saya melihat multikulturalisme sebagai sebuah ideologi yang mengagungkan perbedaan budaya atau sebuah keyakinan yang mengakui dan mendorong terwujudnya pluralisme budaya sebagai suatu corak kehidupan masyarakat. Multikulturalisme mengagungkan dan berusaha melindungi keanekaragaman budaya, termasuk kebudayaan dari mereka yang tergolong sebagai minoritas. Dalam pengertian multikulturalisme, sebuah masyarakat-bangsa dilihat sebagai sebuah kebudayaan bangsa yang merupakan mainstream, yang seperti sebuah mosaik, dan didalam kebudayaan bangsa tersebut terdapat berbagai perbedaan corak budaya. Model multikulturalisme yang menekankan pengakuan kesederajatan perbedaan-perbedaan tersebut adalah berbeda atau bahkan bertentangan dengan model multikulturalisme yang menekankan pada penyatuan kebudayaan-kebudayaan yang ada sebagai sebuah satuan keseragaman. Dalam model monokulturalisme tersebut kebudayaan yang dominan melakukan kebijakan asimilasi atau pengasingan dan bahkan pemusnahan terhadap kelompok-kelompok sukubangsa yang digolongkan sebagai minoritas.

Dalam model multikulturalisme penekanannya adalah pada kesederajatan ungkapan-ungkapan budaya yang berbeda-beda, pada pengkayaan budaya melalui pengadopsian unsur-unsur budaya yang dianggap paling cocok dan berguna bagi pelaku dalam kehidupannya tanpa adanya hambatan berkenaan dengan asal kebudayaan yang diadopsi tersebut, karena adanya batas-batas sukubangsa yang primordial. Dalam masyarakat multikultural, setiap orang adalah multikulturalis, kata Nathan Glazer (1997), karena setiap orang mempunyai kebudayaan yang bukan hanya berasal dari kebudayaan asal atau sukubangsanya tetapi juga mempunyai kebudayaan yang berisikan kebudayaan-kebudayaan dari sukubangsa atau bangsa lain.

Bila demikian, pertanyaannya adalah, berada dimanakah posisi sukubangsa dalam masyarakat yang multikultural karena dalam masyarakat tersebut setiap orang menjadi multikulturalis? Sukubangsa sebagai golongan sosial yang askriptif dan sebagai masyarakat pemilik kebudayaan sukubangsa tetap ada dalam masyarakat multikultural, tetapi sukubangsa sebagai sebuah ideologi dan sebuah satuan politik diredupkan perannya. Peranan sukubangsa tidak lagi harus ada dalam kehidupan publik atau masyarakat luas, tetapi berada dalam suasana-suasana sukubangsa yang merupakan ungkapan-ungkapan budaya sukubangsa dalam kehidupan masyarakat sukubangsa yang bersangkutan. Model berpikir ini mungkin sejalan dengan model kebijakan politik di zaman pemerintahan presiden Sukarno yang melarang didirikannya partai politik sukubangsa tetapi mengagungkan kehidupan budaya sukubangsa di dalam lingkungannya sendiri, dan menampilkan ungkapan-ungkapan budaya tersebut secara nasional di bawah lambang bhineka tunggal ika dengan penekanannya pada keanekaragaman kebudayaan.

Dalam konsep multikulturalisme penekanan fokusnya adalah pada pemahaman dan hidup dengan perbedaan sosial dan budaya, baik secara individual maupun secara kelompok atau masyarakat. Individu dilihat sebagai refleksi dari satuan sosial dan budaya dimana mereka itu menjadi bagian dari padanya. Permasalahannya bukan terletak pada perbedaan kebudayaan ataupun pada hubungan budaya, dengan berbagai corak akulturasi, yang menghasilkan warga masyarakat multikultural yang multikulturalis, tetapi permasalahannya terletak pada waktu hubungan antar budaya tersebut bergeser menjadi hubungan antar-jatidiri. Pada waktu hubungan antar jatidiri masih berada dalam ruang lingkup kerja atau berdasarkan atas status-status sosial yang didapat, maka hubungan antar jatidiri yang berlangsung akan mengacu pada struktur satuan sosial dimana interaksi tersebut berlangsung. Tetapi, pada waktu hubungan tersebut menjadi hubungan antar jatidiri yang mendasar dan umum maka acuan bagi jatidiriyang digunakan adalah sukubangsa. Hubungan antar jatidiri yang menjadi hubungan antar sukubangsa menapikan peranan pemahaman antar budaya yang mengakomodasi perbedaan-perbedaan, dan sebaliknya menekankan penggunaan stereotip dan prasangka untuk mempertegas perbedaan dan batas-batas sukubangsa diantara mereka.

Multikulturalisme dilihat sebagai pengikat dan jembatan yang mengakomodasi perbedaan-perbedaan, termasuk perbedaan-perbedaan kesukubangsaan dan sukubangsa dalam masyarakat yang multikultural. Pengertian ini mengacu pada pengertian bahwa perbedaan-perbedaan tersebut terwadahi di tempat-tempat umum, tempat kerja dan pasar, dan sistem nasional dalam kesetaran derajat secara politik, hukum, ekonomi dan sosial. Sedangkan kesukubangsaan dan masyarakat sukubangsa dan kebudayaan sukubangsaannya tetap dapat hidup dalam ruang lingkup atau suasana kesukubangsaannya. Tetapi, didalam suasana-suasana nasional dan tempat-tempat umum yang seharusnya menjadi cirinya adalah kebangsaan dengan pluralisme budayanya, dan bukannya sesuatu kesukubangsaan atau sesuatu kebudayaan sukubangsa tertentu yang dominan.

Dengan kata lain politik kesukubangsaan tidak mungkin dapat hidup atau ditoleransi untuk dapat hidup dalam suasana nasional atau umum, karena hanya akan menjadi acuan pemecah belah integritas bangsa, terutama dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia. Model ini mungkin dapat kita temui dalam kebijakan politik kesukubangsaan yang dibuat oleh presiden Sukarno dalam rezim orde liberal (sebelum orde lama), yaitu yang melarang keberadaan partai-partai politik berlandaskan sukubangsa.

Bila kesukubangsaan tidak seharusnya dimunculkan dalam arena nasional dan umum, bagaimana dengan kemunculannya di kabupaten atau propinsi dalam rangka otonomi daerah? Sebaiknya konsep nasional dan umum harus didefinisikan untuk kejelasannya, karena pengertian nasional dan umum sebetuulnya dan seharusnya mencakup juga wilayah-wilayah yang sekarang berada dalam sistem otonimi daerah. Jadi bukan hanya Jakarta saja yang merupakan wilayah nasional dan umum. Dengan demikian, adalah menjadi kewajiban dari pemerintah pada tingkat kabupaten dan propinsi untuk menciptakan adanya:

(1) sebuah konsep mengenai wilayah-wilayah umum dan nasional yang dibedakan dari wilayah-wilayah sukubangsa; dan (2) konsep pluralisme budaya dimana hak-hak minoritas atau pendatang yang bermukim diwilayah tersebut dijamin hak-hak hidupnya untuk berbeda dari mainstream yang ada, dan dijamin pula tingkat kesederajatan hak-hak hidup mereka. Golongan minoritas ini tidak seharusnya diperlakukan sebagai kategori sukubangsa, tetapi sebagai variasi ungkapan budaya dari kebudayaan bangsa Indonesia dengan demikian, maka tindakan pembedaan antara yang ‘asli’ dan ‘pendatang’ harus ditinjau ulang.karena dalam konsep yang sekarang berlaku, mereka yang asli adalah siapa saja yang hidup dimana saja asalkan yang bersangkutan itu merupakan keturunan asli dari sukubangsa di daerah tersebut. Keturunan pendatang yang sudah hidup turun menurun disuatu wilayah sukubangsa digolongkan sebagai pendatang. Padahal keturunan pendatang inilah yang lebih tahu dan hanya tahu mengenai kehidupan di daerah dimana dia hidup dibandingkan dengan mereka yang ‘asli’. Sehingga, yang ‘asli’ atau ‘putra daerah’ seharusnya adalah mereka yang dilahirkan di daerah tersebut, dan bukannya mereka yang orang tua atau nenek moyangnya berasal dari daerah tersebut tetapi mereka itu sendiri hidup di daerah lainnya. Mereka ini sebenarnya telah menjadi ‘putra daerah’ di tempat lain. Dengan cara ini maka pluralisme budaya dapat dikembangkan untuk meredam kemunculan kesukubangsaan sebagai potensi konflik antar-sukubangsa.

Permasalahan pluralisme budaya ini menjadi pelik di Indonesia, sehingga presiden Sukarno melarang partisipasi kesukubangsaan melalui partai-partai politik sukubangsa di dalam arena politik nasional maupun daerah, karena khawatir menjadi acuan bagi penggalangan politik yang memecah belah integrasi kehidupan berbangsa menjadi negara-negara sukubangsa. Sedangkan keyakinan keagamaan, yang juga bersifat primordial dan mempunyai potensi pemecah belah bangsa melalui batas-batas sosial budaya yang diperkuat oleh keyakinan keagamaan, justru dikembang-suburkan. Kalau kita perhatikan kasus-kasus Aceh, Ambon, Maluku Utara dan Poso barangkali kita semua dapat merenungkan makna dari potensi keyakinan keagamaan berkenaan dengan potensinya dalam gejolak-gejolak yang membahayakan integrasi bangsa.

Kalau kita perhatikan sejarah Eropa Barat barangkali kita dapat memehami mengapa negara-negara Barat, termasuk Amerika Serikat, memisahkan kehidupan kenegaraan dari keagamaan. Di abad ke-16, Eropa Barat terpecah-pecah oleh konflik atau perang antara penganut agama Katolik dengan agama Protestan mengenai agama mana yang berhak memerintah di suatu wilayah kerajaan. Akhirnya konflik-konflik ini diselesaikan dengan cara memisahkan domain kekuasaan negara dari domain kekuasan gereja dan meneguhkan kebebasan individual dalam beragama. Agama menjadi milik pribadi atau individu, dan menjadi urusan komuniti atau masyarakatnya, dan bukannya menjadi urusan negara. Dalam prinsip pemisahan kekuasaan negara dari kekuasaan agama, negara menjamin kebebasan warganya untuk mempunyai keyakinan keagamaan apapun sepanjang tidak mengganggu ketertiban dan produktivitas masyarakat. Dengan kebijakan tersebut maka kelompok-kelompok keagamaan minoritas dilindungi secara tidak langsung oleh negara dengan cara memberikan hak kebebasan individu untuk memuja Tuhan yang diyakininya dan kebebasan untuk secara bersama-sama berjamaah tanpa harus takut untuk tidak disetujui atau didiskriminasikan oleh negara.

Di negara-negara barat, khususnya di Amerika Serikat, yang mayoritas penduduknya beragama kristen justru para imigran yang beragama Islam memperoleh kebebasan untuk mengekspresikan keyakinan keagamaan mereka tanpa harus khawatir untuk didiskriminasi atau dilarang oleh negara dan tanpa takut untuk diserbu dan dibakar masjidnya oleh warga setempat yang beragama kristen. Bahkan di kota Bloomington di negara bagian Indiana, berdasarkan pengamatan saya, masjid dibangun di atas sebidang tanah hasil sumbangan dari jemaah gereja setempat. Pembakaran, pengrusakan, atau pemboman gereja atau kelenteng merupakan gejala yang tidak mengagetkan di Indonesia tetapi sangat mengagetkan dan tak masuk akal bagi orang Amerika, karena kejadian-kejadian tersebut terjadi di abad ke-20 dan ke-21 dan bukannya di zaman kegelapan sebagaimana yang telah terjadi di Eropa Barat di abad ke-16.

Multikulturalisme adalah sebuah politik nasional. Jika pemerintah Indonesia yang memang menginginkan adanya kestabilan keamanan secara nasional dan keteraturan sosial dalam kehidupan sehari-hari yang memunngkinkan warga masyarakat dapat menjalankan fungsi-fungsi produktivitasnya dan menikmati kesejahteraan hidup yang pantas, maka sudah sepantasnya model multikulturalisme dipelajari dengan sungguh-sungguh dan sejumlah kebijakan haruslah diambil unntuk dijalankan secara nasional. Penerapan multikulturalisme untuk menghasilkan sebuah masyarakat multikultural tidak dapat dipaksakan oleh pemerintah. Tugas pemerintah adalah menstimuli atau memberi semangat bagi terciptanya masyarakat multikultural dan membuat program-program jangka pendek maupun jangka panjang dalam sistem dan lembaga pendidikan, hukum, penegakan hukum berikut sanksi-sanksinya, membuat desain-desainuntuk kegiatan umum dan pasar yang memungkinkan warga dari komuniti-komuniti setempat untuk belajar dari pengalaman-pengalaman untuk dapat hidup dalam keanekaragaman dan perbedaan kebudayaan tanpa harus menggunakan perbedaan sukubangsa untuk acuan pemahamannya.

Pemerintah harus menegaskan bahwa yang utama adalah menjadi warga negara dan bangsa Indonesia, tanpa memperdulikan asal sukubangsa, ras, agama dan daerah. Yang dilihat adalah kesetiaannya kepada Indonesia, dalam bentuk karya-karyanya yang dapat mensejahterakan diri dan kkomunitinya serta masyarakat Indonesia pada umumnya. Penegasan tersebut di atas, yang merupakan landasan bagi kebijaksanaan politik untuk menuju masyarakat multikultural, hanya mungkin dapat dicapai bila dibarengi dengan penataan kehidupan demokrasi, penegakan hukum yang adil dan beradab, pemberantasan korupsi dan kolusi, dan berbagai bentuk pemerasan atau pemalakan.

Progaram-progaram jangka panjang yang secara langsung akan mendukung terciptanya masyarakat multikultural di masa akan datang adalah: pendidikan kewarga negaraan, pendidikan multikultural, pendidikan bahasa-bahasa dan keanekaragaman kebudayaan sukubangsa, keanekaragaman agama dan keyakinan-keyakinan keagamaan lain (yang tidak menjadi keyakinan keagamaan dari sipelajar pada tingkat SLU atau mahasiswa). Program-program perbaikan hukum dan lembaga-lembaga penegakan hukum. Program-program pemberantasan korupsi dan kolusi. Pemerintah juga sebaiknya mengeluarkan sebuah ketetapan hukum mengenai kesetaraan warga dan komuniti-komuniti setempat (tanpa memandang asal, sukubangsa, agama dan ras), untuk meniadakan potensi konflikyang diakibatkan oleh pembedaan dan pendiskriminisian karena ‘asli’ dan ‘pendatang’ (lihat Suparlan 2001c)

Bhinneka Tunggal Ika: Masih Mungkinkah ? 

Saya akan menjawabnya: Mungkin! Tetapi jawaban saya tersebut hanya mungkin dapat terlaksana bila syarat-syarat untuk melakukannya dipenuhi. Kalau Amerika dapat merubah dirinya dari sebuah masyarakat rasialis yang berideologi monokulturalisme menjadi multikulturalisme (lihat: Suparlan 1999), dan Afrika Selatan yang semula merupakan masyarakat majemuk otoriter yang ditandai oleh ideologi rasisme menjadi masyarakat yang demokratis, mengapa kita tidak dapat melakukannya? Kita tentu saja dapat mereformasi atau merubah masyarakat majemuk kita yang otoriter dan militeristik menjadi sebuah masyarakat sipil yang demokratis dan bercorak bhinneka tunggal ika. Dengan syarat-syarat bahwa:

  • Kita betul-betul berupaya menjadikan masyarakat kita sebuah masyarakat sipil.
  • Betul-betul berpegang pada demokrasi sebagai pedoman utama dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara.
  • Hak Individual atau Hak Azasi Manusia, Hak Budaya Komuniti atau Masyarakat, dan Negara atau Pemerintah harus diperlakukan sama sakral atau posisinya dalam hubungannya antara yang satu dengan yang lainnya.
  • Hukum harus ditegakkan untuk menjamin terwujudnya keteraturan didalam kehidupan masyarakat, sehingga warga masyarakat dapat melakukan kegiatan-kegiatan berproduksi sesuai bidang masing-masing untuk kesejahteraan demi kelangsungan hidup masyarakat.

Berikut ini akan saya coba untuk menjelaskan secara singkat apa yang dimaksudkan dengan dengan syarat-syarat tersebut diatas. Pertama, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di masyarakat manapun di dunia ini yang menganut faham bahwa masyarakatnya adalah masyarakat sipil, tidak ada dominasi militer atau adanya peran sosial politik dari militer dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tersebut. Militer adalah pasukan perang, dipersiapkan untuk menghadapi peperangan yang dilakukan untuk mempertahankan negara dari serangan musuh dari luar atau berperang melawan musuh di negara lain. Dalam kehidupan sehari-hari di luar pangkalan militer, anggota militer akan harus menjadi orang sipil yang harus tunduk, pada hukum yang berlaku dalam masysrakat sipil yang bersangkutan. Untuk menghidari kekhilafan sehingga berperan dalam bidang sosial politik, maka di berbagai negara, terutama di Amerika Serikat, militer dididik untuk menjadi ahli-ahli teknik sehingga pada waktu mereka dibebastugaskan dari dinas militernya akan mempunyai pekerjaan yang selalu diperlukan oleh masyarakat. Mantan militer ini akan menjadi tenaga-tenaga produktif yang handal yang berguna bagi terwujudnya kesejahteraan hidup dan kelangsungan hidup masyarakat.

Bila syarat pertama tersebut dapat dipenuhi, maka syarat kedua akan harus mencakup pemahaman yang benar mengenai konsep demokrasi dan penerapannya dalam berbagai pranata nasional. Pemerintahan oleh rakyat dan untuk kepentingan rakyat haruslah dipegang teguh. Prinsip yang berlaku dalam demokrasi adalah konflik diantara unsur-unsur yang tercakup di dalamnya. Konflik bukan untuk saling menghancurkan tetapi untuk saling memeriksa guna terwujudnya keseimbangan (check and balances), terutama dalam kaitan hubungan antara eksekutif, legislatif, dan judikatif. Prinsip ini mungkin tidak hanya berlaku pada tingkat supranasional, tetapi juga pada tingkat-tingkat yang lebih rendah, yaitu pada tingkat propinsi, kabupaten, kotamadya, dan kecamatan.

Ketiga, dalam masyarakat yang demokratis landasan demokrasi pada hakekatnya terletak pada hubungan keseimbangan antara hak pemerintah untuk mengatur individu dan komuniti atau masyarakat, dengan hak individu atau HAM, dan dengan hak budaya komuniti atau masyarakat yang tercakup dalam sebuah satuan politik. Tiga unsur tersebut sama-sama sakralnya, dan harus berada dalam hubungan keseimbangan diantara konflik-konflik yang terjadi diantara ketiga unsur tersebut. Pada satu saat, untuk sesuatu kepentingan tertentu, pemerintah atau negaralah yang dimenangkan, sedangkan pada saat lainnya individu yang harus diutamakan, dan pada saat lainnya lagi kepentingan komuniti atau masyarakat harus dimenangkan dalam pertentangannya dengan kepentingan negara dan kepentingan individu.

Di masa lampau kepentingan pemerintahlah yang selalu dimenangkan dengan mengorbankan kepentingan-kepentingan individual (HAM) dan komuniti. Di masa sekarang, kepentingan individual (HAM) sudah dipertungkan dalam upaya penegakkan hukum yang menjamin tercapainya cita-cita masyarakat demokrasi. Tetapi kepentingan komuniti atau masyarakat diabaikan, barangkali karena belum terpikirkan betapa penting posisi dan fungsinya dalam masyarakat demokratis. Dalam masyarakat yang majemuk, seperti telah diuraikan diatas, posisi dari masyarakat-masyarakat sukubangsa yang tercakup di dalamnya tidaklah dalam posisi yang seimbang. Sehingga ada masyarakat yang kebudayaannya dominan dan ada yang minoritas. Dalam masyarakat sipil yang demokratis, masyarakat-masyarakat yang minoritas ini diberi hak lebih untuk hidup dibandingkan dengan yang dominan agar tidak hancur dalam kontak-kontak hubungan dengan masyarakat sukubangsa yang dominan. Hak lebih tersebut adalah hak untuk dapat hidup menurut kebudayaannya, diberi perlindungan terhadap hak ulayat atas tanah, hutan dan air yang secara adat menjadi miliknya. Hak untuk dapat hidup sesuai dengan tradisi budayanya yang mencakup juga hak untuk mempunyai keyakinan keagamaan yang berbeda dari agama yang secara mayoritas diyakini oleh masyarakat setempat yang dominan. Mereka harus diberi perlindungan dari kampanye-kampanye keagamaan yang sistematik dan efektif dari penyebar-penyebar agama wahyu, atau upaya penggusuran mereka dari wilayahnya, ataupun dari upaya-upaya penipuan sistematik untuk menguasai tanah dan sumber-sumber dayanya dari para pebisnis sehingga mereka itu tergusur dari wilayahnya.

Ideologi tentang pentingnya hak budaya komuniti harus mulai disebar luaskan dari sejak sekarang. Dengan alasan bahwa hak budaya komuniti adalah salah satu tiang penyangga tegaknya masyarakat sipil yang demokratis. Amerika Serikat sebagai negara demokratis mempunyai kebudayaan yang nilai-nilai budayanya yang sakral mencakup tiga unsur tersebut (lihat Suparlan 1991). Karena itu masyarakat Amerika tetap tegak dan berjaya dalam perang melawan otoritarianisme dan komunisme, dan dalam menghadapi berbagai gejolak sosial dan politik sukubangsa dan rasial.

Yang terakhir atau ke-empat, tatanan hukum yang berlaku di Indonesia yang berasal dari pemerintahan penjajahan Belanda sudah waktunya untuk dirubah menjadi tatanan hukum yang mendukung cita-cita terwujudnya masyarakat sipil yang demokratis yang menghargai hak-hak individual dan hak-hak budaya komuniti dalam kaitan hubungannya dengan hak-hak berkuasa dari pemerintah atau negara. Permasalahan hak budaya komuniti ini menjadi kritikal, karena dalam peraturan pemerintah mengenai otonomi daerah hak budaya komuniti ataupun kebudayaan masyarakat-masyarakat sukubangsa yang hidup dalam wilayah propinsi atau kabupaten itu tidak diperhatikan. Yang bisa menjadi potensi bagi gagalnya upaya pelaksanaan otonomi daerah, bisa antara lain disebabkan oleh adanya pendominasian struktur politik lokal oleh golongan sukubangsa yang mayoritas dan dominan. Sehingga sukubangsa-sukubangsa yang kecil jumlah warganya dan minoritas posisinya akan terpuruk kehidupannya. Sehingga ketentuan hukum mengenai hak budaya komuniti juga seharusnya mencakup ketentuan hukum yang diberlakukan pada tingkat propinsi dan kabupaten. Permasalahan lainnya yang bisa menjadi potensi kegagalan pelaksanaan otonomi daerah adalah konsep mengenai warga masyarakat setempat. Kecenderungannya adalah, adanya anggapan bahwa otonomi daerah itu diperuntukkan bagi masyarakat sukubangsa asli setempat. Orang-orang asal pendatang yang tinggal dalam wilayah tersebut, walaupun lahir dan dibesarkan disitu tetap dianggap sebagai ‘orang luar’ yang hak-haknya dibedakan dari yang asli. Masalah ini patut dipikirkan secara sungguh-sungguh, mengingat pola-pola kerusuhan yang terjadi sekarang di beberapa tempat di Indonesia adalah pengusiran terhadap mereka yang dianggap sebagi ‘orang luar’ oleh mereka yang menganggap dirinya asli setempat. Bila hal ini tidak kita pikirkan secara sungguh-sungguh, maka politik sukubangsa dari masyarakat setempat yang merasa asli dan dominan akan berakibat pada tidak mungkinnya membangun kembali masyarakat Indonesia yang bhinneka tunggal ika.

Yang terakhir, berkenaan dengan upaya penegakkan hukum bagi kesejahteraan hidup masyarakat, adalah upaya pemberantasan preman dan oknum. Mereka ini adalah benalu masyarakat yang menggrogoti kesejahteraan hidup dan potensi ekonomi serta potensi berproduksi warga, masyarakat, dan negara. Sudah waktunya untuk memikirkan upaya merubah cara hidup benalu ini menjadi cara hidup produktif, sebagaimana yang seharusnya mereka lakukan sebagai warga masyarakat dan negara. Atau kalau mereka tidak mau atau tidak dapat, maka harus diupayakan untuk menyingkirkan mereka dari kehidupan masyarakat sipil demokratis yang bercorak bhinneka tunggal ika yang kita cita-citakan.

Penutup

Sebagai penutup mungkin perlu dikemukakan bahwa kebijakan multikulturalisme sebagai sebuah kebijakan politik nasional hanya mungkin terlaksana bila warga masyarakat Indonesia pada umumnya, dan komuniti-komuniti serta individu-individu merasakan bahwa kebijakan tersebut menguntungkan mereka. Untuk itu maka sebuah strategi kampanye harus dilakukan, sehingga dapat diterima dan masuk akal bagi semua. Kampanye yang bertujuan untuk memperkenalkan multikulturalisme harus dibarengi dengan program-program yang nyata yang hasilnya dapat dipetik dalam jangka waktu pendek maupun dalam jangka waktu panjang. Program-program ini harus mampu mendorong terciptanya pranata-pranata dan tradisi-tradisi dalam kehidupan sosial, baik pada tingkat komuniti maupun pada tingkat umum dan nasional yang bercorak multikultural.

Model multikulturaisme hanya mungkin hidup dan berkembang dalam masyarakat yang memegang prinsip demokrasi. Jika prinsip demokrasinya ditambah dengan embel-embel, yang menunjukan corak otoriter penguasanya, maka model multikulturalisme tidak berlaku dan masyarakat multikultural tidak akan terwujud. Karena yang akan terwujud adalah masyarakat majemuk yang dipimpin oleh sistem nasional yang otoriter, yang opresif, dan diskriminatif, yang menjadi landasan dari pemerintahannya yang korup. Demokrasi bukan hanya dijadikan ideologi saja, atau hanya berlaku pada tingkat makro saja (pemisahan kewenangan eksekutif, legislatif, dan judikatif), tetapi harus berlaku dalam kehidupan yang nyata. Dalam kehidupan nyang nyata, demokrasi mewujudkan dirinya dalam kesetaraan derajat dan kewenangan yang berada dalam hubungan saling kompetisi dan keseimbangan antara individu, komuniti (hak budaya komuniti), dan negara (pemerintah) sesuai dengan konteks-konteks kepentingan masing-masing (lihat Suparlan 1991). Hubungan antara individu, komuniti dan negara yang berada dalam kesetaraan derajat hanya mungkin terwujud bila didukung oleh sistem hukum dan penegakan hukum yang juga harus adil dan demokratis.

Sebagai akhir kata mungkin kita semua patut mengingat pembukaan UUD 1945 yang menyatakan bahwa “kebudayaan bangsa [Indonesia] addalah puncak-puncak kebudayaan didaerah”. Dalam pemerintahan orde baru, kata “di daerah” dihilangkan menjadi “daerah” saja, dan kata daerah diberi makna sebagai sebuah propinsi dengan sebuah sukubangsa yang dominan di propinsi tersebut. Model yang digunakan pemerintahan orde baru adalah model masyarakat majemuk (plural society). Sedangkan model yang telah digunakan oleh para pelopor dan bapak bangsa Indonesia bagi mengatur dan mentransformasi masyarakat Indonesia yang majemuk adalah pluralisme budaya atau multikulturalisme. Dalam pernyataan mengenai kebudayaan bangsa tersebut tersurat bahwa kebudayaan bangsa adalah kebudayaan yang dimiliki bersama oleh bangsa Indonesia karena terdiri dari puncak-puncak semua kebudayaan yang ada di Indonesia. Penekanan lambang bhineka tunggal ika dengan mengacu pada pembukaan UUD 1945 tersebut jelas menunjukan keanekaragaman kebudayaan dan bukannya keanekaragaman sukubangsa.