Adi Prasetijo (2011), Penang

Tulisan sambil nunggu ngantuk…

Pengantar

Studi yang membahas hubungan antara dominant dan sub-ordinate group dalam konteks kehidupan etnik minority sesungguhnya bukanlah suatu studi yang baru. Kajian ini banyak menyangkut dengan kajian yang berhubungan dengan hubungan dominasi kelas atas terhadap kelas sub-ordinate yang ada dibawahnya.  Keberadaan hubungan dominasi tidak lepas dikaitkan dengan struktur hirarki yang ada dimasyarakat. Shubutani dan Kwan (1970: 29) mengatakan sebagai berikut;

human beings are classified in various categories which can be placed into hierarchical order, some being superior to others. Each person can be classified in several ways, but the most important criteria are those that determine his status in the community. Social stratification refers to ranking categories of people. In any social system of social stratification, the people in each stratum tend to interact more with those identified as belonging to the same stratum, and to develop certain characteristic of lifestyle, models of speech, knowledge, clothing and manners which are distinctive from those in other strata.”

Berbicara tentang kelas social, maka kita harus merujuk kepada pemahaman yang diberikan oleh Karl Marx. Marx mendefinisikan kelas sosial sebagai sistem kelas dalam masyarakat berdasarkan posisi ekonoominya, ” social class is  a class system as a social ranking based primarily on economic position in which achieved characteristics can inflame mobility“. Namun karakter ekonomi bukanlah satu-satunya factor penentu utama dalam pembentukan kelas social. Berbeda dengan Weber, social class bagi Weber adalah ketika orang mempunyai kesamaan dalam wealth dan income. Meskipun Weber setuju bahwa factor ekonomi adalah penentu utama dalam factor penentu apa itu kelas social namun ia berpendapat bahwa manifestasi kelas social tidaklah selalu berujung pada tindakan individu yang selalu dalam konteks ekonomi. Weber lebih menekankan bahwa status seseorang tidak saja dipengaruhi factor ekonomi, seperti yang dikemukakan oleh Marx, tetapi juga power yang dimilikinya berdasarkan kombinasi dengan status yang dimilikinya secara social dan dicapainya secara politik (prestige & charisma).

Ralf Dahrendorf (1959) berkaitan dengan kehidupan masyarakat industry, mempunyai definisi kelas social yang kemudian memadukan antara pemikiran Marx dan Weber, yaitu  social class are groups of people who share common interest resulting from authority relationship. Dalam pemikiran Dahrendorf ini kemudian ia mendefinisikan bahwa kelompok kelas social adalah berdasarkan authoritas yang dimilikinya, distribution of power. Ia mengambil pemikiran Weber yang menggunakan power sebagai dasar stratifikasi social. Untuk itu, ia tidak memasukan hanya kelas bourgeois, tetapi juga para managers, legislator, birokrasi, atau apparatus pemerintah sebagai bagian dari kelas dominant.

Dalam hubungan sosial, hubungan kesukuan faktanya tidaklah dapat dilepaskan secara sepihak. Marx sesungguhnya melihat bahwa semua hubungan ya dasarnya adalah hubungan ekonomi. Tulisan ini sesungguhnya ingin melihat hubungan kesukubangsaan dan kelas sosial itu. Hubungan keetnikan pada dasarnya juga hubungan kelas sosial yang dasarnya ekonomi juga.

Kapitalisme dan Keetnisan

Pengaruh kapitalisme memang  mempengaruhi system stratifikasi social masyarakat dunia dimana masyarakat dibagi atas peran dan statusnya dalam system produksi (mode of production), sehingga kemudian memunculkan kelas penguasa dan kelas pekerja. Kelas penguasa atau pemilik modal akan selalu melakukan kapitalisasi modal untuk menambah keuntungannya dengan cara menekan kelas pekerja.  Kapitalisme kemudian melahirkan system colonial yang mengharuskan negara-negara barat untuk melakukan penjajahan ke negara-negara lain didunia. Dengan model system kolonial seperti ini maka kemudian membawa konsekuensi terhadap hubungan etnik yang sudah terjalin didunia menjadi hubungan yang sifatnya hubungan sosio-ekonomi

Dengan model seperti ini maka dipercaya bahwa hubungan etnik bukanlah semata hubungan etnik semata tetapi lebih kepada hubungan social ekonomi dan politik yang termanifestasikan dalam instirusi politik informal (Cohen, 1983).  Hubungan yang tidak seimbang antar etnik ini juga mendapatkan sorotan Horowitz (1985). Horowitz menjelaskan bentuk interaksi sosial antar etnik dalam dua bentuk, yaitu sistem interaksi kelompok suku bangsa yang bersistem bertingkat (ranked groups) dan yang tidak bersistem bertingkat (unranked groups) (Horowitz,1985). Didalam struktur interaksi yang mapan dan stabil seperti diungkapkan diatas maka yang terjadi adalah pembentukan struktur interaksi yang bersifat hirarkis, atau antara  superordinat  dan subordinat. Superordinat menguasai subordinat, sistem ini diperlakukan secara askriptif dan didefinisikan sebagai suatu masyarakat yang tunggal oleh superordinat.

Dalam konteks colonial, kelompok etnik akan menggambarkan kelas social tertentu. Hal ini berdasarkan peran dan statusnya dalam mode of production. Stratifikasi social kemudian juga mencerminkan stratifikasi racial atau etnik karena berkaitan dengan distribusi kekuasaan. Rodolfo Stavenhagen (1975) menunjukan beberapa kasus etnik stratifikasi yang terjadi dimasyarakat Amerika Latin, terutama di Chiapas, Mexico dan Guetemala. Ia menunjukan bahwa stratifikasi socio-economic berkoneksi dengan stratifikasi etnik yang ada didaerah itu, yaitu ladino sebagai kelas pemilik tanah dan indiano sebagai kelas pekerja. Background colonial ini tidak serta merta hilang ketika masa colonial berakhir. Ethnic stratifikasi tetap terjadi berdasarkan status sosio-economic yang dimilikinya karena telah melekat dalam hubungan social etnik yang ada dimasyarakat itu. Berkembang kemudian stereotype atau stigma yang tetap mengatakan bahwa orang Indiano tetap sebagai kelas pekerja kelas bawah.

Hal yang sama juga disampaikan oleh Wolf (1982) dalam konteks masyarakat industry. Stigmatisasi terhadap etnik dalam masyarakat industry menurut Wolf juga terjadi dalam amsyarakat industry sebagai salah satu cara bagi kelas atas atau dominant group untuk melakukan pelemahan secara politik dan budaya terhadap kelas pekerja yang notabene adalah berbeda etnik. Dengan melakukan stigmatisasi, maka kelas atas dapat melakukan pembayaran upah secara murah dan memperlakukan kelas pekerja dengan seenaknya sehingga mereka mendapatkan keuntungan dari situasi ini. Sehingga tidak mengherankan jika kemudian identitas etnik sangat melekat dengan kelas social berdasarkan status dan perannya yang ada yang ada dimasyarakat. Proses sejarah pembentukan hubungan antar identitas etnik tersebut sangat mempengaruhi hubungan etnik yang terjadi pada saat ini. So It can be said that ethnic relation in this term according Wolf is structural and class relation.

Hubungan Etnik = Hubungan Saling Menguasai  ?

Dalam konteks masyarakat plural, seperti Indonesia, hubungan etnik selalu berkoneksi dengan social stratifikasi. Furnivall (1948) menjelaskan bahwa dengan model masyaralat plural (plural society) maka pola hubungan etnik yang ada adalah hubungan etnik yang bersifat ethnic stratification. Pola  integrasi etnik yang dikembangkan yang bersifat paksaan oleh pemerintah kolonial kemudian memunculkan stratifikasi etnik menjadi hubungan kelompok etnik dominan dan minoritas. M.G. Smith (in Leo Kuper,1971) juga memberikan pandangan yang sama tentang masyarakat plural. Ia mengatakan bahwa model masyarakat plural, memberikan kesempatan praktek dominasi oleh etnik dominan kepada etnik minoriti karena proses integrasi yang dilakukan bukan dilakukan secara involuntary based tetapi berdasarkan paksaan.

Memang konteks masyarakat plural yang diungkapkan oleh Furnivall (1948) adalah pada konteks masyarakat colonial namun konteks hubungan antar etnik yang tidak seimbang karena berdasarkan perannya dalam system politik ekonomi yang dikembangkan oleh pemerintah colonial. Kondisi colonial ini memberian warna yang kuat terhadap pembentukan identitas etnis yang ada didunia, terutama dinegara-negara di Asia dan Amerika Latin. Cynthia Enloe (1986) dalam beberapa kasus di Malaysia dan Northern Ireland & Malaysia menunjukan kuat indikasi itu. Etnik kemudian diasosiasikan dengan occupation tertentu yang ada dalam masyarakat. Husen Ali (1984) sangat kuat menunjukan hal itu dalam konteks masyarakat Malaysia dimana ia menunjukkan identitas etnik dimalaysia identik dengan kelas social berdasarkan occupationnya yang ada dimasyarakat. Jika dahulu pemerintah colonial yang memberikan mengikat kebijakan etniknya maka sekarang peran negaralah yang menjadi sentral. Situasi ini kemudian menjadi jurang perpecahan atau potensi etnik konflik semakin tinggi karena ethnic relations akan berdasarkan ethnic stratification yang berbasis kepada occupation. Dan  ini kemudian menyebabkan stereotype and prejudice antar etnik (Tan Chee-Beng,1982).

Erikson (1983), berkaitan antara etnisitas dan nationalism menunjukan bahwa pengaruh kolonialisme ini sangat mempengaruhi pembentukan identitas etnik pada masa post-kolonialisme. Ia menunjukkan korelasi yang kuat system politik dan kelas social mempunyai kontribusi dalam pembentukan etnik. Meskipun system hubungan antar etnik sesungguhnya tidak ada hubungannya kelas social namun kemudian yang terjadi identitas etnik diasosiasikan dengan kelas social tertentu karena peran dan statusnya dalam system social dalam masyarakat. Erikson (1993) mengatakan kemudian, “Theories of social class always refer to systems of social ranking and distribution of power. Ethnicity, on the contrary, does not necessarily refer to rank; ethnic relations may well be egalitarian in this regard. Still, many poly-ethnic societies are ranked according to ethnic membership. The criteria for such ranking are nevertheless different from class ranking: they refer to imputed cultural differences or races, not to property or achieved statuses “.

Salah satu dampak yang ditimbulkan adalah pola hubungan dominan – minoritas yang tidak seimbang adalah  hubungan antara etnik dominan dan etnik minoritas. Keberadaan kelompok etnik tersebut kemudian dilihat apa kontribusi yang diberikannya dalam konteks ekonomi, sehingga yang terjadi adalah system exploitasi terhadap kelompok etnik yang tidak punya kekuasaan terhadap system ekonomi (Wolf,1982). Kelompok etnik yang paling dirugikan dalam konteks hubungan seperti ini adalah kelompok yang dianggap paling kelas bawah, yaitu kelompok hunther-gatherer.  Keberadaan kelompok ini sejak lama dianggap sebagai ujung tombak mata rantai ekonomi kapitalisme dunia sejak sebelum masa colonial (Bird-David,1995).

Kelompok hunther-gatherer ini kemudian diexploitasi oleh kelas atas yang notabene adalah etnik dominan. Lambat-laun identitas etnik menjadi identitas kelas social diantara kedua etnik tersebut yang mengacu kepada hubungan ekonomi. Status identitas etnik menjadi status ekonomi, antara kelompok dominan yang menguasai modal dan kelompok etnik minoritas yang dikuasai. Dan peran ini lambat-laun menjadi status yang sifatnya ascriptive dan menciptakan hubungan yang saling bergantung antara satu dengan yang lain. Nurit H. Bird-David (1995), menunjukan kasusnya pada masyarakat di India tentang Naikens dan non- Naikens. Etnik Naiken mempunyai status social pengumpul natural resource untuk kemudian dijual kepada masyarakat Non-Naikens (etnik Tamil Nadu).  Hubungan ekonomi yang diciptakan kemudian memunculkan hubungan yang saling mengikat antara kedua etnik meskipun sangat tidak menguntungkan bagi etnik Naiken.

Harald Eidheim (1969) memberikan contoh hubungan terikat kedua etnik kemudian menjadi hubungan ekonomi, yaitu bagaimana hubungan antara etnik Lapp dan orang Norwegia tersebut diatur oleh suatu tatanan struktur, dimana belum tentu menjadi kesepakatan yang saling menguntungkan bagi kedua belah pihak. Yang terjadi kemudian menurut Eidheim adalah secara  lambat-laun status etnik pada kelas dibawahnya menjadi cacat etnik yang permanen (social stigma). Dalam kaitan ini maka bisa dibilang bahwa identitas etnik telah menjadi stigma social. Dalam kasus tertentu bahkan stigma social yang dilekatkan oleh kelompok dominan ini kemudian berkembang menjadi konstruksi identitas etnik yang melekat kepada etnik tersebut. Seperti yang terjadi pada kasus konstruksi identitas Orang Asli oleh Orang Melayu, (Robert K. Dentan,1997), atau di Philipine, etnik Batek (James Spader, 1993).

Kirk Endicott (1997) dalam konteks masyarakat Malaysia, antara etnik Melayu dan etnik Batek, juga menunjukkan kasus yang sama. Etnik Batek dipandang sebagai bagian dari tata stuktur ekonomi dari masyarakat Melayu yang paling bawah. Beberapa tulisan etnografi tentang kelompok suku yang bertype hunther-gatherer di Southeast Asia juga menunjukkan gejala yang sama, seperti masyarakat Dayak Punan yang ada diKalimantan (Carl Hoffman, 1983).  Namun prosesnya, dominasi tidak hanya dilakukan hanya pada konteks social, politik dan ekonomi saja, tetapi juga selalu bersifat budaya. Proses ini yang disebut oleh Gramsci sebagai hegemony, yaitu penanaman ideology semu kepada kelas bawah oleh kelas atas (ruiling class) dengan tujuan melanggengkan kekuasaan sebagai sesuatu yang normal dan berjalan apa adanya (Gramsci,1971). Dalam konteks hubungan etnik, kelompok etnik dominan akan melakukan proses akulturasi atau assimilation terhadap kelompok etnik minority. Rodalfo Stavenhagen (1975) memberikan contoh apa yang terjadi kepada masyarakat Indiano di Chiapas, Mexico dan Guatemala. Ada proses  yang disebutnya sebagai “ladinonized”  atau menjadi ladino. Proses hegemony atau pemaksaan ideology terhadap orang-orang Indiano agar mereka menjadi ladino melalui penanaman social institution, political power, structure social, dan value system.

Alienasi & Menjadi Identitas Bersama

Posisi sub-ordinat ini membawa dampak kepada proses alienasi yang mereka alami. Sebagai kelompok minoritas mereka mengalami proses yang disebut alienation. Alienation adalah suatu proses pengasingan diri atau pengucilan yang dilakukan oleh kelompok dominan kepada kelas sub-ordinate, dengan tujuan untuk melemahkan kekuatan sehingga mudah untuk dikuasai. Mulai dari proses powerlessness, meaninglessness, normlessness, isolation, dan self-estrangement (Joachim Israel,1979). Dampak ini juga terjadi kelompok etnik minoritas yang ada di Southeast Asia. Dampak alienation tidak saja dalam phase social dan politik, tetapi juga budaya atau agama. Michael Dove (1985) memberikan proses tersebut pada masyarakat etnik minority yang ada di Indonesia melalui penghilangan status agama tradisional atas nama pembangunan (read the same case in Thailand at Annette Hamilton, 2003).

Berkaitan dengan respon kelompok minority, permasalahan utama yang sering dihadapi oleh kelompok etnik minoritas adalah perasaan bahwa mereka adalah orang minoritas (being minority). Salah satu fenomena yang menonjol dari being alienated adalah munculnya perasaan kebencian diri (self-hatred) because being minority group. Fenomena ini kemudian mendorong seseorang anggota kelompok etnik minoritas melakukan assimilasi kepada etnik dominan. Arnold & Caroline B. Rose, dalam konteks masyarakat Amerika, mengatakan bahwa salah satu sumber paling penting dari perpecahan kelompok minoritas dan identifikasi kelompok rendah di Amerika adalah fenomena rasa membenci diri sendiri (self-hatred) sebagai suatu kelompok etnik/ras, yang mempengaruhi perasaan anggota kelompok minoritas yang berbeda. Perasaan menjadi minoritas melibatkan satu atau kedua sikap berikut: (1)  merasa bahwa mereka adalah objek dari prasangka dan diskriminasi dan mereka perlu menggabungkan untuk memprotes dan untuk merasa aman dan nyaman, dan (2) merasa bahwa mereka telah mewarisi nilai-nilai budaya ekspresi yang mengharuskan mereka terus bergaul dan menggabung kepada kelompok dominan yang lain(Arnold and Caroline B. Rose, 1965, 266-270). Namun disaat yang sama, perasaan yang mereka rasakan sebagai object dari prasangka dan diskriminasi menyebabkan mereka merasakan  ada kesamaan sehingga membentuk group identification. Disinilah kemudian identitas etnik memberikan perannya sebagai sumber identifikasi kelompok dimana bentuk group identification bermacam-macam, dari suatu yang sifatnya fisik hingga sesuatu yang sifatnya cultural simbolik.