Adi Prasetijo
prasetijo@gmail.com

Pada tahun 2005 yang lalu di Sydney muncul kerusuhan antar ras yang dipicu oleh kabar yang tak jelas, dimana “katanya” seorang pemuda keturunan Arab telah menganiaya seorang petugas penjaga hingga babak belur. Tak pelak lagi berita “katanya” itu tiba-tiba telah menyebar luas melalui omong per omong dan SMS. Berita “katanya” itu kemudian menyulut rasa sentimen anti Arab di Australia. Dan tak lama kemudian menyulut dan merembetan tindakan-tindakan pemukulan, pengrusakan barang-barang milik publik, dan penyerang petugas keamanan terjadi. Bahkan seorang pemuda kulit putih tanpa sebab yang jelas memburu dan memukuli mereka yang berpenampilan Arab tanpa sebab musabab yang jelas (Kompas, 21/12/05). Ditenggarai prasangka terhadap imigran yang berlebihan dan membabi-buta adalah penyebab pokok kerusuhan rasial itu. (Kompas,12/12/05). Kebencian dan perasaan marah yang demikian luar biasanya dirasakan oleh para perusuh sehingga mampu menggerakan keinginan untuk merusak, melukai, bahkan membunuh sekalipun.

Jangankan di Australia atau di Prancis yang baru-baru dilanda kerusuhan rasial, Indonesia sendiri sebagai suatu negara yang majemuk sarat berhadapan dengan permasalahan ini. Kita tidak saja menjumpai keragaman dan perbedaan akan suku bangsa, namun juga agama, golongan sosial, partai politik, bahkan aliran dalam beragamapun banyak kita temui juga perbedaan. Prasangka tanpa kita duga muncul dan hadir dalam diri kita dan mempengaruhi interaksi kita dengan orang lain. Apakah anda tahu, konflik-konflik yang ada di Indonesia banyak dipicu oleh kejadian-kejadian yang berasal dari katanya itu.

Memang prasangka ada dalam diri kita tanpa kita sadari. Tanpa kita tahu dan pahami, ia hadir dalam diri kita. Ia hadir dalam diri ketika kita memandang orang lain yang berbeda penuh curiga. Tanpa disengaja atau sadari, kita lalu berjalan menghindar jika berpapasan atau dengan tatapan tajam kita penuhi rasa kita dengan kebencian yang berlebihan. Kita telah menilai bahwa orang itu adalah orang yang buruk, jahat atau rendah. Kebencian dan ketakutan saat itu juga mendatangi kita. Sempatkah kita berpikir sejenak untuk bertanya tentang kebenaran pendangan kita tersebut dan mempertanyakan dari mana datangnya kebencian atau ketakutan yang berlebihan itu ?. Dari perasaan akan kebencian dan ketakutan yang berlebihan itu kemudian berkembanglah konflik-konflik yang melibatkan kita dan orang lain. Dan tidak kita pungkiri dari situlah, masalah-masalah konflik besar negeri ini berkembang seperti konflik antar umat agama yang dipicu oleh oleh rasa saling curiga, ataupun konflik antar suku bangsa,

Apa dan Bagaimana Prasangka Bisa Muncul
Semua ini berawal dari apersepsi-apersepsi yang diterima oleh kita. Apersepsi adalah getaran-getaran tanda yang diterima oleh seorang individu atas suatu obyek tertentu. Obyek tersebut bisa berupa suatu benda, gejala alam atau sosial, dan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh seseorang. Apersepsi atau getaran-getaran tersebut diterima melalui panca indra yang kita miliki.
Proses penerimaan apersepsi inilah yang kita sebut sebagai persepsi. Dari kumpulan-kumpulan persepsi yang diterima, kita akan mengumpulkan dan memproyeksikannya menjadi suatu gambaran abstrak atas obyek yang ditangkap oleh kita tersebut. Penggambaran abstrak inilah yang kemudian kita sebut sebagai konsep. Dari persepsi kemudian kita mengaktualisasikannya menjadi suatu tindakan-tindakan nyata. Dari persepsi-persepsi inilah seorang kemudian mengembangkan suatu pandangan tersendiri atau asumsi-asumsi yang sifatnya subyektif atas suatu kelompok atau golongan tertentu yang kadang sifatnya stereotip. Stereotip sendiri dapat diartikan sebagai suatu pandangan atau anggapan atas suatu golongan oleh seseorang, berdasarkan penilaian yang dibuatnya dimana dasarnya adalah kebudayaan si pelaku. Oleh karena itu sifatnya adalah sangat subyektif. Gambaran-gambaran akan perilaku dan tindakan golongan tersebut adalah suatu proyeksi absurd yang dibayangkan oleh si pelaku tanpa mengetahui kebenarannya.

Jadi bisa kita bayangkan, bahwa ketika suatu hubungan antar golongan –kelompok tidak seimbang (equal), maka seketika itu juga akan menyuburkan benih-benih kebencian dan curiga. Pengelolaan sumber daya yang tidak seimbang, atau pendominasian akses atas politik, ekonomi, sosial, atau budaya akan menumbuhkan percikan-percikan dendam. Tanpa kita sadari, kita kemudian membuat gambaran dan asumsi-asumsi yang sifatnya absurd tentang golongan atau kelompok atau orang lain. Kita akan terus memberikan justifikasi dan legitimasi bahwa semua itu benar.

Prasangka bisa muncul ketika stereotip dan persepsi-persepsi yang dipunyai oleh seseorang tersebut terwujud dalam suatu sikap atau attitude tertentu. Atau dapat kita katakana bahwa prasangka adalah suatu sikap implikasi dari suatu proses penilaian yang dilakukan oleh seseorang atas sesuatu subyek tertentu tanpa adanya proses pembelajaran atau pengecekan terlebih dahulu. Tanpa disadari, kita merekontruksi pikiran-pikiran kita atas sesuatu berdasarkan asumsi-asumsi yang kita miliki dimana belum tentu kebenaranya. Kita hanya mau tahu akan kebenarannya yang kita bangun sendiri. Dan secara otomatis pula kita akan menyeleksi dan mengolah sedemikian rupa informasi yang kita terima agar sesuai dengan kebenaran yang kita bangun sendiri.

Kita sendiri kadang tidak bisa menampik bahwa prasangka ada dalam diri kita sebagai suatu proses penanaman nilai-nilai dan pengetahuan oleh lingkungan disekitar kita kepada kita. Tidak salah jika Gordon W. Allport (1954,9), seorang psikolog sosial terkenal mengartikan prasangka sebagai sebuah sikap antipati yang berdasarkan generalisasi yang salah dan inflexible, dimana ia menekankan kepada komponen afektif dan kognitif. Ia bisa muncul sebagai tanggapan atas dasar kebencian agama, sukubangsa, kelas sosial, atau bahkan pembedaan jenis kelamin atau jender sekalipun. Sikap ini yang kemudian menjadi dasar dari perilaku-perilaku seseorang dalam berinteraksi dengan orang atau golongan lain.

Memerangi Prasangka
Dari prasangka lahirlah sikap-sikap kita yang bersifat stigma dan diskriminatif. Tanpa disadari oleh kita, semua tindak tanduk kita mencerminkan sikap prasangka kepada orang lain. Semua ucapan, semua perkataan, semua tindakan, dan semua perilaku kita mencerminkan stigma dan diskriminasi kita. Semua kaum A adalah pendusta. Semua suku B adalah pembohong. Dan yang tak kalah hebatnya, kita akan menyebarkannya kepada orang lain untuk menanam benci dan menyuburkan dendam pada orang lain. Bisa dibayangkan jika ini bertahan bertahun-tahun lamanya. Anak cucu kita, akan lahir sebagai kaum pembenci dan pendendam.

Pertanyaannya kemudian, bisakah prasangka dihilangkan atau dikurangi setidaknya jika sudah mendarahdaging sedemikian rupa ?.

Biasanya ketika kita menaruh prasangka kepada orang lain atau kelompok lain, akan mengurangi interaksi kepadanya. Kita akan mengurangi kontak, komunikasi, bahkan yang paling ekstrem kita akan menghilangkan eksistensi kelompok atau golongan itu dihadapan kita. Kita akan menganggap bahwa golongan atau kelompok itu tidak ada. Menisbikan mereka. Untuk itu maka, kita harus terlebih dahulu membalik pemikiran kita bahwa keberadaan kelompok atau golongan tersebut adalah penting. Dan ini tentu saja tidak mudah. Jarang sekali kita menyadari bahwa keberadaan kelompok atau golongan lain adalah penting. Kita merasa bahwa hanya diri kita yang penting dan unggul. Hanya melalui pendidikan akan penanaman nilai atas penghormatan atas hak-hak azasi dan keadilan dalam yang membutuhkan pendekatan jangka panjang, sikap-sikap prasangka dapat dihilangkan. Oleh karena itu prasangka tidak dapat dihilangkan dalam waktu sehari. Ia membutuhkan suatu proses yang panjang, dan terus-menerus. Pendidikan akan penghormatan atas keragaman; baik budaya, sukubangsa, agama, golongan ataupun kelompok, adalah suatu keharusan yang mesti dilakukan. Penumbuhan sikap non-violence dalam setiap menyelesaikan konflik yang dihadapi juga perlu ditanamkan kepada masyarakat dan generasi muda kita.

Dalam memerangi prasangka, Allport menguraikan bahwa pengembangan suatu hubungan antar kelompok atau golongan yang intens setidaknya akan dapat mengurangi salah pemahaman-pengertian, dan berlanjut kemudian ke pengurangan prasangka dan stereotip yang timbul. Pemikirannya sederhana. Bagaimana kita bisa mengenal orang lain atau golongan lain jika kita sendiri tidak pernah berhubungan antara satu dengan yang lainnya. Jika kita mengenal baik kelompok atau golongan yang lain tersebut maka secara otomatis pula, apabila ada sesuatu berita burung atau kabar yang tidak sedap kita akan segera mempertanyakan secara kritis berita tersebut

Menurut Allport lagi, dalam konteks hubungan mayoritas-minoritas dimana prasangka dan stereotip akan sangat mungkin hadir didalamnya karena hubungan antar kekuatan yang tidak seimbang, hubungan antar kelompok yang seimbang atau equal untuk mencapai tujuan bersama adalah kunci penting untuk mengurangi sikap prasangka dan sangkaan stereotip yang berkembang dalam masyarakat. Salah satu sarannya yang menarik adalah bagaimana peran negara berfungsi sedemikian rupa untuk mendukung hubungan antar golongan atau kelompok secara seimbang. Tampaknya ini masih jauh dari harapan kita. Bahkan tak urung negara sendiri adalah sumber-sumber penebar prasangka itu.

Seorang sosiolog terkenal John E. Farley dalam bukunya Majority-Minority Relation (2000) menjelaskan ada beberapa cara yang dapat ditempuh untuk memerangi prasangka. Untuk itu kita harus mengetahui penyebab prasangka itu berasal dan berada ditingkat mana, tingkat personal, sosial, ataukah berada ditingkat struktural ?. Farley (2000), mengungkapkan setidaknya ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi prasangka. Yang pertama adalah dengan melakukan komunikasi yang persuasif. Entah dalam bentuk tertulis, verbal ataukah secara visual dimana sesungguhnya tujuan utamanya adalah mempengaruhi kelakuan seseorang atau kelompok. Hal ini menjadi penting untuk dilakukan sebab seseorang hanya akan mau menerima informasi yang hanya mau ia dengar saja. Ia tidak akan mau mendengar sesuatu yang tidak ingin ia dengar. Dan pada umumnya mereka tidak akan mau dikatakan sebagai seseorang yang berprasangka. Oleh karena itu membangun komunikasi persuasive dengan orang atau kelompok yang berprasangka adalah penting dilakukan.

Yang kedua adalah bidang pendidikan. Pendidikan disini adalah sesuatu yang penting untuk dilakukan lebih sebagai bagaimana mengenalkan suatu informasi baru yang sebenarnya berbeda dengan apa yang dibayangkan sebelumnya. Untuk itu fungsi pendidikan disini akan menjadi jembatan informasi karena pendidikan sendiri mempunyai kesulitan untuk mengurangi prasangka karena ada perasaan dari para penerimanya untuk menolaknya. Hal tersebut karena terdapat proses untuk menyeleksi diri dari individu-individu yang bersangkutan. Namun disisi yang lain pendidikan sangatlah bermanfaat untuk mengurangi prasangka yang ada pada saat prasangka sendiri tidak terlalu intense berada dalam masyarakat dan tidak ada individu atau kelompok yang dominant.

Yang ketiga adalah bagaimana membangun kontak antar kelompok . Membangun kontak atau hubungan antar kelompok yang berbeda adalah jalan yang cukup efektif untuk mengurangi prasangka karena akan membuat individu yang bersangkutan mengenali dan kemudian memahami keberadaan kelompok yang lain. Dalam hal ini mereka akan mencoba untuk memberikan situasi dan kondisi yang kondusif untuk kontak antar kelompok yang berbeda.

Semoga memang kita dapat memerangi prasangka