Oleh : Adi Prasetijo 

Awalan

Berikut adalah tulisan kecil mengapa sawit begitu kelihatan perkasa. Tentu saja sudut pandang tulisan ini adalah sudut pandang sejarah dan ekonomi singkat saja. Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis jacq) berasal dari Afrika Utara dan mulai dikenal di Indonesia mulai tahun 1848, ketika ditanam di Kebun Raya Bogor. Sejak tahun 1911, mulai diusahakan komersial dalam skala perkebunan di Sumatra Utara oleh perusahaan Franco-Belgia Corporation Socfin. Pada tahun 1939, Sumatra Utara dan Aceh  telah menjadi eksportir dan produsen minyak sawit terbesar di dunia. Adanya perang kemerdekaan hingga tahun 1968, Indonesia telah tertinggal oleh Malaysia yang pada waktu itu mendominasi dunia. Dan perluasan dan usaha perkebunan kelapa sawit digalakkan kembali pada tahun 1980’an oleh pemerintah.

Apabila kita mengacu kepada model kepemilikan lahan perkebunan sawit, yaitu kepemilikan oleh negara (state), olehkelompok (smallholder) dan oleh pribadi (private), maka yang terjadi pada zaman penjajahan Belanda ( 1870-1930) lahan kepemilikan perkebunan sawit dikuasai oleh negara. Setelah zaman kemerdekaan terjadi peralihan kepemilikan lahan dari perusahaan perkebunan Belanda ke Perusahaan Negara Baru pada tahun 1957, yang kemudian berubah menjadi PTP (Perseroan Terbatas Perkebunan) pada tahun 1968. Meskipun begitu pola kepemilikan lahan tetap tidak berubah, yaitu pola kepemilikan lahan oleh negara. Kebanyakan lokasi dari perkebunan sawit milik negara ini berada di Sumatra Utara, meneruskan kepemilikan Belanda dahulu.

Pada tahun 1979, mulai dikenalkan program kepemilikan lahan perkebunan kelapa sawit oleh kelompok yang didanai oleh Bank Dunia.  Yaitu dengan menggunakan program  PIR (Perkebunan Inti Rakyat), yang kemudian mermunculkan program Plasma dan KKPA.  Plasma, pola kepemilikan lahan oleh para petani yang tanahnya dibuka, digarap, dan dipanen oleh perusahaan. Tetapi setelah hutang petani lunas, maka lahan tersebut menjadi milik petani. Demikian juga dengan KKPA. Mulai tahun 1980’an munculah perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit, yang kemunculannya didukung oleh pemerintah dengan memberikannya kredit lunak berasal dari Bank Dunia. Dari tahun 1986 hingga tahun 1995, pemerintah menarik keterlibatan investor dengan pemberian kredit. Program tersebut juga menggunakan program transmigrasi untuk mendukungnya.

Meskipun belum ada data yang kongkrit tentang kondisi perkebunan kelapa sawit pada zaman penjajahan, dapatlah diketahui bahwa dari tahun 1911 hingga 1957, kelapa sawit menjadi komoditi kolonial yang handal dengan puncaknya pada tahun 1939, ketika Sumatra Utara dan Aceh menjadi eksportir dan produsen terbesar pada waktu itu.  Ketika mulai ditangani oleh pemerintah pada tahun 1957, hingga berganti nama  menjadi PTP pada tahun 1968, perkebunan kelapa sawit kurang mendapatkan perhatian penuh. Ada beberapa sebab, antara lain karena tertariknya energi pemerintah dan negara pada waktu itu kepada permasalahan bangsa ini. Seperti permasalahan politik dan pemberontakan yang terjadi di seluruh negeri. Mulailah pada tahun 1979 pemerintah melirik perkebunan kelapa sawit. Selain dianggap bisa menghasilkan devisa yang banyak,  perkebunan kelapa sawit juga dinilai mempunyai biaya investasi yang relatif paling murah, karena rendahnya harga tenaga kerja dan bahan baku.

Pada rentang waktu 1911 – 1957 dan 1957 – 1980’an , perkebunan kelapa sawit  tidak menimbulkan permasalahan lingkungan yang berarti, karena pengendalian perluasannya masih dapat dikontrol oleh pemerintah pada waktu itu. Terlebih lagi tidak banyak peran yang dimainkan dalam usaha ini, hanya perusahaan perkebunan milik negera. Jumlah luasannya juga terbatas. Seperti contohnya data tahun 1967, luasan PTP hanya 65.573 ha, perkebunan swasta hanya 40.235 ha, sehingga total berjumlah 105.808 ha. Tahun 1980, luasan PTP meningkat menjadi 199.538 ha, perkebunan swasta 88.847 ha., sehingga total 139.103. Nah, kalau  dibandingkan dengan data pada tahun 1997 misalnya, luas PTP hanya 443.008 ha, sedangkan luas perkebunan swasta berlipat menjadi 1.194.521 ha. dan  perkebunan rakyat menjadi 824.298 ha., sedangkan jumlah luas   total menjadi 2.461.827 ha.  Dari data ini, dapat menunjukan pada kita bahwa terjadi lonjakan cukup besar pada luasan yang dikelola perusahaan swasta, dan terjadi kemandegan pada lahan yang dikelola oleh PTP yang kemudian berimplikasi pula kepada aktor yang bermain.  Demikian pula muncul lahan perkebunan  baru yang dikelola oleh masyarakat.  Aktor yang bermain dalam bidang inipun juga bertambah, selain PTP, perusahaan swasta juga terlibat, dan tentu saja masyarakat sendiri yang tergabung dalam koperasi, kelompok tani, dan  golongan lain. Perusahaan swasta saja terdapat 10 pt. yang bergerak dalam bidang persawitan pada tahun 1995-1997.

Tentu saja dengan jumlah dan luasan yang terbatas, perkebunan kelapa sawit pada waktu itu tidak menimbulkan dampak negatif yang luas. Apalagi hanya terlokalisir di Sumatra Utara dan Aceh saja.  Banyak permasalahn yang timbul karena perkebunan sawit yang tumbuh pada itu. Seperti misalnya digusurnya hak –hak tanah masyarakat oleh pemerintah Belanda secara represif. Demikian pula dengan didatangkannya buruh-buruh perkebunan dari Jawa ke Sumatra untuk menangani perkebunan-perkebunan Belanda di Sumatra, termasuk perkebunan kelapa sawit di Sumatra Utara dan Aceh.

Sebenarnya kalau kita melihat dampak negatif yang ditimbulkan oleh perkebunan kelapa sawit pada masa kini, dapat dilihat dalam 2 dimensi permasalahan yang saling berkaitan dan menunjang. Yaitu permasalahan yang berkaitan dengan dampak sosial ekonomi dan lingkungan yang ditimbulkan. Dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan antara lain adalah; tidak diakuinya hak masyarakat atas tanah yang ditempatinya. Sebagai akibat akan kebutuhan lahan perkebunan kelapa sawit, banyak perusahaan kelapa sawit yang dengan paksa mengakuisisi tanah rakyat, baik milik perseorangan maupun tanah ulayat/adat. Pengakuisisian tanah tersebut banyak menggunakan cara-cara yang represif, sehingga kini banyak timbul permasalahan permintaan hak ganti rugi terhadap perusahaan. Seperti apa yang terjadi di Riau. Berdasar penelitian LATIN & ICEL pada tahun 1998,  PT. Sumatra makmur Lestari & PT. Arvena Sepakat  telah mengakuisisi 300.000 tanah ulayat masyarakat setempat (WRM, Indonesia: Opposition to Oil palm plantations, No. 20, Februari 1998). Kasus-kasus yang sama juga terjadi di berbagai daerah Indonesia (Down to Earth, 42, Februari, 2000).  Kemudian juga mulai terganggunya kehidupan suku-suku asli yang banyak berdiam di sekitar hutan. Pada kenyataannya dengan adanya pembukaan lahan dalam skala besar untuk semua jenis perkebunan, khususnya perkebunan sawit, menjadikan suku-suku asli yang menggantungkan hidupnya pada hutan menjadi korban utama (WRM & FEA, Planting Prolems: Trees, Carbon, Money, People, & Power, 2000).

Dengan perubahan ekologis yang begitu cepat (perubahan fungsi hutan menjadi perkebunan) menyebabkan suku-suku asli di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Irian, yang nota bene hidupnya, baik secara sosial, ekonomi, maupun religi bergantung pada hutan,  terganggu, terdegrasi, dan pada akhirnya menjadi marginal bahkan menjadi punah.   Dari hasil penelitian APFT tentang situasi  suku-suku asli yang ada di hutan tropis dunia,  diketahui telah terjadi penurunan  populasi manusia suku-suku asli tersebut hingga rata-rata 5.000 manusia tiap sukunya. Indonesia sendiri diperkirakan ada 4.800.000 (diluar Papua & Kalimantan) suku yang hidup bergantung pada hutan, atau sekitar 2,8 % dari total keseluruhan populasi penduduk Indonesia (Serge Bahucet, APFT Pilot Project, The Situasion of Indigenous people in Tropical Forest, 1995).

Dampak sosial lainnya adalah timbulnya konflik horizontal & vertikal diantara masyarakat sebagai akibat kesenjangan ekonomi diantara masyarakat, yang dipicu oleh permasalahan pengusahaan perkebunan sawit. Seperti konflik perebutan lahan, dan konflik antara masyarakat pendatang dan suku asli. Sebagai misal perebutan kepentingan antara petani sawit pola PIR, yang notabene adalah para transmigran dengan masyarakat lokal/asli daerah setempat. Konflik juga dipicu oleh pembagian keuntungan yang dinilai tidak memperdulikan nasib masyarakat lokal. Seperti terlihat pada penguasaan lahan perkebunan sawit di Indonesia,  48% dari total area (3,2 juta ha) dikuasai oleh perusahaan pribadi yang didominasi oleh Astra grup, Salim, Sinar Mas, & Raja Garuda Mas (menguasai 68% ), baru kemudian 33% oleh para petani/pengusaha kecil, dan 19% dikelola oleh negara.  Jadi ada sekitar 1,4 juta ha yang dikuasai oleh perusahaan pribadi, sehingga keuntungan yang diperoleh juga hanya berputar diperusahaan-perusahaan itu. Mitos bahwa dengan adanya perkebunan sawit akan terbuka adanya lapangan pekerjaan bagi masyarakat lokal tidaklah terjadi. Bagi masyarakat lokal (suku-suku asli) tetap saja mereka tidak merasakan manfaat sawit, karena lapangan pekerjaan itu bukan untuk mereka ( WRM, Tree Plantations generate unemployment, No. 28, November 1999).

Yang kedua adalah dampak perkebunan sawit bagi lingkungan. Antara lain adalah: konversi lahan dari hutan menjadi perkebunan. Konsekuensi logis dari kebutuhan lahan perkebunan yang meningkat  adalah pencarian lokasi lahan yang tidak berpenghuni & tidak ada pemiliknya, dan alternatifnya adalah hutan. Selain untuk menghindari konflik , keuntungan lain dapat diperoleh seperti luas lahan yang tidak terbatas, dan kayu-kayu hasil penebangan pembukaan lahan dapat dijual. Sebagai akibat dari konversi lahan ini, menyebabkan luas hutan tropis Indonesia semakin berkurang, proses deforestrasi semakin cepat berjalan. Luas lahan perkebunan sawit di Indonesia ada 3,2 juta ha, dan kurang lebih 1 juta ha berada di Sumatra.

Dampak lingkungan kedua adalah kebakaran hutan. Dari  kebakaran hutan yang terjadi pada tahun 1997 dengan luas area kebakaran perkiraan 1.500.000 ha. di Sumatra & Kalimantan, kurang lebih 675.000 ha. adalah areal perkebunan. Diketahui pula bahwa 46% titik hotspot kebakaran berada di lokasi perkebunan, terutama di perkebunan sawit  & HTI. Kebakaran diduga kuat terjadi  sebagai akibat pembukaan lahan/land clearing perkebunan sawit. Ada 176 perusahaan, diantaranya 133 perkebunan yang dianggap bertanggung jawab (Eric Wakker, AID Environment & WWF, Forest Fire & the Expansion of Indonesia’s Oil Palm Plantation Report, 1998). 

Dampak lingkungan kelapa sawit lainnya adalah hilangnya habitat bagi binatang dan tumbuhan. Dengan dirubahnya hutan menjadi perkebunan yang sifatnya monokultur akan menyebabkan beberapa spesies binatang tertentu menjadi punah. Dalam beberapa kasus, beberapa spesies binatang yang dilindungsi terancam  punah, seperti; Orang Hutan, gajah sumatra, harimau Sumatra. Seperti terbunuhnya 12 gajah yang mati diracun di Riau tahun 1996, sebagai akibat proteksi pihak perkebunan sawit yang berlebihan ( EIA, Palm Oil Report, 1997). Juga semakin punahnya orangutan di Indonesia. Orangutan (Pongo pygmaeus) menjadi spesies binatang yang penting karena dianggap sebagai indikator spesies keanekaragaman hayati bagi Indonesia.  Populasinya yang menyusut hingga  30%-50% ( jumlah orangutan kini kurang lebih 25.000 ekor) pada dasawarsa ini, sebagai akibat tindakan perburuan, kebakaran hutan, perdagangan, dan hilangnya habitat mereka sebagai akibat transmigrasi, logging dan perkebunan (EIA, The Orangutan in Crisis, 1997). Selain pemakaian pupuk dan insektisida pada lahan secara langsung  dapat menyebabkan pencemaran pada sungai dan tingkat kesuburan tanah, yang pada akhirnya menyebabkan percepatan proses pencemaran.

Apabila kalau kita lihat bahwa terjadi kenaikan kualitas permasalahan yang ditimbulkan oleh perkebunan kelapa sawit, dari kepemilikan lahan hingga permasalahan sosial, maupun permasalahan lingkungan yang ditimbulkannya.  Selain itu ruang atau luas dampak yang ditimbulkannya juga lebih menyeluruh, meskipun tingkat kerusakan konversi paling tinggi berada di Riau dan Kalimantan Tengah. 

 

“Perkasa”

Ada beberapa alasan mengapa perkebunan sawit menjadi begitu “perkasa” di Indonesia.  Antara lain alasan  tersebut adalah: Minyak sawit merupakan komoditi ekspor dunia yang dibutuhkan. Permintaan dunia akan minyak kelapa sawit (CPO) semakin meningkat. Permintaan pasar dunia akan minyak kelapa sawit/CPO semakin meningkat. Permintaan dunia akan import CPO, dari tahun 1993  sebesar 9.386.000 ton, kemudian tahun 1994 10.757.000 ton, tahun 1995  sebesar 10.475.000 ton, tahun 1996 sebesar 10.698.000 ton meningkat menjadi 12.259.000 ton di tahun 1997, dapat menjadi bukti bahwa kebutuhan dunia akan CPO tetap stabil dan cenderung meningkat. (EIA, Palm Oil, 1997). Negara-negara Eropa menggunakan minyak sawit lebih banyak digunakan sebagai bahan pembuat kosmetik (lipstik), margarin, dan sabun. Diperkirakan negara-negara Asia akan tetap menjadi negara konsumen terbesar minyak sawit ini beberapa tahun mendatang. Keadaan ini tentu saja memotivasi investasi dalam usaha persawitan.

Alasan yang lain adalah daya tarik Indonesia selain dianggap masih mempunyai lahan yang luas untuk membuka perkebunan kelapa sawit juga mempunyai tenaga kerja yang murah pada waktu itu (1997). Tidak kurang ada 43 perusahaan Malaysia yang bekerja sama dengan perusahaan sawit di Indonesia, dengan total lahan yang digunakan 1,1 juta ha. (Eric Wakker, AID Environment & WWF, Forest Fire & the Expansion of Indonesia’s Oil Palm Plantation Report, 1998). Kemudian adanya permintaan dari perusahaan untuk pembukaan  lahan sebesar 32 juta ha. pada tahun 1999. Dibandingkan dengan Malaysia yang luas lahan sawitnya terbatas dengan produksi 8.660.000 ton/tahun pada tahun 1998, indonesia mempunyai potensi lebih baik karena mempunyai daerah yang lebih luas. Oleh karena itu banyak pengusaha Malaysia yang memperluas usahanya di Indonesia (Sumatra & Kalimantan).

Alasan yang selanjutnya adalah adanya dorongan kebijakan pemerintah yang didukung dana oleh IMF & Bank Dunia pada tahun 80’an, untuk menggalakan ekspor agribisnis Indonesia. Ekspor kelapa sawit dianggap sebagai salah satu solusi untuk meningkatkan perekonomian masyarakat. Ini terbukti ketika pada tahun 1998, IMF memberikan bantuan dan pinjaman $ 43 miliar, yang didalamnya untuk mendukung program-program agribisnis, termasuk didalamnya perkebunan sawit. Kebijakan ini mendorong para investor dalam negeri dan asing untuk berlomba-lomba menanamkan usahanya di bidang perkebunan sawit di Indonesia. Kebijakan ini kemudian berimbas pada usaha perkebunan sawit yang semakin marak, dan pengusahaannya semakin tidak terkendali di daerah. Kebijakan Bank Dunia seperti ini memang sudah berlaku lama. Sejak dari tahun 1984 hingga 1994, Bank Dunia telah mengucurkan dana pinjaman bank senilai 1,4 milyar US $ untuk menciptakan 2,9 juta ha areal perkebunan di dunia. Sehingga tidak mengherankan timbul tudingan bahwa sebenarnya bank Dunialah sebagai aktor utama pengrusakan hutan di dunia (WRM, The World Bank: a major actor, No 13 Juli 1998). Kelemahan ini nampak pada kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Dephutbun.   Pemerintah sendiri pada tahun 1995 memperkirakan di luar Jawa tersedia 40 juta ha lahan yang siap untuk dikonversi menjadi budi daya tanaman komersil (termasuk sawit).  Pada tahun 1997, pemerintahan Suharto bahkan mempunyai rencana untuk meningkatkan areal perkebunan sawit menjadu 5,5 juta ha di tahun 2000, dengan estimasi produksi 7,2 juta ton di tahun 2000 dan 10,6 juta ton di tahun 2005 (Anne Casson, CIFOR, The Hesitant Boom: Indonesia Oil Palm Sub-Sector in an Era of Economic Crisis & Political Change, 1999.

Kemudian alasan yang lain adalah bahwa sampai saat ini, oleh pemerintah usaha perkebunan kelapa sawit ini dianggap sebagai usaha untuk mengatasi kemiskinan dan usaha pemerataan hasil-hasil pembangunan. Tercatat bahwa pada tahun 1998 lebih dari 2 juta orang bekerja pada bidang ini (Anne Casson, CIFOR, The Hesitant Boom: Indonesia Oil Palm Sub-Sector in an Era of Economic Crisis & Political Change, 1999). Kemudian usaha perkebunan kelapa sawit ini oleh pemerintah daerah dianggap juga sebagai salah satu pemasukan kas daerah lewat pajak. Secara nyata hal ini nampak dari kebijakan Dephutbun yang mengalokasikan sekitar 3,1 juta ha. di Indonesia timur untuk konversi lahan menjadi perkebunan sawit, dan 1 juta areal diperuntukan untuk investasi asing (Eric Wakker, AID Environment & WWF, Forest Fire & the Expansion of Indonesia’s Oil Palm Plantation Report, 1998).  Hal tersebut juga tercermin dari kenaikan pajak CPO yang dilakukan oleh pemerintah sebesar 5%  (kemudian turun menjadi 3%) (Kontan, Perang Melawan Konsumen, Edisi 24, 12 Maret  2001).

Dari beberapa penjelasan alasan mengapa kelapa sawit menjadi sangat “perkasa” di Indonesia, dapat disimpulkan bahwa ada beberapa simpul penjelasan penting mengenai penyebab terjadinya permasalahan yang mengitari perkebunan sawit. Simpul penting itu adalah masalah kebijakan pemerintah yang berkenaan tentang persawitan, kehutanan, dan usaha pelestarian hutan. Kemudian masalah kebijakan ekonomi yang berkaitan dengan  ekpor devisa dari dunia persawitan. Lalu berkaitan   dengan paradigma pembangunan pemrintah yang menitik-beratkan pada pertumbuhan ekonomi, tanpa mengiringinya dengan pengembangan budaya dan politik.

 

Sebagai suatu usaha untuk meningkatan ekonomi masyarakat pedesaan, perkebunan kelapa sawit mempunyai nilai tambah ekonomi yang cukup berarti.  Pendapatan para petani dalam waktu yang relatif singkat (kurang lebih 7 tahun) menjadi meningkat. Perkebunan sawit juga menyerap tenaga kerja yang cukup besar, demikian pula dengan usaha-usaha lain yang mendukungnya. Dibandingkan usaha tanaman industri lain (kopi, karet, coklat dll), kelapa sawit lebih diminati oleh para petani karena adanya permintaan pasar dunia yang tinggi, dengan harga yang relatif stabil pula. Hingga tidak mengherankan apabila pemerintah dan lembaga-lembaga donor dunia (Bank Dunia & IMF) mendorong usaha perkebunan kelapa sawit  sebagai salah satu cara untuk menanggulangi kemiskinan. Tetapi sayangnya, usaha perkebunan kelapa sawit ini mempunyai dampak yang besar, baik yang bersifat sosial maupun ekologis. Penguasaan lahan, teknologi, dan modal yang tidak berimbang menyebabkan konflik-konflik yang bersifat vertikal dan horizontal. Demikian pula penguasaan lahan oleh perusahaan pribadi yang merupakan milik dari segelintir orang, sehingga kemudian menimbulkan kesenjangan. Secara ekologis juga, perkebunan kelapa sawit mempunyai dampak lingkungan yang tidak tertahan lagi. Seperti pembukaan lahan besar-besaran yang pada akhirnya mengurangi luas hutan tropis Indonesia, juga hilangnya habitat binatang dan tumbuhan yang dilindungi, serta kemudian menghilangnya keaneragaman hayati indonesia. Usaha perluasan  perkebunan kelapa sawit tidak lagi dapat dikendalikan

 

 

Sumber :

  1. Anne Casson, CIFOR, The Hesitant Boom: Indonesia Oil Palm Sub-Sector in an Era of Economic Crisis & Political Change, 1999.
  2. Arnoldo Conteras Hermosilla, The Underlying Causes of Forest Decline, CIFOR, 2000.
  3. Basyar, Hakim, Perkebunan Kelapa Sawit (Blunder Ketiga Kebijakan Sektor Kehutanan), E-law dan Cepas, Jakarta, 1999.
  4. Direktorat Jendera Dephutbun, l Data Statistik Ekspor Komoditas Primer Perkebunan, Perkebunan, Dephutbun, 2001.
  5. Environment IA, The Orangutan in Crisis, 1997.
  6. Eric Wakker, AID Environment & WWF, Forest Fire & the Expansion of Indonesia’s Oil Palm Plantation Report, 1998.
  7. Serge Bahucet, APFT Pilot Project, The Situasion of Indigenous people in Tropical Forest, 1995.
  8. William Sunderlin & Ida Aju Pradnja R, Laju & Penyebab Deforestasi di Indonesia: Peneelah Kerancuan & Penyelesaiannya, CIFOR, 1997
  9. WWF Germany & WWF Indonesia, “Lipstick Traces in the Rainforest” , Palm Oil, Crisis and Forest Loss in Indonesia: The Role of Germany: A Forest Campaign Project of WWF Germany in collaboration with WWF Indonesia, January 1998.

 

Surat kabar:

  1. Down to earth, Oil Palm in Indonesia, May 2000.
  2. Down to Earth, Palm oil export hit by contamination, No. 44 February 2000.
  1. Kontan, Perang Melawan Konsumen, Edisi 24, 12 Maret 2001).
  2. WRM, Tree Plantations generate unemployment, No. 28, Novemver 1999.
  3. WRM’s, Indonesia: opposition to oilpalm plantations, bulletin Nº 20, February 1999.
  4. WRM’s, Sawit Watch: an Indonesian network against oil palm plantations, : bulletin No. 14, August 1998.